Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober 1, 2017

CERITA HARI INI

Aku sedang bosan menulis. Jalan cerita yang sedang kugarap seolah buntu. Tak ada inspirasi yang berbaik hati menghampiri. Akhirnya kubiarkan saja. Biar pikiran ini menguap, mencari sensasi baru dalam bercerita. Mungkin hari ini harus kuceritakan beberapa hal pada kalian tentang anakku. Dia sudah berusia 12 bulan pada empat Oktober lalu. Namanya Timur Hasna Khairunnisa. Di dunia maya sering kusebut #thk. Coba saja ketikkan #thk di kolom pencarian facebook, mungkin salah satu hasilnya akan kalian temukan status dari akun Ragil Wyda Triana. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku saat ini dengannya. Ia anak yang ceria, sudah bisa mengucapkan beberapa kata, seperti: mamah, ah (ayah), bah (abah), mimik, nii, eeh, tatata, dan lain-lain. Giginya sudah dua, di bagian depan bawah. Lucu sekali karena bentuknya yang masih mininalis. Ia sedang belajar berjalan. Satu, dua, tiga, sampai lima langkah. Langkahnya masih kecil, tapi ia bahagia ketika selesai melangkah lalu aku bertepuk tangan. Memuj

CINTA UMMI (Bagian 4)

Tidak ada yang bisa kulakukan di dalam kamar. Aku resah memikirkan tiap jengkal perilaku Ezi tadi. Pikiranku buntu. Tapi setidaknya perasaan ini sudah kembali netral, lebih tenang. Dua puluh menit berlalu. Kuharap Ezi sudah lebih tenang saat aku menemuinya. Aku bergerak meninggalkan kamar, mendekati pintu kamar Ezi. Ragu-ragu kuketuk pintu berpelitur cokelat itu. Tak ada jawaban. Sekali lagi. Tak ada jawaban. "Ezi," panggilku pelan. Lagi-lagi tak ada jawaban. Kupanggil namanya dua kali lagi. Senyap. Dengan mengumpulkan keberanian aku menekan gagang pintu kamar Ezi. Clek. Tak dikunci. Lampu kamar terang menyala. Di sudut kasur Ezi tengah meringkuk. Kepalanya tenggelam di balik bantal yang dipeluknya. Aku mendekati Ezi perlahan. "Maaf, ya, Ummi masuk nggak ijin dulu." Kataku sambil duduk di sisi ranjang. Aku tahu Ezi terjaga, tapi ia tetap diam. "Ezi kenapa marah sama Ummi? Ada yang nggak berkenan di hati Ezi?" Tanyaku kemudian. Ezi masih diam.

TERIMA KASIH AFA!

Hujan turun deras saat tiba-tiba ada aliran darah yang keluar melewati kakiku. Aku yang terkejut lantas berteriak histeris memanggil suamiku. Ia tergopoh mendatangiku langsung mengerti apa yang sedang terjadi. Tubuhku langsung dipapah menuju garasi. Badanku tiba-tiba lemas. Dari dalam mobil, kulihat samar-samar suamiku menelepon seseorang. Setengah berlari ia masuk ke dalam mobil, tancap gas menuju rumah sakit terdekat. Sepertinya aku tak sadarkan diri. Yang kuingat, terakhir kali aku melihat wajah suamiku yang terus berusaha bicara agar aku tak jatuh pingsan. Lalu semua gelap. Perlahan-lahan cahaya masuk ke kornea mataku, membuat silau. Aku berusaha menghindari cahaya yang ternyata berasal dari lampu kamar. Tapi ini bukan kamar di rumah. Langit-langitnya berbeda. Mataku mengerjap. Badanku masih terasa lemas. Ada selang infus yang menancap di tangan kiriku. Aku pasti di rumah sakit. Dimana Afa? Kenapa di saat seperti ini dia tak ada di dekatku? Gerutuku dalam hati. Karena tak bis

CINTA UMMI (bagian 3)

Hari ini Bali pulang cepat. Ia punya jadwal khusus untuk konsultasi karir denganku. Aku mengosongkan meja makan, menyiapkan beberapa lembar kertas, pulpen, spidol, dan alat tulis lainnya. Bali terlihat takjub melihat meja makan kami berubah menjadi meja konsultasi karirnya. Setelah mengganti pakaian dan makan siang bersama Bali, aku mulai memberi arahan untuk membuat proposal hidup. Dengan sedikit teknik wawancara yang kupelajari saat kuliah, aku berhasil mengorek informasi tentang aktifitas rutin dan hobi yang sedang ia tekuni. Sesuai dugaanku, Bali mengikuti kegiatan komunitas fotografi yang anggotanya berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa di kota ini. Tapi dia tidak nge-band. Gitar di kamarnya hanya dimainkan untuk dirinya sendiri. Obrolan kami lebih cair dibandingkan hari sebelumnya. Bali sudah bisa bercanda. Ada perasaan bahagia yang mengalir di lekuk-lekuk hatiku. Seperti tanah kering yang ditimpa ribuan tetes hujan. Konsultasi karir Bali hari itu kami akhiri tepat

CINTA UMMI (Bagian 2)

Apa Bali masih sedih setelah perceraian ayah dan ibunya? Batinku masih bertanya-tanya. Setelah melihat foto lusuh itu, aku merasa Bali masih menyimpan sebuah perasaan pada keutuhan keluarganya yang dulu. Mungkin rindu, atau perasaan semacam itu. Apakah Bali masih tidak dapat menerimaku karena itu? "Ummi... Ummi," Bali menepuk pelan lenganku. "Eh, eh, Kakak udah pulang? Kok nggak kedengeran salamnya?" Aku salah tingkah. Bali mencium punggung tanganku. "Salam kok, Mi. Umminya aja yang ngelamun dari tadi." Jawabnya sambil terus berjalan menuju kamar. Bibirku mengatup, memandangi punggung Bali yang menghilang di balik pintu kamar. Bali dan semua pemikirannya seperti tak bisa kugapai. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Tanganku terus bergerak menyelesaikan pekerjaan di dapur. Tak lama kemudian Bali keluar dari kamarnya, memeriksa kulkas lalu membawa sesuatu ke dapur. "Ummi," Bali menaruh sebuah bungkusan di atas meja dapur, &quo

TABUNGAN EPOS

Kemarin malam, saat dinner berdua dengan suami, ada obrolan ringan tentang bagaimana Allah menggerakkan naluri manusia 'melakukan sesuatu' untuk orang lain. Ternyata itu semua melalui proses yang disebut energi positif (epos). Setiap epos yang dilakukan akan diolah bersama doa dan harapan pada Allah. Ia akan diendapkan dalam rekening tabungan epos yang sering disebut pahala, dan pada waktu tertentu akan dijatuhkan di saat-saat yang kita butuhkan. Nah, inilah tabungan yang paling enak dan menguntungkan. Berbunga tinggi dan tanpa riba, ialah tabungan epos. Jika mengendap dalam waktu yang lama akan menghasilkan bunga berlipat-lipat. Epos yang kita lakukan bisa berupa sedekah, pertolongan, ilmu, nasihat, doa, dan ibadah lainnya. Sayangnya kita tidak pernah tahu investasi epos manakah yang akan diterima oleh bank epos. Karena, meski syarat untuk menabung epos hanya ada dua, tetapi sungguh sulit dilaksanakan. Yaitu, lakukan dan lupakan. Uniknya epos yang kita kumpulkan tak se