MENJAGA BELLA

"Mama!" Teriak Bella sambil terisak begitu melihatku datang. Tangannya menggapai-gapai berusaha meraihku.

Aku tersenyum lebar dengan gerakan tergesa menaruh semua tas belanjaan di tepi ruangan. Segera kuambil Bella yang mulai meronta dalam dekapan neneknya.

"Cup... cup... cup... sayang, ini Mama, Nak," aku mengayun-ayun Bella. Tak berapa lama tangis Bella berhenti. Tangannya memainkan kancing mote-mote yang terpasang sebagai hiasan di jilbabku.

"Bella ini kalau kerasa kamu sudah dekat rumah pasti nangis," ujar ibu mertuaku sambil menuangkan air ke dalam gelas. Ia kemudian menceritakan kegiatan Bella seharian dengan antusias.

"Maaf, ya, Bu. Tadi aku sekalian mampir belanja mumpung lagi diskon, jadi terlambat sampai di rumah."

"Nggak apa-apa. Ibu pulang sekarang, ya." Ibu bersiap menenteng tasnya.

"Aku pesenin taksi ya, Bu," tanganku cekatan meraih gawai hitam dari saku baju. Membuka aplikasi taksi online dan memesankan satu unit untuk Ibu.

Sambil berbincang selama menunggu taksi datang, Ibu terlihat mengurut lengan kirinya. Wajah ramahnya sudah banyak kerutan.

"Tangannya kenapa, Bu?" Tanyaku.

Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil.

"Taksinya sudah datang, tuh. Ibu pulang dulu, ya," cepat-cepat Ibu menenteng tasnya.

Di depan rumah, Ibu kembali pamit. Aku mencium punggung tangannya.

"Baik-baik sama Mama, ya Sayang." Ibu mengecup sayang pipi Bella. Bella tersenyum sambil melambaikan tangan mungilnya.

Sore itu aku mandi bersama Bella. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian sementara aku mandi. Bella asyik memainkan gayung kecil dan ember setelah kuusapkan sabun aroma buah di seluruh tubuhnya. Aku terkekeh melihatnya kelihatan senang dengan buih-buih kecil yang menempel di tubuhnya. Bella selalu membuat keletihanku hilang saat memandangnya.

***

Malam itu Bella tidur cepat, memberiku kesempatan untuk membereskan ruang tengah dan barang-barang belanjaan. Mainan Bella yang berserakan di karpet dan lantai; bebek-bebek karet, boneka tikus, bola-bola plastik, dan buku cerita bergambar.

Setelah berhasil menyingkirkan mainan ke tempatnya, giliran lantai yang harus disapu. Kotoran pasir, rontokan rambut, dan potongan kertas serta plastik membentuk gundukan yang menjijikan. Cepat-cepat kubuang ke tong sampah dapur.

Aku melongok Bella di kamar. Ia mendengkur pelan dengan tubuh menghadap ke dinding yang kutempeli stiker gambar kendaraan. Setelah memastikan bayiku tidur dengan aman, aku kembali melakukan tugas bersih-bersih. Dapur menjadi sasaran berikutnya.

Setelah melap semua bagian dapur, aku menghadapi tumpukan piring kotor. Sebagian besar adalah peralatan makan Bella yang juga digunakan untuk bermain.

Pukul sepuluh hampir semua pekerjaan rumah selesai. Aku rebah di sofa. Kepalaku mendongak, memandangi langit-langit. Tiba-tiba teringat lengan Ibu. Apakah lengannya sakit? Batinku.

Kadang merasa bersalah jika harus menitipkan Bella pada Ibu mertua yang usianya sudah tak mumpuni untuk mengurus batita yang sedang aktif-aktifnya bergerak. Tapi aku tidak punya pilihan lain, karena menitipkan Bella pada pengasuh pun rasanya tak tega. Pengasuh yang statusnya orang lain, belum tentu sayang pada Bella.

Lengan Ibu bagaimana, ya? Apakah ada hal yang serius dengan lengannya? Sejurus kemudian cemas melanda. Ibu seperti tidak mau membahasnya. Di usianya yang hampir menginjak 58 tahun mungkin saja fase pengeroposan tulang sedang berlangsung. Atau Ibu pegal menggendong Bella? Bella memang manja pada neneknya, membuatnya sering minta digendong. Itu juga alasan yang masuk akal. Ah, Ibu, kenapa tak jujur saja. Tanpa disadari setetes air hangat jatuh dari pelupuk mata.

"Andai kamu masih ada, Mas," bisikku sendu sambil menatap gambar dalam figura di dinding.

***

Di telepon.

"Bu, hari ini Bella kutitipkan di penitipan anak."

"Lho, kenapa?" Suara Ibu terdengar kecewa.

"Nggak apa-apa, Bu. Ibu istirahat saja. Nanti akhir minggu kami main ke rumah Ibu." Jawabku sopan.

***

Hari ini aku menitipkan Bella di tempat penitipan anak. Masih masa percobaan. Kalau Bella suka, aku bisa mulai mendaftarkannya di sana.

Apa? Kenapa kalian menatapku begitu?

Sungguh, aku terpaksa melakukannya. Aku bahkan sangat ingin menghabiskan waktu dengan Bella. Jangan nyinyir pada keputusanku!

Aku terburu-buru keluar dari ruangan penuh anak-anak itu. Setelah memastikan Bella menyukai tempat bermainnya, aku menyelinap pergi. Tapi aku tertahan oleh suara petugas penitipan anak.

"Maaf, Bu! Ibu sepertinya lupa mengganti sendal jepitnya," perempuan mungil berseragam merah jambu itu tergopoh-gopoh ke arahku sambil menenteng Skechers putih.

Aku melihat kaki yang masih terpasang sendal jepit berwarna biru langit bergambar lambang penitipan anak.

Puh, bodohnya! Gerutuku. Aku mengganti sandal jepit dengan sepatu. Setelah berterima kasih, aku melesat ke kantor sambil berlari.

Sepanjang hari aku sulit berkonsentrasi. Aku membayangkan Bella mengamuk di tempat penitipan. Diam-diam aku menelepon tempat penitipan, menanyakan keadaan Bella.

"Bella baik-baik saja, Bu. Sebentar lagi anak-anak akan makan siang bersama. Jangan khawatir." Suara di seberang telepon membuatku lega.

***

Suara tangis Bella sudah terdengar begitu aku memasuki pekarangan tempat penitipan ini. Suaranya makin kencang saat melihatku berdiri di pintu masuk ruang bermain penitipan. Aku segera memeluknya.

"Bella nangis terus sejak sepuluh menit yang lalu," ujar petugas penitipan anak yang pagi tadi membawakan sepatuku.

"Nggak apa-apa, Miss. Dia memang begitu kalau jarak saya sudah dekat. Kalau kata neneknya 'kerasa'." Jawabku sambil mengusap punggung Bella.

Si petugas tersenyum. Sepertinya Bella aman kutitipkan di sini. Semua fasilitasnya lengkap kecuali pakaian,handuk, dan obat-obatan pribadi yang harus dibawa dari rumah masing-masing.

***

"Apa kamu nggak percaya lagi sama Ibu untuk jaga Bella?"

Saat itu aku dan Bella berkunjung ke rumah Ibu. Bella sedang asyik bermain dengan tantenya yang sedang libur.

Mendengar pertanyaan itu hatiku berdesir. "Bukan begitu, Bu. Aku merasa sudah terlalu banyak merepotkan Ibu. Yang namanya ngurus anak kecil, kan pasti capek. Kalau tiap hari Ibu jaga Bella, nanti Ibu kelelahan." Jelasku perlahan. Aku hanya mengkhawatirkan kesehatannya.

Ibu mengurut lengannya. Matanya menatap lantai keramik bercorak abstrak. Tatapan sedih atau kecewa atau... ah... bagaimana agar Ibu tidak tersinggung hatinya?

Langkah kecil Bella meluluhkan lekuk suram di wajah Ibu. Ia mendekati neneknya sambil mengacungkan boneka kelinci merah jambu, kemudian menarik tangan wanita setengah abad itu untuk ikut bermain.

***

Langit berwarna jingga memayungi kami di taman. Pelangi pasca hujan membentuk lengkungan samar yang indah. Seperti yang sering dilukiskan para pujangga.

Bara duduk di sampingku. Kami sepasang suami istri yang hanya diam di bangku taman. Sambil menunggu datangnya perpisahan yang selalu menyeretku ke alam fana.

Senyum Bara tiba-tiba samar. Angin semilir menerpa kami. Perlahan tubuh Bara melayang ke udara memancarkan cahaya yang menyilaukan. Aku melindungi mataku yang menyipit menghindari silaunya cahaya tadi.

Sesaat aku tersadar dari mimpi singkat tadi. Oh, aku merindukan Bara. Berharap pria itu bisa menengahi kerisauan Ibu dengan keputusanku jika ia masih ada di sini.

Komentar

  1. Aku suka sama alur Flash fictionnya mba agil... Keren mba,

    BalasHapus
  2. Keren mba
    Menurutku alurnya terlalu cepat. Tapi ok kok mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba.. aku juga merasa begitu. Hehe.. efek ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan juga. Jd agak buru2, gak sempat ngedit lagi..

      Hapus
  3. Keren..suka. Tapi ada sesuatu yg mengganjal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apa ya mba wid? Mari direnungkan. Hehe...
      Ini pengerjaannya pake paket kilat khusus, jadi agak gimanaaa gitu 😁

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS