Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

TERBAHAGIA DI 2017

Setiap tahun selalu ada hal menggembirakan yang kita dapatkan tanpa diduga. Seperti kunjungan ke kota angin di Jawa Timur dalam rangka menghadiri pernikahan sepupu sekaligus bertemu nenek saya di sana. Yang membuat kunjungan tersebut istimewa adalah keluarga saya dapat berkumpul secara lengkap dalam perjalanan tersebut. Delapan orang dewasa, dua anak-anak, dan dua bayi, personel lengkap keluarga dari pihak saya. Alhamdulillah semua berjalan baik dan lancar hingga kami kembali pulang. Juga perjalanan kami ke kota mpek-mpek yang membuat saya punya pengalaman terbang dengan burung besi untuk pertama kalinya. Merasakan tinggal di rumah panggung meski hanya dua malam, menjejakkan kaki di Jembatan Ampera, menikmati sarapan dengan penganan khas sambil memandangi ayam-ayam peliharaan paman dari atas rumah. Tidak lupa berkunjung ke pelosok Palembang yang sangat memanjakan mata. Yang paling mengesankan ialah ketika hari ke dua di Palembang, THK sudah lancar berjalan. Sudah tidak titah lagi.

RESOLUSI KAMI 2018

2017 hampir berlalu. Kalian boleh bersorak menyambut tahun selanjutnya, dan kembali menghadapi kenyataan bahwa setiap hari waktu yang kita miliki makin sempit. Lalu apa yang akan dilakukan untuk menghabiskan tahun berikutnya? 2018 harus menjadi tonggak perubahan kehidupan keluarga kecil kami dari berbagai aspek. Yang utamanya ialah aspek keagamaan dan finansial. Insyaallah 2018 akan kami isi dengan aktivitas yang lebih bermanfaat. Kami akan lebih disiplin mengelola keuangan, mengelola waktu, dan pekerjaan kami. Tidak menunda dan saling mengingatkan untuk itu. Hal tersebut dalam rangka untuk mewujudkan target jangka panjang kami: kebebasan finansial. Lebih sering berkomunikasi dengan kepala dingin, meminimalisasi perpecahan, pedebatan, dan tidak bicara dengan nada tinggi. Mendidik putri kami dengan lebih sabar. Menjadikannya salah satu sosok cerdas dan santun serta beragama dengan sebaik-baiknya. Pada akhirnya, semua rencana ini akan bermuara pada bagaimana cara kami mencapain

GERIMIS RUMAH TANGGA

Pria berkulit sawo matang itu berhenti sejenak di ambang lorong. Ia berusaha mengenali bentuk asli ruang keluarga. Bantal-bantal sofa tidak beraturan, kaleng snack berserakan, kain segi empat ungu dan biru menutupi kotak mainan yang hanya berisi boneka beruang, sedangkan isi mainannya tercecer di atas karpet hingga lantai yang mengarah ke dapur. Saat kakinya mulai melangkah dan mencari tempat paling baik untuk melepas lelahnya, ia menemukan beberapa butir soes kering remuk di atas sofa. Bukan pemandangan yang baik baginya. Pria itu akhirnya beringsut ke kursi makan yang masih lebih baik kondisinya. Belum lama ia merebahkan punggungnya di atas kursi yang terbuat dari kayu itu, suara berisik memenuhi gendang telinganya. Bukan suara yang mengganggu baginya. Itu adalah nada riang dua anak perempuan yang menyambut kedatangannya. "Papa!" Mereka berlarian saling berebut menyalami tangan si pria. Pria berkemeja biru langit tersebut menyambut tangan-tangan mungil putrinya berga

TERSANDUNG ASMARA (PART 3 END)

Empat bulan berlalu tanpa terasa. Waktu menggelinding cepat dan perubahan tak bisa dipungkiri akan terjadi. Tapi perubahan yang tak terduga kadang membawa sesal atau juga perasaan lega. Beberapa hari belakangan Mas Ruli agak sulit ditemui, pun dihubungi. Kukira karena tanggung jawabnya di sekolah bertambah. Ada pekerjaan yang mungkin tak akan kumengerti kalau pun ia menceritakannya padaku. Aku hanya menganggapnya sedang terkena dampak euforia kerja. Hari Sabtu ini ada kegiatan pelatihan anggota OSIS. Aku bertugas sebagai bendahara. Seperti biasa, aku akan mencuri waktu untuk bertukar sapa dengan pria istimewa itu. Tapi ternyata ia tidak ada di tempat 'biasa'. Aku tak mencari lagi, hanya mengiriminya pesan singkat. Lagi dimana mas? Kakiku kembali ke ruang OSIS, melaksanakan amanah teman-teman untuk mengelola keuangan acara tersebut. Kegiatan OSIS selesai pukul 16.30. Seluruh panitia sedang berkemas. Aku sibuk dengan catatan keuangan sambil menghitung pengeluaran. Menye

TERSANDUNG ASMARA (PART 2)

Aku tidak pernah memberikan pernyataan apa pun tentang kalimat dalam slide dari Mas Ruli. Senyum yang mengembang dan pipi merona sudah menunjukkan sebuah persetujuan. Kami seperti pasangan kekasih lain, kami saling mengungkapkan perhatian hangat secara langsung atau tidak langsung. Tapi lebih sering melalui pesan singkat karena tidak ingin memperlihatkan hubungan kami secara langsung. Sesekali kami saling telepon saat hari libur. Aku tahu, adalah hal yang tabu ketika guru dan murid menjalin sebuah asmara. Tapi adakah nasihat yang akan dituruti oleh insan yang sedang jatuh cinta? *** Hujan deras jatuh menyambut ulang tahunku. Aku masih terjaga di kamar. Dalam suasana remang, aku menerima beberapa pesan singkat dari teman-teman yang mengucapkan selamat. Pun dari Mas Ruli. Ungkapan ikut berbahagia atas hari kelahiranku sudah cukup membuatku bersuka cita. Mendekati tengah malam Mas Ruli menghubungiku. "Udah tidur belum?" Tanyanya. "Belum. Kenapa Mas?" Sahu

SELINGKUH

Miki, pria berpenampilan formal itu tidak dapat menampik lagi jika perjalanan bisnisnya bukan perjalanan biasa. Tidak hanya bertemu klien penting, tetapi juga tak sengaja bertemu dengan masa lalunya. Pertemuan di sebuah restoran saat makan siang menjadi ajang reuni bagi dua manusia yang pernah bergumul dalam perasaan sayang. Dengan segala alasan, Miki mencoba menepis pertemuan itu. Berusaha menjaga jarak dengan sang mantan. Namun, pesona dan kisah indah di masa lalu yang berkelebat jelas tiba-tiba menjerat dirinya. Sang mantan menang. Dengan alasan reuni, mereka berhasil kembali menghabiskan waktu untuk bersama lebih lama. "Aku akan menikah," ujar Miki tiba-tiba. Saat tangan sang mantan sudah berhasil merengkuh lehernya. Sang mantan berdehem, "lalu?" tanyanya dengan wajah dingin. "Bisakah kita hentikan ini?" Miki separuh memohon, tapi separuh perasaannya masih ingin bersama sang mantan. "Kita sudah sejauh ini, apa kamu akan menghancurk

TERSANDUNG ASMARA

Gerimis turun begitu saja meski matahari masih tersenyum di tengah-tengah awan kelabu. Hari masih terang. Kaki-kaki bersepatu Warior dan NB tiruan berduyun-duyun meninggalkan area luas sebuah sekolah swasta. Mereka akan berpencar begitu bertemu gerbang sekolah yang sudah dibuka lebar. Seorang satpam akan menyahuti setiap sapaan akrab remaja-remaja tanggung yang riang karena akan meninggalkan sekolah. Tidak, tidak. Sekolah belum sepi. Masih ada sebagian siswa yang bertahan di bagian dalam area sekolah. Di kantin, di lapangan, di laboratorium, di kelas, di kantor guru, di Masjid, di ruang OSIS, atau di ruang-ruang klub. Lalu biasanya satu jam kemudian hanya akan menyisakan anggota klub yang sedang latihan. Hari itu giliran klub drum band yang sedang berlatih. Aku tengah asyik menikmati alunan musik yang dimainkan sambil menonton mereka melatih formasi barisan. Awan kelabu masih menyelimuti langit. Tapi matahari masih bersinar. Sepertinya cuaca masih memihak matahari untuk tetap eksis

REVIEW NOVEL : TENTANG KAMU

Judul : Tentang Kamu Penulis : Tere Liye Penerbit : Republika Tahun Terbit : 2016 Jumlah Hlm : vi + 524 hlm Ukuran Buku : 13.5 × 20.5 cm "Masa lalu. Rasa sakit. Masa depan. Mimpi-mimpi. Semua akan berlalu, seperti sungai yang mengalir. Maka biarlah hidupku mengalir seperti sungai kehidupan." (Tentang Kamu) Inilah novel fiksi yang akan membawa pembacanya terbang ke latar tahun empat puluhan sampai sembilan puluhan. Mengajak kita berkunjung ke pulau terpencil di Sumbawa hingga terhipnotis kisah hidup tokoh sampai di kota Menara Eiffel. Tere, seperti biasa, menghadirkan tokoh yang berkarakter kuat sehingga jalan cerita terasa hidup dan pembaca akan terbawa di dalamnya. Sekilas, jika hanya melihat judulnya, orang hanya akan menganggap cerita novel ini cuma berkisah tentang cerita cinta. Namun, di balik judul yang terlampau sederhana ini Tere Liye menginterpretasikan kisah yang lebih kompleks dan menarik. Pesan tentang cinta yang lebih luas dan mendalam: kegigihan,

TINGGAL DENGAN MAK GENDUT

Anak laki-laki berusia lima tahun itu setengah berlari menghindari Mak Gendut yang terpincang-pincang mendekatinya. "Ganti baju! Ini gimana, sih?! Dibilangin susah pisan!" Teriaknya kesal. Volume suaranya yang keras semakin memekakkan telinga saat bicara dengan nada tinggi. "Sini! Goblok!" Lagi, ia berteriak. Anak kecil itu masih menghindar. Spontan kutegur Mak Gendut. "Kok ngomongnya begitu, sih, Mak," nada suaraku kecewa. Mak Gendut meyeringai sambil menatapku tanpa merasa bersalah, lalu duduk di bangku panjang. Anak kecil itu berada dalam jangkauanku. "Dek, ganti baju sini," ajakku. Si anak kecil tadi mendekat, membiarkan tanganku membuka kancing-kancing seragamnya. Mak Gendut tak bersuara lagi, hanya memandangi. "Kaos kakinya nanti simpan di sepatu ya." Kataku lagi. "Iyaaa..." jawabnya riang. Lalu setelah mengganti pakaiannya, ia melakukan hal yang kuminta kemudian asyik menyusun lego di pojok ruangan.

SEPENGGAL KISAH DENGAN HERYATI PUSPITASARININGSIH

Bismillah Ini hanya penggalan kisah tentang sebab aku menangis malam ini. Karena rindu, sesal, dan harapan yang saling berpautan. *** Dulu dia adalah perempuan dengan tubuh mungil dan berkacamata. Sampai sekarang tampaknya tubuh mungilnya masih sama, hanya saja saat ini sudah tidak berkacamata. Sapaannya Pita. Iya, gadis bertubuh mungil itu bernama lengkap Heryati Puspitasariningsih. Cukup panggil 'Pita' dan dia akan menoleh mencari sumber suara dengan wajah ingin tahu. Jujur saja aku sudah lupa bagaimana pertemuan pertama kami. Yang pasti kami sama-sama mahasiswa angkatan 2009 jurusan Pendidikan Sejarah di UPI. Ya, satu kelas. Dia adalah penggemar berat negara Jepang, hampir tidak nasionalis. Seperti orang jatuh cinta yang buta, dia selalu membicarakan Jepang begini dan begitu, Jepang bisa ini dan itu, Jepang bla bla bla. Apalah Jepang bagiku saat itu, karena aku tak benar-benar paham. Aku hanya bisa mendengarkan. Sekarang mungkin sudah tidak lagi. Aku tidak inga

MENJAGA BELLA

"Mama!" Teriak Bella sambil terisak begitu melihatku datang. Tangannya menggapai-gapai berusaha meraihku. Aku tersenyum lebar dengan gerakan tergesa menaruh semua tas belanjaan di tepi ruangan. Segera kuambil Bella yang mulai meronta dalam dekapan neneknya. "Cup... cup... cup... sayang, ini Mama, Nak," aku mengayun-ayun Bella. Tak berapa lama tangis Bella berhenti. Tangannya memainkan kancing mote-mote yang terpasang sebagai hiasan di jilbabku. "Bella ini kalau kerasa kamu sudah dekat rumah pasti nangis," ujar ibu mertuaku sambil menuangkan air ke dalam gelas. Ia kemudian menceritakan kegiatan Bella seharian dengan antusias. "Maaf, ya, Bu. Tadi aku sekalian mampir belanja mumpung lagi diskon, jadi terlambat sampai di rumah." "Nggak apa-apa. Ibu pulang sekarang, ya." Ibu bersiap menenteng tasnya. "Aku pesenin taksi ya, Bu," tanganku cekatan meraih gawai hitam dari saku baju. Membuka aplikasi taksi online dan memesan

GADIS LAYANG-LAYANG

Ternyata menerbangkan layang-layang sama sulitnya dengan membaca hati gadis angkuh yang baik hati dan berpenampilan elegan bak putri kerajaan. Memilih angin yang baik, cuaca, serta tempat yang tepat untuk membiarkan benda berbahan kertas warna-warni itu meliuk-liuk indah di langit. Itulah Baila. Gadis bermata jeli dengan aroma tubuh yang tidak pernah absen dari sentuhan Victoria's Secret. Harus kuakui bahwa tidak ada hal istimewa yang harus ia perhitungkan antara aku dan dia sejak kami berkenalan. Hanya satu yang kutahu, Baila menyukai layang-layang. Lebih dari hanya memandanginya disapu angin lembut, gadis rupawan itu mampu membuat dan menerbangkannya seorang diri. Seorang diri! Ingat-ingatlah Baila sebagai seorang gadis angkuh yang dapat melakukannya. Ketika aku tidak memiliki harga untuk diperhitungkannya, aku malah nekad mendambakan sosoknya. Dia seperti layang-layang empat dimensi yang selalu indah diterpa angin kesiur di tempatnya. Dengan ekor rumbai berwarna jingga yan

KAWAN OM TORO

Laki-laki bertubuh besar dengan jaket hitamnya membawa Vario putih ke pekarangan depan rumah. Dengan tenang ia membuka helm serta jaket tebal yang membuat tubuhnya semakin besar lalu menggantungnya di stang kendali. Aku sempat tersenyum sekilas, tapi... eh pria itu sama sekali tak peduli keberadaanku yang baru saja buang sampah ke dalam tong besar di pojok depan pekarangan. Aku menggerutu dalam hati. Ck, sopan sekali! Sudah numpang parkir, nggak permisi pula. Keluh batinku. Pria itu adalah kawan tetangga kami, Om Toro. Rumahnya berseberangan dengan rumah kami tapi berada agak di depan, berdampingan dengan toko besar di pinggir jalan. Kawannya ini sering parkir di pekarangan rumah kami saat bertandang ke rumah Om Toro. Entah siapa namanya. Rumah-rumah penduduk di gang ini hanya beberapa yg memiliki pagar, terutama rumah-rumah berukuran besar dan memiliki pekarangan luas. Rumah kami termasuk besar tapi pekarangannya kecil, ditambah lagi terhubung langsung dengan pintu belakang Bala

RAHASIA - Eps. 12

"Mereka mungkin sudah berbaikan, So," Preu mencoba berbaik sangka. "Tapi, apa Gai nggak trauma, Preu," bantah Sora. Preu menggeleng. Mereka tidak tahu pasti bagaimana hubungan Gaitsa dengan suaminya. Entah dari mana datangnya, ada rasa cemas yang menyusup di perasaan   Sora. Naluri keperempuanannya terusik dengan kejadian kekerasan yang dialami Gaitsa. "Lagi pula, suaminya pengusaha yang punya hubungan dekat dengan mafia hukum. Akan sulit mambantu Gaitsa lepas dari jeratnya." Kalimat Preu membuat Sora tertegun. Ia baru tahu tentang hal ini. Malang sekali nasib wanita pucat itu, batin Sora. "Bisakah kita menghubungi Gai? Bukankah kamu punya nomor kontaknya?" Tanya Sora. Preu mengangguk. Ia merogoh saku celana dan mengecek kontak Gaitsa. "Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau..." begitu jawaban operator. Preu mengetuk tombol merah. "Nomornya tidak aktif," Preu mengunci layar ponsel

RAHASIA (EPS. 11)

Toko kue itu lengang. Hanya ada seorang wanita berusia lima puluhan. Pegawainya yang hanya satu orang sudah pulang sejak sore karena tak enak badan. Wanita tua itu tengah menekuri sebuah buku bersampul tebal. Ia memandangi potret dua orang anak perempuan yang sedang tersenyum lebar sambil berpelukan. Jarinya mengusap halaman potret itu. Di sana ia seperti melihat proyektor kehidupan yang memutar masa lalunya bersama dua anak perempuan dengan paras menawan. Dua anak perempuan yang dibanggakannya. Raitsa dan Gaitsa. Keduanya terlalu spesial, namun ia harus kehilangan keduanya. Raitsa meninggal di usia muda karena terserang penyakit langka. Sedang bungsunya entah dimana ia sekarang. Wanita tua itu terlalu takut untuk menerima kenyataan pahit tentang Gaitsa. Wanita itu telah merelakan Gaitsa pergi meski rasa rindu begitu kuat menyerang setiap sendi-sendi tubuhnya. Ya, rindu yang selalu tertanam lebih kuat dari amarah yang pernah ia bendung. Tapi sesal tetap menyusupi batin yan

RAHASIA (EPS. 10)

"Lim, tolong awasi kafe, ya. Saya mau tidur." Pesan Sora pada Lim. "Oke, Bu." Lim melanjutkan gerakan tangannya yang sedang membersihkan meja. "Oya, kalau ada yang cari saya, bilang saja saya tidak ingin ketemu siapa-siapa." Lim mengacungkan jempolnya. Sora masuk ke dalam ruangan khusus di belakang kafe. Ruangan ini dibuat untuk tempat istirahat, tapi Sora jarang menggunakannya. Ia lebih senang berada di kursi Ibu, di depan. Mengawasi segala sesuatu di kafe. Namun hari itu Sora merasa letih. Ia belum tidur semalaman. Di dalam ruangan itu terdapat sofa lipat yang jika dibuka bagian tengahnya, bisa digunakan sebagai tempat tidur. Sora memejamkan matanya. Baru beberapa menit, terdengar suara berisik di luar. Seseorang mengetuk pintu ruangan dengan kasar. Sayup-sayup terdengar suara Lim yang menahannya. Sora tidak bisa menahan tangannya untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka, ia tak dapat menahan tubuh jangkung yang segera menenggelamkannya ke

RAHASIA (EPS. 9)

Preu mendapati rumah kosong. Di meja makan, ia juga menemukan struk-struk belanja yang separuh terserak. Kepalanya seperti menyadari sesuatu. Preu melihat tasnya sudah kosong. Preu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Tangannya mengusap wajah. Napasnya berat. Ditambah mata yang perih akibat tak tidur semalaman. Tidak, tidak, ia bahkan hanya tidur tiga jam dua hari sebelumnya. Pertemuannya dengan Gai kembali, menumbuhkan riak-riak kekagumannya. Gai pun seperti mendapat angin segar saat kembali bertemu dengan Preu. Perasaan sepi yang menghantuinya selama ini ia tumpahkan pada sahabat lamanya. Setelah peristiwa di kantor polisi, Gai dan Preu bertukar kontak. Awalnya hanya saling bertukar kabar dan bercerita masa-masa SMA. Gai lalu merasa nyaman akan kehadiran Preu. Ia pun menceritakan apa yang menimpanya tiga tahun belakangan. Gai lulus kuliah meski hanya memperoleh predikat cukup baik. Wanita pucat itu kemudian bekerja di sebuah perusahaan multinasional, posisi telemarketing. Gajinya c

RAHASIA (EPS. 8)

Preu berhenti di depan sebuah rumah minimalis. Buru-buru ia masuk ke dalam rumah. Wanita dengan wajah pucat tengah duduk lemas di sofa panjang. "Ayo, kita ke rumah sakit, Gai," Preu memapah wanita itu. Gai menurut. Ia nampak kesakitan saat bergerak. Pakaian bagian bawah sudah kuyup oleh darah. Wajah Preu tampak cemas. Ia segera membawa Gai ke rumah sakit yang paling mudah dijangkau. Perasaan kalut menyelimuti pikirannya. Bayangan wajah Sora yang kecewa juga masih membuntutinya. Hampir saja ia kehilangan konsentrasi. Mobil yang dikendarainya nyaris menabrak pembatas jalan. Beruntung jalanan sepi. Otaknya langsung memberi perintah untuk banting stir ke kanan, kemudian menyeimbangkan kendaraan agar berjalan lurus. Wanita di jok sebelah terlihat lemah. Wajahnya kian pucat. Preu menggenggam tangannya. "Gai! Tetaplah sadar!" Preu mengguncang tangan Gai. Gai berusaha membuka matanya. Ia menoleh ke arah Preu. "Preu, maafkan aku," bisiknya. "G

RAHASIA (EPS. 7)

Setelah tak sengaja bertemu dengan Ran, Sora tak lagi memikirkan sambutan khusus untuk Preu. Ia meninggalkan keranjang belanjanya begitu saja. Kakinya melangkah gontai meninggalkan supermarket. Pikirannya kalut. Kecurigaan yang mulai tumbuh di hatinya membuatnya menarik satu kesimpulan bahwa Preu melakukan sesuatu di belakangnya selama ini. Hanya saja Sora tidak tahu dari mana harus mulai mencari tahu. Ia juga tidak bisa menceritakan hal ini pada siapa pun. Sora tidak suka membicarakan hal-hal mengenai rumah tangganya pada siapa pun, termasuk pada ibunya. Kehidupannya dengan Preu bukanlah konsumsi umum. Sora amat paham tentang asas rahasia dalam rumah tangganya. Termasuk masalahnya kali ini. Tiba-tiba Sora merasa sendirian. Tidak ada seorang pun yang bisa membantunya. Kaki Sora berhenti di depan teras rumah. Perasaannya bergetar melihat siapa yang sudah berdiri di sana. Pria bertubuh tegap yang dinanti kedatangannya tampak tersenyum. "Sudah lama, Preu?" Tanya Sora