MENANTI KAPAL BESAR HITC

Dermaga Selatan masih disibukkan dengan kegiatan pengangkutan komoditas makanan kering. Matahari terik menyengat kulit para tukang angkut dermaga. Membuat mata menyipit karena silau.

Barisan tukang angkut sepanjang lima belas meter ke arah kapal besar bergegas-gegas memindahkan karung goni sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan upah lebih banyak. Kadang saling sikut untuk menangkap karung-karung yang diturunkan dari truk.

"Dasar lambat!" Gertak seorang pria berkumis lebat.

Yang digertak, pria berbadan kurus, hanya mengeluh pelan sambil menepuk pundaknya yang disenggol oleh pria berkumis. Si pria berkumis mengangkut dua buah karung dari truk dengan langkah pongah. Langkahnya membuat debu di sekitar berterbangan.

"Tidak perlu diambil hati, Sobat," seseorang menepuk pundak si pria kurus.

Sobat ternyum tipis. Seharusnya Ger menyimpan kalimat simpati untuk dirinya sendiri. Ia bahkan lebih kurus dan tidak punya gigi depan sejak terjatuh di geladak kapal karena mencoba mencuri sepotong daging panggang. Ger balas tertawa.

"Hei, kalian! Mau kerja tidak?!" Pria di atas truk berteriak.

Rupanya barisan di depan Sobat dan Ger sudah kosong sejak tadi. Kedua pria kumal itu kemudian cepat-cepat mendekati truk dan mengangkut masing-masing satu karung goni ke kapal.

***

Bagi Sobat, kehidupan di dermaga jauh lebih baik dibandingkan tinggal di camp penampungan yang mengharuskannya bekerja tanpa upah. Setelah gempa bumi yang hebat menimpa wilayah Selatan, kekeringan terjadi selama dua tahun berturut-turut. Orang-orang kaya makin gila dengan kekuasaan mereka. Peraturan kerja menjadi tidak karuan. Namun, karena orang-orang miskin dan korban bencana alam membutuhkan makanan, mereka rela menjadi budak untuk mendapatkannya.

Sobat dan Ger duduk di antara perahu-perahu kecil yang tidak beroperasi lagi. Sobat menyulut sebatang rokok, lalu menghisapnya perlahan.

"Kudengar Kapal Besar Hitc akan sampai di dermaga ini sepuluh hari lagi," Ger memggaruk kakinya yang kapalan.

Sobat menatap Ger sebentar. Ada perasaan ingin melompat dari tempatnya duduk. Kapal Besar Hitc adalah kapal induk dari Barat yang akan berlayar ke wilayah Timur, membawa banyak muatan penumpang dan makanan kering. Kapal ini hanya singgah lima tahun sekali untuk menurunkan muatan atau penumpang.

"Benarkah?" Sobat menyelidik.

"Dail yang mengatakannya tadi siang," Ger menghisap rokoknya.

Ah, Dail si pembual. Sobat separuh kecewa mendengarnya. Berita dari Dail sering tidak bisa dipercaya.

"Bukankah kau tahu kalau Dail tukang bohong?"

"Tapi Dail bilang ia mendengarnya langsung dari pembicaraan Gush dan Ruu di ruang kendali," tangan Ger menghalau nyamuk. "Pembicaraan ruang kendali adalah informasi penting, Sob. Tidak mungkin kalau ada salah satu dari kuli yang akan membuat rekayasa." Lanjut Ger meyakinkan.

Sobat memandangi langit. Ia telah menunggu kapal besar itu datang untuk menumpang sampai ke wilayah Timur, menemui seseorang yang sangat penting. Upahnya selama bekerja menjadi kuli angkut hampir cukup untuk membayar satu tiket.

"Jadi, kau akan ikut ke wilayah Timur, Sob?" Tanya Ger. Matanya memandangi perahu yang bergoyang di atas air laut.

"Aku harus ke sana, Ger," Sobat menoleh sekilas.

Ger mengangguk. Sesungguhnya ia tidak ingin Sobat pergi, tapi tak punya kata-kata untuk mencegahnya. Sobat sudah pernah mengatakan rencananya sejak lama. Itulah sebabnya ia bekerja di dermaga, untuk melakukan perjalanan ke wilayah Timur, menemui kakaknya. Satu-satunya keluarga yang masih hidup setelah bencana.

Lengang. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Angin berhembus menggoyangkan perahu-perahu di sekitar mereka. Sobat mulai menghitung upah yang harus didapatnya selama sepuluh hari ke depan untuk menggenapi kekurangan uangnya.

***

"Dasar lambat!" Pria berkumis lebat itu menyikut Sobat dengan lengan kekarnya.

Sobat meringis merasakan hantaman di lengan yang cukup membuatnya hampir terjatuh. Pria berkumis tadi tertawa sambil mendahului langkah-langkah Sobat.

Hari yang panas sama artinya dengan persaingan mengangkut barang di dermaga. Tapi Sobat tak gentar. Ia teringat Kapal Besar Hitc yang akan berlabuh sepuluh hari lagi. Kakinya melangkah lebih cepat untuk mengambil barang di truk dan mengangkutnya ke atas kapal.

Ketika waktu istirahat tiba, Sobat hanya beristirahat seperlunya. Ia memulai bekerja kembali sebelum waktu istirahat selesai. Polahnya menarik perhatian sebagian kawan-kawan seprofesinya. Ada yang menganggapnya hanya mau cari muka di hadapan mandor. Tapi Sobat tidak peduli. Ia tetap pada tujuannya: pergi ke wilayah Timur.

***

Dua hari lagi Kapal Besar Hitc akan menurunkan sauh di Dermaga Selatan. Berita ini sudah menyebar luas. Sobat semakin tak sabaran mencapai targetnya. Hari itu ia semakin bersemangat melakukan pekerjaannya sampai melewatkan istirahat siangnya. Selain itu, ia pun sudah berkemas.

"Kau tidak perlu menghabiskan tenagamu sekarang, Bung," Ger membakar ujung rokoknya.

"Benarkah? Aku mungkin terlalu bersemangat, Ger." Jawab Sobat sambil menyeringai.

"Ah, ya. Aku sudah lama melupakannya."

"Apa?"

"Tentang terlalu bersemangat," ucap Ger lesu. "Kau tahu, sangat beruntung ketika kau masih memiliki harapan untuk melakukan sesuatu." Lanjutnya sambil menatap Sobat serius.

Sobat menelan ludah. Teringat kisah Ger di pengungsian saat ia mulai menjadi budak seorang tuan tanah untuk mendapatkan pengobatan bagi putrinya yang terserang penyakit parah. Ia dan si tuan tanah melakukan perjanjian bahwa tuan tanah akan memberikan pengobatan setelah Ger bekerja selama satu minggu. Tapi terlambat, belum selesai pekerjaan Ger, putrinya meninggal. Setelah itu Ger sebatang kara.

"Aku harap kau bisa bertemu dengan kakakmu," sebuah genggaman erat mendarat di bahu Sobat.

Sobat mengangguk. Ada perasaan hangat yang mengaliri aliran darahnya. Membuatnya merasa lebih kuat dan mantap melakukan perjalanan ke wilayah Timur, meski ia tahu tidak akan mudah dalam situasi saat ini.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS