Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober 8, 2017

BARIDIN DAN BAPAKNYA RATMINAH

Di sebuah desa, tinggallah seorang pemuda bernama Baridin dengan ibunya yang seorang janda bernama Mbok Wangsih. Mereka tinggal di sebuah rumah reot. Tidak ada lagi harta yang mereka punya selain rumah reot itu. Baridin berkerja serabutan. Seringnya ia jadi pesuruh pemilik kebun atau sawah. Pagi itu matahari sudah tinggi. Ayam sudah berhenti berkokok sejak beberapa jam yang lalu. Penduduk desa sudah keluar rumah untuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing. Tapi Baridin masih asyik mendengkur di atas dipan. Sementara Mbok Wangsih sejak tadi mengomel panjang karena anak semata wayangnya susah sekali dibangunkan. "Baridin, susah sekali dibangunkan!" Omel Mbok Wangsih. Ia kembali mendekati Baridin, menggoyang-goyangkan bahu anaknya. "Din! Bangun! Katanya mau membajak sawahnya Mang Bunawas. Heh! Din!" Mbok Wangsih masih tidak menyerah. Dibangunkan seperti itu, Baridin hanya menggeliat-geliat. Menaikkan kemul sarungnya sampai leher, lalu tidur lagi. Mbok Wangsih k

IJIN

"Aku mau main ke tempat Ibu, boleh?" tanganku masih bergerak merapikan pakaian. Gerakan tanganmu berhenti dua detik, lalu kembali bergerak. Tak ada jawaban. Kamu bolak-balik keluar-masuk kamar. Membicarakan hal lain dengan Tuan Kepala. Ranselmu sudah siap di tepi ranjang. Aku termangu. Masih menunggu jawaban. Kamu masih sibuk mondar-mandir. Lalu berdiri di depan ransel, membongkar beberapa barang. "Kenapa?" Tanyaku tak bersemangat. "Bawa nggak, ya." katamu yang lebih mirip gumaman. Bertanya pada diri sendiri. Menimbang-nimbang. "Memangnya kenapa?" Kutanya lagi. "Buat ngusir bosan," tanganmu bergerak lagi mengeluarkan dua benda besar dari tas. "Bawa buku aja," tanganku mengibaskan lipatan selimut. Kamu diam, tanpa suara membawa dua benda besar itu keluar dari kamar. Aku hanya melihat kelebatanmu. Menghembuskan napas setengah kesal. Jengah dengan tingkahmu. Kamu ke kamar lagi. Merapikan tas ransel yang resletingn

PUTUS

Bagaimana caranya aku tak curiga pada Aray? Dia lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Lembur katanya. Tapi banyak teman-teman yang kutanyai, malah tak melihat keberadaannya disana. Sebenarnya apa yang dia lakukan? Dimana? Di jam-jam istirahat, dia jarang sekali membalas pesanku. Apalagi menghubungiku duluan, sudah tak pernah lagi. Aray sering berkilah sibuk, tak sempat membuka ponsel. Atau bilang ponselnya dalam kondisi silent, ada rapat, pertemuan klien, dan macam-macam alasan lainnya. Tapi setiap kali membuka aplikasi whatsapp, nomor kontak Aray kelihatan online. Aku cemas, hubungan ini sudah tak ada artinya lagi bagi Aray. Padahal pernikahan kami kurang dari dua minggu lagi. Aku ragu melanjutkan pernikahan dengan sikap Aray yang seperti itu. Sering aku jadi uring-uringan dibuatnya. Benar orang bilang, semakin dekat dengan hari pernikahan semakin besar cobaannya. Dengan situasi seperti ini, aku mencoba berpikir positif. Meski dalam perhitungan, hal paling pahit bis

SESI CURHAT MAMA #THK

Sometime, saya suka kurang percaya diri nulis di blog. Kenapa? Berasa diawasi, apalagi sesama member #ODOP yang anaknya EBI banget. Hahaha... Enggak, ding. Bercanda. Di ODOP, member harus konsisten nulis setiap hari, minimal satu postingan dalam satu hari. Kalau nggak kehabisan ide, alhamdulillah. Bisa terus eksis. Tapi pas muncul stuck, ide seakan surut, ditambah wajah mengkerut gara-gara seisi rumah bikin ribut, disitu kadang saya ngerasa sedih dan kusut. Eh, saya garisbawahi dulu, ya. Ini bukan curhat soal ODOP-nya, tapi kinerja saya untuk nilis. Secara teori, nulis memang kadang-kadang harus 'dipaksa' supaya si penulis punya jam terbang yang kece untuk tembus sebagai penulis yang baik. Latihan, latihan, latihan. Belajar, belajar, belajar. Sama kayak kalo kita mau jadi ahli matematika. Semakin sering bertatih dan belajar, semakin ahli berhitunglah kita. Benar adanya kalo nulis kudu banget dilakukan sebagai kegiatan 'wajib' supaya kita terbiasa untuk 'ng

MISI BESAR ORANG TUA

Ada hal menarik saat kemarin sore #thk nunjuk-nunjuk ke bukunya. "Mbek... mbek... uh uh... mbek..." celotehnya. Oo, rupanya neng bayi ini ingat saat Idul Adha lalu ada seekor kambing yang akan disembelih di depan rumah kami. Waktu itu #thk belum banyak ngoceh. Sepertinya pengalaman itu berkesan sekali, sampai terekam dalam memorinya, lalu seperti diingatkan kembali, bayi dua belas bulan ini meniru mengucapkan "mbek" saat melihat gambar kambing di buku ceritanya. Ah, momen semacam ini akan lebih sempurna seandainya saya lagi nggak marahan sama pak suami. Tapi demi melihat kelucuan tingkah laku #thk, kami berdua langsung kompak ikut bermain-main dengan 'mbek' di buku cerita #thk. Seolah nggak ada masalah apa-apa. Begitulah, anak selalu menjadi alasan untuk menanggalkan ketidak akuran antara suami dan istri. Karena nggak ada orang tua yang mau melewatkan perkembangan si kecil. Entah itu cuma kata-kata baru yang bahasanya belum kita pahami, atau sekeda

PAGI SEPI (Sebuah Puisi)

Pagi ini sepi Penghuni pergi Menikmati mimpinya sendiri Kugoyangkan tubuhnya sebentar Dia hanya menggeliat singkat Tak peduli Lalu kembali bermimpi Atau pura-pura bermimpi Atau tak peduli Aku diam lagi Pagi ini sepi Penghuni pergi Ah, biar saja dia bermimpi Aku tak peduli Jika pagi jadi sepi Jika penghuni pergi Setidaknya aku disini Bersama pelanjut generasi

LALAI

Kalian tau nggak, ketika ibu lalai menjaga anak bayinya kemudian si bayi sudah ditemukan dengan keadaan benjol di kepala, gores di pipi, tinta belepotan di mulut dan badan, atau sudah kenyang makan kertas, kemudian kalian malah nanya "kok bisa?", "gimana ceritanya?", "ya ampun, ibunya ngapain aja sih?" Si ibu harus jawab apa? 😭 Kadang disitu berasa pengen nelen jarum pentul. Tolong dong singkirkan pertanyaan-pertanyaan sejenis itu. Karena tak akan ada manfaatnya bagi ibu yang lagi panik dan cemas luar biasa. Kalau nggak punya solusi mending bilang aja "maaf nggak punya pengalaman kayak gitu, semoga anaknya nggak apa-apa ya," atau "coba langsung bawa ke dokter aja, sini saya anter." Sekalian traktir si ibu makan di resto Padang, pasti paniknya langsung lumer. Wakakaka... Bagaimana pun posisi si ibu ini, seorang ibu pasti punya rasa bersalah ketika ia alpa dan terjadi kecelakaan kecil yang menimpa bayinya. Rasanya dihakimi oleh di