TERSANDUNG ASMARA

Gerimis turun begitu saja meski matahari masih tersenyum di tengah-tengah awan kelabu. Hari masih terang. Kaki-kaki bersepatu Warior dan NB tiruan berduyun-duyun meninggalkan area luas sebuah sekolah swasta. Mereka akan berpencar begitu bertemu gerbang sekolah yang sudah dibuka lebar. Seorang satpam akan menyahuti setiap sapaan akrab remaja-remaja tanggung yang riang karena akan meninggalkan sekolah.

Tidak, tidak. Sekolah belum sepi. Masih ada sebagian siswa yang bertahan di bagian dalam area sekolah. Di kantin, di lapangan, di laboratorium, di kelas, di kantor guru, di Masjid, di ruang OSIS, atau di ruang-ruang klub. Lalu biasanya satu jam kemudian hanya akan menyisakan anggota klub yang sedang latihan. Hari itu giliran klub drum band yang sedang berlatih. Aku tengah asyik menikmati alunan musik yang dimainkan sambil menonton mereka melatih formasi barisan.

Awan kelabu masih menyelimuti langit. Tapi matahari masih bersinar. Sepertinya cuaca masih memihak matahari untuk tetap eksis di tengah mendung. Gerimis sudah reda sejak tadi.

"No, anter ngeprint, yuk," Intan menggamit lenganku.

Tanpa pikir panjang kuikuti langkah Intan menuju kios rental komputer yang melayani jasa cetak. Kami melewati sebuah labiratorium komputer sekolah yang masih ramai oleh siswa-siswa yang sedang numpang online. Sebagian berkedok mengerjakan tugas, padahal sedang asyik membuka Friendster dan Facebook. Intan menghentikan langkahnya di mulut pintu lab, membuatku ikut berhenti. Ia melongokkan kepalanya ke dalam ruangan. Di meja komputer paling depan seorang pria berusia 28 tahunan tengah duduk tenang mengawasi siswa yang sedang menggunakan komputer.

"Mas, printer boleh dipake nggak?" Intan setengah berteriak.

"Bayar," sahut lelaki tadi.

Intan terkekeh. Ia kemudian melepas sepatunya dan masuk ke lab. Aku tahu lelaki tadi. Guru honorer untuk mata pelajaran komputer di sekolah ini. Tapi dia tidak pernah mengajar di kelasku. Guru komputer di sekolah ini ada tiga. Semuanya masih muda, sehingga mudah akrab dengan siswa. Termasuk lelaki yang sering disapa Mas Ruli ini.

"Mas, ikut ngeprint, dong," pinta Intan.

"Ngeprint apa?" Tanya pria berkulit gelap itu.

"Tugas biologi,"

"Berwarna?"

"Iya,"

"Nggak bisa, Tan. Ini printernya cuma ada warna saya aja,"

Dahi Intan berkerut, "maksudnya?"

"Item!"

Tawa mereka pecah. Aku pun ikut tertawa.

"Eh, kamu, siapa namanya? Ngeledek, ya," Mas Ruli melotot pura-pura marah.

Aku masih terkekeh ketika Mas Ruli tersenyum lagi. Senyumnya manis. Giginya yang kekuningan karena setiap hari menghisap gulungan bernikotin terlihat berbaris rapi ketika menyeringai.

Intan masih berusaha membujuk Mas Ruli agar bersedia membiarkannya menggunakan printer lab. Tapi Mas Ruli tetap menolak dengan alasan tidak ada tinta berwarna selain warna hitam.

Intan akhirnya menyerah. Gadis berkulit putih itu mengajakku ke rental komputer di seberang sekolah.

"Hati-hati, ya nyebrangnya," ujar Mas Ruli.

"Iya, Mas," sahut Intan sambil melambaikan tangannya.

"Dih, GR kamu. Hati-hatinya buat temen kamu!" Tawa Mas Ruli menggema.

"Awas, ya!" Intan pura-pura kesal.

Aku terkekeh mendengarnya. Aku baru tahu kalau guru komputernya anak-anak IPA punya selera humor juga. Kupikir Mas Ruli tipe orang yang serius dan galak, nyatanya berbeda jauh. Karena selama ini aku tidak pernah melihatnya berkelakar dengan siswa.

Intan selesai mencetak tugasnya. Kami mampir ke warung es di pinggir jalan.

"Mas Ruli kalo di kelas kayak gitu juga?" Tanyaku penasaran.

"Jarang, sih. Lebih sering serius. Bercandanya kalau di luar kelas aja." Jawab Intan sambil memilih minuman dingin yang akan dibelinya.

Tidak ada lagi pembicaraan tentang Mas Ruli hari itu. Aku sendiri tidak tahu bahwa akan ada hari-hari istimewa yang kuhabiskan dengan pria jangkung itu.

***

Hari ini jadwal pelajaran komputer di kelasku membahas materi jaringan LAN. Materi ini sama sekali tidak menarik bagiku. Aku lebih suka membahas rumus-rumus dalam Microsoft Excel. Tapi suka atau tidak, aku tetap harus mengikutinya.

Kang Pandu yang mengajar di kelasku meminta seluruh awak kelas pindah ke laboratorium komputer.

Aroma karbol wangi langsung menguar begitu aku memasuki ruangan ini. Mas Ruli terlihat sedang memeriksa kesiapan beberapa komputer. Saat melihat sosok Kang Pandu di belakang rombongan kami, lelaki berjenggot tipis itu memberi kode, membuat tanda bulat dengan telunjuk dan jempolnya.

Tidak banyak siswa kelasku yang menyapa Mas Ruli. Kebanyakan memang tidak terlalu mengenal sosoknya. Termasuk aku.

Waktu dua jam pelajaran yang dihabiskan untuk mempelajari cara kerja jaringan LAN pada komputer terasa lama sekali. Bukan karena cara mengajar Kang Pandu membosankan, hanya saja materi ini sulit kucerna.

Mas Ruli mondar-mandir membantu Kang Pandu mengawasi kami melakukan praktik jaringan LAN. Aku sesekali melirik lelaki hitam manis itu. Ia beberapa kali menegur siswa laki-laki yang bermain-main dengan gulungan kabel di pojok ruangan.

"Ada yang belum ngerti?" Mas Ruli sudah berdiri di sebelahku.

"Sudah, Mas," jawabku singkat.

Dering bel tanda jam pelajaran kedua selesai terdengar nyaring. Rasanya lega bisa melewati materi ini. Aku didaulat untuk membantu Kang Pandu mengumpulkan buku praktik dan membawanya ke meja Kang Pandu di kantor guru.

"Kamu yang kemarin sama Intan ke sini, kan?" Mas Ruli duduk di meja komputer paling depan.

"Iya, Mas," tanganku sibuk menyusun buku-buku praktik.

"Betul, Kang. Ini yang kemarin ngetawain saya," Mas Ruli pura-pura mengadu pada pengajarku.

Aku hanya menyeringai.

Kang Pandu tertawa, "masa iya, No? Terusin aja," candanya.

"Harusnya dapet remedial, Kang." Usul Mas Ruli. "Siapa namanya?"

"Bano." Jawabku.

"Siapa?"

"Bano, Mas!" Ulangku dengan suara lebih kencang.

"Kayak nama cowok, sih," matanya menatapku heran.

Aku hanya tersenyum. Setelah sedikit basa-basi, aku cepat-cepat mengikuti langkah Kang Pandu. Aku sudah terlambat empat menit untuk kelas berikutnya.

***

Di hari lain aku meminta ijin pada guru piket pergi ke rental komputer di seberang sekolah saat jam pelajaran masih berlangsung. Aku harus mencetak beberapa lembar tugas yang harus dikumpulkan setelah jam istirahat. Setelah mendapat ijin, kakiku segera melangkah ke depan sekolah. Tapi belum sampai gerbang, mataku menangkap pintu rukonya tidak terbuka. Duh, tutup, keluhku.

"Mau ngapain, Neng?" Tanya pak satpam yang sedang berjaga di posnya.

"Nggak jadi, Pak!" Seruku. Kakiku segera kembali memasuki area bangunan kelas.

Tanganku memutar flasdisk yang sejak tadi berada di saku rok abu-abu. Mau cetak dimana ini? Keluhku. Saat kakiku sudah mendekati kantin, seseorang berjalan mensejajariku.

"Hayo! Bolos, ya," seru Mas Ruli.

"Enggak," kataku separuh tak terima.

Mas Ruli menyeringai. "Terus mau kemana? Mondar-mandir aja dari tadi."

"Mau ngeprint, tapi rental depan tutup." Jawabku apa adanya.

"Banyak?"

"Empat lembar."

"Berwarna nggak?"

"Item aja," aku sudah sampai di belokan menuju kelas.

"Di lab aja kalau mau."

Kakiku kontan berhenti. "Boleh, Mas?" Mataku membulat.

"Iya," Mas Ruli tersenyum sambil mengangguk. Ia sudah memasuki laboratorium komputer.

Pelan-pelan aku memasuki lab. Sepi. Hari itu tidak ada kelas yang menggunakan lab komputer untuk praktik. Mas Ruli menyalakan komputer paling depan dan printer di sebelahnya.

"Bisa sendiri, kan?" Tangan Mas Ruli mengambil beberapa lembar kertas dari laci penyimpanan dan menyusunnya di lubang alat cetak.

"Bisa," jawabku ragu-ragu.

Pria jangkung itu kemudian duduk di meja komputer lain, mengawasiku sambil entah melakukan apa dengan komputer di depannya. Sesekali ia menekan tombol-tombol keyboard dan menggerak-gerakkan mouse.

"Bano, tuh rumahnya di mana?" Mas Ruli mulai bertanya.

Kami kemudian terlibat percakapan menarik. Di tengah percakapan Mas Ruli sering berkelakar dan membuatku terpingkal-pingkal.

Asyik sekali bisa bicara dengan pengajar seperti mengenal teman sebaya. Tidak ada rasa canggung atau takut saat harus berhadapan seperti ini.

Tapi, hey, ada perasaan seperti candu! Perasaan macam apa ini?

***

Aku mulai akrab dengan tempat itu. Perangkat keras yang berjajar rapi di ruangan seluas lima kali lima meter itu menjadi saksi bisu atas candu yang mulai menempel dalam perasaan. Aroma karbol wangi hampir setiap hari menjadi rindu yang menghias otakku.

Jam istirahat menjadi sebuah kesempatan yang kutunggu-tunggu untuk bergerilya di sekitar lab komputer. Mencari kesempatan untuk berinteraksi dengan Mas Ruli.

Bel pulang sekolah menjadi waktu yang kutunggu-tunggu. Biasanya aku tidak akan langsung pulang. Ruang OSIS akan menjadi tempat melepas penat yang cocok selepas sekolah. Di sana aku sering memikirkan berbagai alasan untuk datang ke lab komputer, menemui Mas Ruli. Sering aku senyum-senyum sendiri membayangkannya. Tapi tidak ada satu pun yang terlaksana. Aku terlalu malu untuk mencari perhatian secara berlebihan pada Mas Ruli.

Pada beberapa kesempatan, aku bisa ngobrol dengan Mas Ruli berdua saja. Tapi kami lebih sering berbincang bersama pengajar dan siswa lain saat pulang sekolah. Yang pasti aku tidak pernah melewatkan kesempatan untuk bisa sertemu dengan Mas Ruli.

***

Satu hari sepulang sekolah, aku duduk di bangku yang menghadap kios fotokopi sedang menunggu fotokopi materi pelajaran komputer bersama seorang teman sekelas. Tanpa sadar Mas Ruli sudah duduk di sebelahku.

"No, saya mau nunjukin sesuatu," Suara Mas Ruli penuh misteri.

"Apaan?" Tanyaku penuh selidik.

"Kalo udah selesai ke lab, ya," Mas Ruli bergerak menjauh.

Aku tak sempat bertanya lagi. Kuputuskan untuk melakukan apa yang dikatakan Mas Ruli. Setelah selesai dengan tugas fotokopi materi, aku segera datang ke lab konputer. Ada tiga siswa yang sedang asyik di depan komputer masing-masing. Mas Ruli langsung menyambutku begitu aku sampai di ambang pintu. Ia langsung menyuruhku duduk di meja komputer paling depan.

Mas Ruli duduk di sampingku. Tangannya cekatan menggerakkan mouse, membuka sebuah file presentasi. Sebuah slide terpampang di hadapanku berisi foto-fotoku yang entah didapatnya dari mana. Mataku membulat menyaksikannya. Ada kerlip yang bergerak menghiasi sudut-sudut slide. Juga sebuah kalimat di tengahnya berisi ungkapan sayang.

Hey, apa aku tak salah lihat? Ya Tuhan. Benarkah yang kulihat ini? Batinku.

Bersambung...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS