GERIMIS RUMAH TANGGA

Pria berkulit sawo matang itu berhenti sejenak di ambang lorong. Ia berusaha mengenali bentuk asli ruang keluarga. Bantal-bantal sofa tidak beraturan, kaleng snack berserakan, kain segi empat ungu dan biru menutupi kotak mainan yang hanya berisi boneka beruang, sedangkan isi mainannya tercecer di atas karpet hingga lantai yang mengarah ke dapur. Saat kakinya mulai melangkah dan mencari tempat paling baik untuk melepas lelahnya, ia menemukan beberapa butir soes kering remuk di atas sofa. Bukan pemandangan yang baik baginya.

Pria itu akhirnya beringsut ke kursi makan yang masih lebih baik kondisinya. Belum lama ia merebahkan punggungnya di atas kursi yang terbuat dari kayu itu, suara berisik memenuhi gendang telinganya. Bukan suara yang mengganggu baginya. Itu adalah nada riang dua anak perempuan yang menyambut kedatangannya.

"Papa!" Mereka berlarian saling berebut menyalami tangan si pria.

Pria berkemeja biru langit tersebut menyambut tangan-tangan mungil putrinya bergantian. Senyum mengembang sambil mengacak rambut Sila dan Sili yang tergerai.

Setelah sibuk berceloteh dengan lidah cadel mereka tentang aktivitas seharian, dua gadis kecil berusia empat tahun tersebut menerima cemilan dan duduk di depan seperangkat miniatur peralatan dapur yang sudah tidak utuh lagi.

"Main sama-sama, ya," ucap pria itu kepada anak-anaknya.

Wanita berkuncir kuda keluar dari kamar dengan peluh menempel di sekujur tubuhnya. Wajahnya terlihat berminyak dan agak kusam. Anak rambut yang tumbuh di sekitar telinga ikut basah karena keringat.

"Udah pulang, Pa," sapanya. Ia meraih tangan sang suami dan mencium punggung tangannya takzim. "Mau makan dulu baru mandi, atau mandi dulu baru makan?" Tanya si istri.

"Mandi dulu, deh. Mama masak apa?" Pria yang akrab dipanggil Yoga di kantornya mulai membuka kancing kemejanya.

"Mama nggak masak, Pa. Go food aja gimana?" Tawar sang istri.

Yoga diam sejenak. Berpikir. Wajahnya antara lelah dan kecewa. "Nggak ada bahan yang bisa dimasak, Ma?" Tanyanya kemudian.

Wanita bernama Laila itu menggeleng, "sudah habis untuk bikin lasagna panggang anak-anak tadi siang." Jawabnya sambil menuangkan air ke dalam gelas.

"Ya sudah, pesan aja," Yoga beranjak meninggalkan dapur.

Ada perasaan jengah dalam batin Laila. Tapi ia berusaha menepisnya. Tangannya mulai membuka gawai yang sejak tadi dikantongi.

***

Yoga merasa lebih segar setelah mandi. Kepala yang sejak siang dipenuhi tumpukan pekerjaan sudah lebih ringan. Tapi kembali matanya menatap kamar yang menurutnya kurang rapi. Meski jika dibandingkan dengan ruang tengah, kamarnya masih lebih rapi, tapi selimut yang acak-acakan, lantai yang tercecer remah roti dan snack beras, juga empat buku cerita yang terbuka di atas kasur agak merusak pemandangan.

Ngapain aja Laila seharian? Gerutunya.

Ia membuka lemari pakaian, hendak mengambil baju ganti. Tapi isi lemari membuatnya terkejut. Pakaiannya berantakan dan sama sekali tidak rapi lagi. Yoga mendengus, ia memilih pakaian di susunan atas yang paling rapi dibandingkan pakaian lain yang sama sekali kusut.

Setelah mengenakan pakaiannya, ia keluar dari kamar dan mendapati Sila dan Sili tengah menjadikan cemilan mereka sebagai bahan masakan dalam permainan.

"Ma, tolong kamar di sapu. Papa mau solat." Pinta Yoga sambil mengecek ponsel.

Laila tergopoh-gopoh datang ke kamar dengan sapu dan penadah sampah. Rupanya Sila tertarik mengikuti sang mama. Setengah berlari ia masuk ke dalam kamar.

"Sila mauuu!" Katanya lantang.

"Sili mauuu!" Kembarannya menyusul.

"No! Tidak sekarang, Sayang." Bujuk Laila.

"Sapu, Ma. Sapu," Sila dan Sili merengek berbarengan.

"Iya. Tapi tidak sekarang, Girls."

"Hei, kenapa?" Yoga menyusul ke kamar dan mendapati Laila tengah mengangkat sapu dan alat tadah sampahnya tinggi-tinggi. "Ayo, Sila, Sili, nurut sama Mama." Yoga menggandeng lengan si kembar. Memapahnya kembali ke ruang tengah.

Laila kembali menyapu secepat mungkin. Ia masih harus mengangkat jemuran yang sudah kering. Di luar, mendung mulai menggelayuti langit.

***

Yoga asyik menonton berita, sementara Laila tengah membuat susu untuk kedua putrinya sambil berceloteh menjawab pertanyaan-pertanyaan si kembar yang duduk di kursi makan masing-masing.

"Ma, itu apa?" Sili menunjuk ponsel Yoga yang sedang melakukan proses pengisian daya tergeletak di atas lemari kayu kecil.

Laila melirik Yoga. "Coba tanya Papa," ujar Laila sambil menuangkan air ke dalam gelas.

"Pa, itu apa?" Sili bersuara lebih kencang.

"Apa, Sayang?" Yoga masih menatap layar televisi.

"Itu," Sili menunjuk ke arah ponsel Yoga lagi.

Yoga masih fokus pada tayangan televisi.

"Iiih... Papa!" Sili mulai kesal.

Laila mengaduk susu di dalam gelas kedua sambil menghembuskan napas.

"Ooo... Papa lagi asyik nonton rupanya. Kita tanya lain kali saja, ya, Sayang." Bujuk Laila sambil mendelik ke arah Yoga.

Si kembar menerima susu buatan mamanya dengan suka cita. Sementara si kembar sibuk menghabiskan susu mereka, Laila menarik lap untuk membersihkan percikan kuah sup bekas makan malam si lembar yang membuat lantai terasa lengket.

Yoga sudah melupakan pertanyaan Sili tadi. Ia merasa diselamatkan oleh istrinya agar Sili tidak terus menerus bertanya.

***

Terdengar suara kikikan Sila dan Sili di kamar mereka. Laila sedang membacakan cerita untuk keduanya. Ritual yang dilakukan sejak si kembar lahir. Malam ini Laila membacakan dongeng si Kancil. Meski dengan gaya bercerita yang sama sekali tidak sempurna, Laila memerankan tokoh-tokoh dalam dongeng dengan ekspresi yang menghibur si kembar.

"Oke, siap berdoa?" Laila memulai ritual selanjutnya setelah selesai membacakan cerita.

"Ma," panggil Sila.

"Ya,"

"Papa mana?"

"Kalian mau berdoa sama Papa?" Laila mengusap dahi Sila.

Keduanya mengangguk.

"Sebentar, ya," Laila bergerak meninggalkan kamar hendak memanggil suaminya.

Di ruang tengah Yoga tengah asyik chatting.

"Pa," panggil Laila.

Yoga setengah terkejut. "Apa, Ma?"

"Anak-anak mau berdoa sama Papa."

"Oh, iya. Sebentar lagi Papa ke sana," ibu jarinya kembali memari di atas layar sentuh ponselnya.

Laila kembali ke kamar si kembar. Sila dan Sili yang sudah menguap berkali-kali masih menunggu papa mereka datang. Laila menekan saklar lampu, mengganti penerangan besar dengan lampu redup. Ia duduk di salah satu sisi ranjang sambil mengusap dahi keduanya.

"Berdoa sekarang aja, ya," usul Laila.

Si kembar menjawab dengan anggukan lemah. Sesaat setelah mengaminkan doa, si kembar sudah terpejam.

Laila segera keluar. Menutup pintu perlahan. Ia menatap Yoga yang baru beranjak dari sofa dengan tangan masih memegang ponselnya.

"Lho, udah tidur?" Yoga terperanjat melihat Laila sudah berdiri di depan pintu kamar.

Laila tak menjawab. Ia menuju ruang tengah, merapikan mainan si kembar yang berserakan, juga membersihkan remah-remah makanan ringan anak-anak.

"Ma, coba lemari baju jangan boleh dimainin anak-anak, deh. Bajunya berantakan semua, tuh." Yoga kembali duduk di sofa.

"Nanti aku beresin," jawab Laila sembil terus bekerja.

"Ada kemeja yang mau dipake besok."

"Iya, nanti aku strikain," tangan Laila terus bergerak.

"Kalo bisa anak-anak juga jangan boleh main-main di kamar kita, Ma. Papa yang udah capek dari tempat kerja, kepingin istirahat, tapi tempatnya berantakan," tangan Yoga mulai membuka ponselnya.

Tangan Laila berhenti sejenak. Perasaan jengah kembali meliputinya. Kali ini mungkin lebih besar. Ia menghembuskan napas dan mempercepat tangannya bekerja. Laila tak menanggapi kalimat Yoga barusan. Hatinya serasa teriris. Meski Yoga tak membentak atau berkata kasar, ia seperti dikenai tuntutan berlapis.

Laila beranjak ke kamar untuk membereskan tempat tidur. Kemudian beranjak ke lemari pakaian. Laila memilih pakaian yang benar-benar kusut untuk di strika ulang. Pagi tadi si kembar bermain dagang-dagangan dengan pakaian-pakaian mama dan papanya.

"Ma," panggil Yoga.

Laila menoleh sekilas, kemudian kembali sibuk dengan pakaian-pakaiannya.

"Kamu kenapa, sih?" Tanya Yoga sambil berjongkok di sebelah Laila.

"Nggak kenapa-kenapa." Jawab Laila datar. Tangannya cepat-cepat meraih pakaian yang harus di strika ulang dan bergerak melewati Yoga.

Yoga membuntutinya sampai di ruang laundry. Laila bergerak gesit menekan ujung kabel strika ke colokan listrik yang menempel di dinding. Ia memutar knop strika lalu bergerak meninggalkan ruang laundry. Laila menyimpan sisa lauk ke dalam lemari pendingin. Yoga hanya memandanginya. Merasa ada yang mengganggu dengan sikap istrinya.

"Kamu marah sama aku?" Yoga mencoba buka suara.

Laila menutup lemari pendingin. Ia menatap suaminya dengan tatapan putus asa.

"Mendingan Papa tidur sekarang," ucap Laila lemah. Kakinya sudah melangkah kembali ke ruang laundry. Menyetrika pakaian-pakaian yang kusut.

Yoga tak lagi mengikutinya. Ia memilih masuk ke kamar. Tidur.

***

Pukul dua dini hari Laila baru selesai dengan pekerjaan menyetrika ulang pakaian-pakaian dari lemarinya. Ia membawa pakaian-pakaian yang sudah rapi ke kamarnya, menyimpan kembali ke dalam lemari.

"Mama," panggil Yoga pelan.

Laila yang baru selesai menyimpan pakaian menoleh. "Ya."

"Mama belum tidur?" Yoga kembali bersuara.

"Baru selesai strika baju," jawab Laila datar.

Yoga duduk di tepi ranjang, menatap Laila yang bersiap tidur. "Ma, aku salah ngomong, ya?"

Laila menghembuskan napas. "Setiap hari aku selalu coba bikin rumah dalam keadaan bersih, Pa. Tapi kalau itu prioritasku, si kembar yang nggak akan keurus. Aku, kan sering cerita, Sila dan Sili lagi aktif-aktifnya main ini itu. Pingin coba macem-macem, prioritasku adalah membimbing mereka, Pa." Laila mengatur napas.

"Jadi Mama nggak terima sama yang aku bilang tadi?"

"Sudah Mama terima, Pa. Mama harap Papa maklum dengan keadaan rumah yang seadanya. Mama nggak punya sihir yang bisa bikin rumah jadi bersih kinclong dalam waktu singkat." Air mata Laila hampir tumpah.

Yoga menatap Laila jengah. "Oke, aku maklum kalau masalah itu. Tapi tolong sediakan satu tempat yang bersih di mana aku bisa istirahat sebentar setelah pulang kerja," kaki Yoga bersila.

Laila mengusap bulir air mata yang sudah keburu turun. Ia bergerak mengambil posisi tidur menghadap dinding.

"Aku cuma minta itu, Ma. Apa salahnya?" Yoga masih berusaha bernegosiasi.

"Aku capek," jawab Laila dengan suara serak menahan kesal yang menggunung di dada.

Tak ada percakapan lagi. Kamar lengang, menyisakan Yoga yang tak bergeming di tempatnya. Detik jam dinding berbunyi lebih kencang malam itu, menemani Yoga berpikir. Ia menatap punggung istrinya. Kaos yang dikenakan Laila terlihat berpeluh. Peluh yang sama ketika menyambut suaminya. Ada perasaan bersalah menyergap hati Yoga.

Yoga bergerak ke kamar mandi, mengambil air wudhu. Ia mengerjakan dua rakaat tahajud. Di akhir solatnya ia bersimpuh. Merenungi sikap Laila barusan. Tiba-tiba kenangan saat Laila baru melahirkan si kembar menyembul ke permukaan alam sadarnya. Laila tidak pernah mengeluh harus mengurus mereka seorang diri. Saat si kembar rewel tengah malam, Laila tidak pernah membangunkan untuk meminta bantuannya kecuali kondisi yang darurat. Laila mengurus kedua putrinya dan rumah mereka sendiri tanpa minta didatangkan pengasuh atau asisten rumah tangga. Wanitanya bahkan jarang mengeluh.

Sekejap Yoga dirundung rasa bersalah. Padahal Yoga tidak pernah melihat tempat tidurnya berantakan sebelum ia berangkat kerja. Itu artinya Laila selalu membereskannya, itu artinya Laila mengerjakan tugasnya tanpa diminta. Istrinya selalu melakukannya tanpa menerima ucapan terima kasih dari siapa pun.

Yoga mengusap air matanya dan menatap punggung Laila. Wanitanya sudah pulas dengan dengkuran halus yang menyertainya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS