Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober 29, 2017

HAH? JADI?!

Air jengah menatap daftar nama kelompok praktik di papan pengumuman. Sorot matanya tiba-tiba meredup. Dia lagi, keluhnya. Air tak punya alasan untuk menghindarinya kali ini. Api, sosok yang lama ia acuhkan sebagai pelampiasan karena telah mempermainkan perasaannya. Untuk urusan lain, Air bisa menghindar. Tapi kali ini tugas praktik lapangan tidak bisa terhindarkan. Jika ia memilih untuk membatalkan praktik di semester ini, resikonya harus menunggu satu tahun lagi. Helaan napas sesal Air kini sudah menjauh dari papan berukuran tiga kali satu setengah meter yang sejak tadi bisu. *** Api menatap daftar nama kelompok praktik di papan pengumuman. Ia resah membayangkan seperti apa reaksi gadis itu jika satu kelompok dengannya. Api tahu bagaimana sikap gadis yang pernah dekat dengannya seketika menjadi acuh saat ia merasa tersakiti. Sebetulnya Air bukan gadis sembarangan. Ia teramat spesial di hati Api. Bahkan sampai hari ini. Api terlalu kecut untuk kembali mendekati Air. Jika Ai

NOMOR ANTREAN

Kertas bertuliskan angka 153 kusisipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah. Masih lama, batinku. Antrean dokter umum hari ini panjang sekali. Seorang lelaki paruh baya di samping kananku bahkan memegang nomor antrean ke 170. Sama-sama angka besar, keluhku. Di sebelah kiriku duduk seorang ibu muda. Anaknya yang masih terhitung usia bulanan tidur pulas di pangkuannya. Iseng aku bertanya nomor antreannya. "Dapat nomor berapa, Bu?" "88," jawabnya sambil menunjukkan kertas nomornya. Glek. Ingin rasanya menukar kertas antreanku. Tapi tentu saja tak tega melihat bayi yang di gendong ibu muda itu berlama-lama ada di antara pasien-pasien penyakitan seperti kami. Aku terbatuk pelan. Tanganku refleks menghalangi mulut yang sebetulnya sudah tertutup masker. Kupijat sedikit dahi yang terasa sakit karena terbatuk. Ibu muda tadi bergeser sedikit menjauhiku. Duh, ia pasti takut anaknya tertular. Tapi seharusnya ia tak membawa bayi ke tempat berobat seperti ini. A

DOA UNTUK MORA

Ami gamang. Ia memandangi ponsel yang sejak tadi berada dalam genggamannya. Wajahnya bimbang karena sama sekali tak menemukan alasan untuk menghubungi seseorang yang sejak enam tahun silam nampak memilih pergi dari hidupnya. Suasana rumah yang lengang membuatnya teringat pada sosok berkacamata itu. Jika boleh dikatakan, Ami rindu. Meski pernikahannya dengan pujaan hati sudah berjalan satu tahun, tapi tak membuatnya melupakan seseorang yang dulu pernah mengisi ruang persahabatannya. Mora. Nama itu jelas berada dalam kontak ponselnya. Sejak tadi Ami hanya menaik-turunkan keypad ponsel agar nama itu terus berada dalam jangkauan matanya. Sejak enam tahun lalu Mora tak pernah menghubungi Ami. Setiap Ami mulai menghubunginya, Mora tak pernah merespon. Satu tahun pertama Ami terus-terusan mencari Mora. Bertanya pada sepupu Mora, teman-teman SMA, sampai berkali-kali menghubungi lewat media sosial Mora. Nihil. Mora sama sekali tak ditemukan. Ami sama sekali tak tahu bagaimana kondisi

RESENSI BUKU: BIDADARI UNTUK DEWA

Identitas Buku Judul : Bidadari untuk Dewa Penulis : Asma Nadia Penerbit : KMO Publishing Juml. Hlm : 528 hlm Ukuran : 14 × 20,5 cm ISBN : 978 602 50441 06 Resensi Buku Saya baru saja menyelesaikan novel terbaru Asma Nadia berjudul Bidadari Untuk Dewa. Kisah jungkir balik seorang Dewa Eka Prayoga dalam dunia bisnis. Kisah nyata berbalut cerita cintanya dengan sang Bidadari. Novel ini sungguh mengaduk perasaan. Di awal cerita, hati sudah di buat gemetar dengan bayangan adegan pengepungan rumah oleh investor-investor yang merasa di tipu oleh Dewa. Kemudian seperti dijatuhkan ke jurang, dalam imajinasi, muncul adegan lain yang sama sekali berbeda di judul ke dua. Asma mengajak pembaca mundur pada peristiwa lain di masa lalu Dewa. Alur maju mundur yang disajikan Asma menghujamkan rasa penasaran pembaca. Saya sendiri di buat ketagihan untuk terus membuka halaman demi halaman untuk menyentuh sisi kehidupan Dewa yang bagaikan roller coaster. Dewa Eka Prayoga lahir dan tumbuh

PELAN-PELAN

Pelan-pelan, Sayang Langkah tergesa-gesa akan membuatmu tak seimbang Pelan-pelan Kalau jatuh akan sakit rasanya Pelan-pelan, Sayang Bersabarlah di antara semangat menggebu Untuk secepatnya ingin berlari Meninggalkan masa kanak-kanak Pelan-pelan, Sayang Jangan buru-buru Mama masih ingin memperhatikan gerak tubuhmu yang lucu Mendekapmu seperti bayi mungil saat kamu baru lahir Pelan-pelan, Sayang Tak perlu tergesa meninggalkan kami Langkahmu akan bersinar bak sayap malaikat Untuk terus meraih cita dan asa

PERNYATAAN CINTA ERO

Pus menghela napas. Matanya mengerjap. Ia sedang membayangkan peristiwa yang baru setengah jam lalu dialaminya. Sebuah pernyataan cinta dari seorang kakak tingkat di kampusnya. Ia masih belum percaya ada seorang manusia yang dengan percaya diri membawa-bawa pengeras suara ke depan gedung fakultas, meneriakkan namanya, dan menyatakan cinta saat itu juga. Pus malu. Dadanya bergemuruh hebat. Sekonyong-konyong ia lari lewat pintu darurat setelah menyadari apa yang terjadi tanpa menemui lelaki yang menjadi sumber keributan di depan gedung fakultas. "PUSPA PUSAKA PUSPITA! SAYA MENCINTAIMU! MAUKAH KAMU MENJADI PELENGKAP HIDUPKU HARI INI DAN DI MASA DEPAN?" Kalimat lelaki berkuncir itu terdengar jernih di telinga Pus. Kalimat yang mampu menghentikan sebagian besar kegiatan di gedung fakultas Pus. Semua mencari sumber suara. Kalimat itu beberapa kali diucapkan dengan berapi-api. Pus sadar akan ada banyak orang di kampus yang menjadikan kejadian hari ini sebagai bahan pembicara