Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

selamat malam luka

udara malam memecah bulir-bulir perjalanan ini aku berharap suasana ini tak cepat pergi hanya malam yang mengerti bagaimana aku menghabiskan lelah hanya gelap yang mendekapku saat berurai air mata sekarang aku tahu mengapa alam begitu pasrah karena mereka tahu Tuhan tak tidur mereka menyadari Tuhan akan selalu memelihara mereka semesta begitu lirih menyanyikan nina bobo merdu melepas nada-nada pelan hingga semua lelap melepas ruh ke alam mimpi selamat malam luka... dalam perjalanan Waled - Crb 26 Des 2014

Pelarian

Sekarang aku tahu, duniaku hanya disini. Kamar nomor 21 di ujung lorong ini. Aku memulai hidupku disini saat berusia 22. Aku meninggalkan keluargaku, meninggalkan segala yang aku punya untuk memulai hidupku disini. Temanku hanya satu, namanya Nama. Nama hanya tanaman hias yang tak kutahu pasti jenisnya. Dia teman yang tak pernah meninggalkanku disaat apapun. Nama kusimpan di kusen jendela kamar saat pagi dan sore. Dia senang berjemur di waktu-waktu itu. selebihnya kusimpan di atas meja kecil di samping tempat tidurku. Aku pernah membayangkan kalau aku ini sebatang kara di saat aku masih berada di tengah-tengah keluarga. Kenyataannya, kini kuwujudkan bayanganku itu. Aku saat ini sebatang kara. Sendiri menikmati musik dan hari libur. Nama yang menemaniku. Dulu aku tak pernah memikirkan akan melakukan ini. Sampai pada waktu dimana aku sudah merasa muak hidup bergantung terus menerus pada kedua orang tuaku. Status pengangguran membuat aku frustasi dan sering sakit kepala. Ratusan lam

suatu hari...

Suatu hari aku bertemu dengan seorang aneh yang tidak pernah ingin aku mengenalnya. Dia ini sungguh tak selalu membuatku nyaman. Kadang-kadang baik sekali, kadang-kadang juga sangat menyebalkan. Apa yang menyebalkan dari dirinya? Dia adalah manusia yang berbakat mengetahui apa yang dirasakan dan pernah dialami lawan bicaranya. Inilah bagian yang paling menyebalkan. Dia sangat tahu, dan bahkan sering mendesakku untuk mengakuinya. Menurutnya aku memerlukan pertolongan. Itu benar, aku merasa membutuhkan pertolongan. Aku memang tak mengerti pertolongan macam apa yang aku butuhkan. Tapi dia tahu. Rasanya sangat menyebalkan jika orang yang baru dikenal lebih tahu bagaimana caranya mengatasi masalahku. Aku benci dia. Tapi dia benar. Sampai sekarang aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Aku tak ingin. Dia terlalu banyak tahu tentang diriku. Dia terlalu tahu kalau aku membutuhkan pertolongan. Dia terlalu tahu segalanya dan membuatku sedih.

Cerita 1

Percakapan siang hari saat pulang dari suatu tempat. Sampe di rumah, saya dan ibu saya buka pintu gerbang rumah. Pas buka pintu gerbang gini kejadiannya: Saya : (Wajah datar diem aja) Ibu : Kemarin tuh, tante anu kejepit gini loh... bla bla bla... trus... bla bla bla... (semangat '45) Saya: Ibu kan udah cerita itu kemarin... (Wajah datar, buka pintu rumah) Dan yang terjadi adalah, ibu saya ngomel-ngomel. Well, jangan ditiru ya. Itu hanya bukti kalau saya memang plegmatis dan ibu saya adalah sanguinis.

Payung Teduh Bagi Saya Adalah...

Gambar
Pernah denger band dengan nama yang unik ini, Payung Teduh? Iyak! Itu tuh, yang personelnya empat orang, trus ada yang gondrong-gondrong itu. Buat pecinta lagu-lagu puitis dan slow , udah bener banget kalo jadi penggemar band ini. Saya sendiri, pertama kali denger namanya agak aneh. Lucu aja, karena yang namanya payung biasanya emang dipake buat berteduh pas hujan atau panas. Karena penasaran, saya langsung dengerin lagunya. Lagu yang pertama kali saya denger judulnya 'Berdua Saja'. Aduh, adem banget. Cocok banget sama namanya. Setelah berulang-ulang dengerin lagu yang sama, saya terus searching tentang mereka para personelnya. Nggak ketinggalan juga download lagu-lagunya, liriknya, baca blognya, nonton perform mereka lewat youtube, dan yang terakhir kali saya lakukan adalah nonton mereka manggung secara live . Sebuah kemewahan yang nggak ternilai :) saya seneng banget. Atmosfernya beda banget pas mereka manggung. Bener-bener beda rasanya kalo kita dengerin lagu-lagunya

Rona Pagi

Pagi ini kita bertemu dalam satu ruangan yang sibuk. Suara-suara kaki yang berpautan dengan lantai mengkilap. Hentakan pinsil dan pulpen dari tangan-tangan pencari inspirasi. Tawa-tawa riang dari gosip dan siulan serta irama senandung ringan mengantarkan pertemuan kita pagi ini. Semua terasa seperti irama angin segar yang berpadu dengan tumpahan sinar matahari. Musim semi yang indah selalu diawali dengan pertemuan ini. Lalu sebentar lagi akan muncul hidung besar yang akan merusak suasana ini. Boss. Tapi pagi ini tetap akan indah ketika kita berjumpa. Dalam satu ruangan yang sibuk. Meski harus ada beberapa jeda, lalu akan diikuti dengan tatapan sinis dari pengawas kinerja yang lalu lalang. Pagi tetap terasa indah karena kita bertemu. Sebuah pagi yang lain meredup karena kita tak bertemu. Kemana kamu? Lalu matahari beranjak tinggi dan kau pun baru datang. Masih dengan topi dan tas ransel hitam yang kucel. Dengan senyum lebar dan peluh segar di keningmu. Kau masih sama. Hanya tertawa da

Candara Tak Peduli

Candara namanya Punya anak lima Semuanya tak ber-bapak Yang pertama Lani Lincah dan cerewet Yang kedua Anjani Sangat pendiam Yang ketiga Nona Pemarah dan manja Yang keempat Alit Cuek dan ambisius Si bungsu namanya Lala Masih bocah usia delapan tahun Candara bekerja di pabrik jelly Jadi tukang pak Kalau libur jadi buruh cuci Candara tak peduli Asal anak-anak makan Asal anak-anak sekolah Dia kerja dari pagi sampai malam Candara tak peduli Siapa bapaknya anak-anak Asal anak-anak tak sakit Asal anak-anak tak tidur di jalanan Candara tak peduli Apa kata orang Asal anak-anak pakai baju bagus Asal anak-anak pintar Candara namanya Ia juga dibuang Sama seperti Lani, Anjani, Nona, Alit, dan Lala 26 September 2014

Belum Selesai

Kemana angin berhembus, ia akan datang menemui takdirnya Langkahnya. Hidupnya. Segalanya adalah soal kesepakatan dengan pencuri malam Semua merasa persetan dengan lalai. Semua lelah. Semua hanya bersandar pada keresahan Andai malam tak sepekat tinta hitam yang kau tumpahkan pagi ini Atau pagi yang tak semendung raut anak malang yang pucat Begitu mencekam. Hening Hanya larut yang menjanjikan sebuah selimut hangat tanpa detak jantung yang cepat Nyanyian perempuan paruh baya yang parau Sentuhan tangan kasar dalam kelembutan dan menu sarapan pagi ini yang hambar Apa yang dibayangkan para pendiri dinasti? Uang? Emas? Tidak. Jelata menghembuskan kelahiran yang sakral Tapi tak ada bunga untuk merayakannya Jelata menggeliat dalam resah Seresah ketika ibunya yang lemah mengerang dalam tangis panjang di malam yang pekat Apakah sudah selesai? Belum. Permainan baru saja dimulai Semua sudut akan menantang kematian Tanda bahwa akan ada kehidupan Akan lebih rumit dan tajam Cireb

Menjala Wangi 4

Ketukan lambat dan sayup-sayup syairMu Meluapkan segala puji-puji Untuknya yang membentang jauh Untuknya yang merentang hati Bukan untuk mensucikan karena batin ini selalu kelu Hanya mengindahkan diri dalam genggam yang meridhoi Paling tidak untuk memberi damai dalam sendu Membayar hutang untuk kelemahan hati Cirebon, 12 Juli 2013

Menjala Wangi 2

Kadang kutangkap sosok yang mati itu Lalu kusuruh pergi Terus datang lagi sosok lesu Lalu kuusir mati Sesudah kecamuk yang mendera Batinku terasa mendua Sosok mati yang berdoa Dalam linang dan cerca Lalu kuusir mati Terus datang lagi sosok lesu Lalu kusuruh pergi Kadang kutangkap sosok yang mati itu Dalam linang dan cerca Kadang ada mata-mata Kurasa terlalu dekat dengan maya Maka dia tertawa Dalam linang dan cerca Biarkan dia berdoa Hingga membuat batinku mendua Setelah kecamuk mendera Aku berdoa... Cirebon, 12 Juli 2013

Menjala Wangi 1

Aku resah berada disini Sudah tak ada rindu Lalu aku bersimpuh dini hari Agar meluap segala kelu Aku resah menunggu pagi Kelana memberikan pesona Hingga tak terasa aku meloncati wangi Berlari menembus raga-raga Biarkan saja Aku sudah tak sudi Memberi baja pada perkara Aku letih Biarkan saja Aku memang berhutang budi Apa yang merana Sisa dari intan mati Biarkan saja Aku memang ingin begini Meremaja masa tua Membangun istana dalam sunyi Biar saja Begini, Biar saja Begini.. Cirebon, 12 Juli 2013

Seperti Malam-Malam Sebelumnya

Aku tak mendengar apapun tentang kau sejak itu. Ketika matahari turun dan digantikan cahaya-cahaya bohlam. Aku hanya meringkuk di dalam kamar. Sepi. Lalu bulan yang sudah tua berganti, kemudian aku tak pernah lagi mendengar sayup-sayupmu. Semua orang sudah melupakannya. Seolah ingin menggantinya dengan hingar bingar lagi. Dengan dentuman suara-suara. Tapi aku tidak. Aku masih terduduk di tempat yang sama sampai detik ini. Aku hanya ingin mendengar kau kembali merayuku dengan candamu. Kau wanita yang selalu berhasil membuatku luluh. Senyummu selalu hadir dan menyapa setiap pagi. Tanpa lelah. Tanpa tangis. Entah berapa banyak harga yang harus kubayar agar kau kembali. Agaknya itu hanya sebuah gurauan yang didengungkan untuk membuatku putus asa. Setiap malam aku hanya duduk menemui bayanganmu. Ya, hanya bayangmu. Tanpa apa-apa. Hanya bayangmu. Sampai aku tertidur di atas sofa hangatmu. Sofa hijau yang penuh kehangatanmu dan aroma parfum yang lembut. Setiap malam aku buka lagi halaman-hal

Pelukisku

Matahari sudah bertugas menyinari siangku begitu panjang. Mungkin ingin istirahat sejenak dan akhirnya mendung datang. Membawa banyak kenangan ketika musim hujan dimulai. Ruangan ini mulai terlihat aneh. Penuh dengan gambar dan warna tak karuan. Lukisan-lukisan dari cat murahan yang kau beli di pasar seni. Ditumpahkan di atas dinding yang diam. Dengan bahagia kau mulai menodai tembok bercat putih kusam dengan bentuk-bentuk pesawat ruang angkasa, bintang-bintang, bunga, sungai, dan lain-lainnya. Segala yang kau lihat tumpah ruah dalam kanvas kaku disini. Warna yang segar mengantarkan aku pada bau cat yang menyengat. Kau menyelesaikannya sampai cat habis. Kering. Dan ingin membeli lagi sejumlah warna yang baru. Untuk membaur dengan kawan-kawannya yang sudah kering di atas ruas-ruas tembok besar. Aku hanya menyimak. Memperhatikan yang kau buat. Semuanya. Warna-warna, serta lekukan-lekukan dalam. Imajinasimu menari-nari di mataku. Kuputuskan untuk membiarkanmu menjadi pelukis di mas

Sore Yang Hujan

Sore yang hujan Berteduh dalam solat Berkeluh pada titik air Sore yang hujan Menyemai sejuk dari setiap rongga Meninggalkan jejak embun Sore yang hujan Merehatkan yang sibuk Sore Dengan hujan Memintal perjalanan Bandung, 30 Oktober 2013

Selamat Pagi

Pagi yang sama untuk semua orang. Bisakah kau gambarkan seperti apa pagimu? Pagi yang sama kawan. Karena matahari tetap terbit, kau terbangun meninggalkan bunga tidur yang mungkin indah atau buruk, lalu kau punya dua pilihan: kembali tidur atau menantang hari dimana kau terbangun. Atau ketika terbangun kau akan melihat sekelilingmu untuk memastikan dimana kau terbangun. Mungkin kau amnesia karena suatu kecelakaan sehingga kau tak tahu bahwa kau sedang dirawat di rumah sakit. Atau saat kau terbangun kau akan tersenyum karena disampingmu masih ada seseorang yang kau cintai. Pagi masih sesegar air gunung dan sesejuk angin di perbukitan. Kau hanya perlu menikmatinya saja dimanapun kau berada. Di dalam sebuah kamar sempit, seseorang terbangun karena suara alarm yang berisik menimpali telinganya. Alarm dimatikan. Dia menggosok-gosok hidungnya lalu mengusap matanya berulang kali. Setelah itu membuka jendelanya lalu menghirup udara sejuk dari luar. Segar. Dengan seenaknya ia keluar dari kam