Postingan

Menampilkan postingan dari Desember 10, 2017

TINGGAL DENGAN MAK GENDUT

Anak laki-laki berusia lima tahun itu setengah berlari menghindari Mak Gendut yang terpincang-pincang mendekatinya. "Ganti baju! Ini gimana, sih?! Dibilangin susah pisan!" Teriaknya kesal. Volume suaranya yang keras semakin memekakkan telinga saat bicara dengan nada tinggi. "Sini! Goblok!" Lagi, ia berteriak. Anak kecil itu masih menghindar. Spontan kutegur Mak Gendut. "Kok ngomongnya begitu, sih, Mak," nada suaraku kecewa. Mak Gendut meyeringai sambil menatapku tanpa merasa bersalah, lalu duduk di bangku panjang. Anak kecil itu berada dalam jangkauanku. "Dek, ganti baju sini," ajakku. Si anak kecil tadi mendekat, membiarkan tanganku membuka kancing-kancing seragamnya. Mak Gendut tak bersuara lagi, hanya memandangi. "Kaos kakinya nanti simpan di sepatu ya." Kataku lagi. "Iyaaa..." jawabnya riang. Lalu setelah mengganti pakaiannya, ia melakukan hal yang kuminta kemudian asyik menyusun lego di pojok ruangan.

SEPENGGAL KISAH DENGAN HERYATI PUSPITASARININGSIH

Bismillah Ini hanya penggalan kisah tentang sebab aku menangis malam ini. Karena rindu, sesal, dan harapan yang saling berpautan. *** Dulu dia adalah perempuan dengan tubuh mungil dan berkacamata. Sampai sekarang tampaknya tubuh mungilnya masih sama, hanya saja saat ini sudah tidak berkacamata. Sapaannya Pita. Iya, gadis bertubuh mungil itu bernama lengkap Heryati Puspitasariningsih. Cukup panggil 'Pita' dan dia akan menoleh mencari sumber suara dengan wajah ingin tahu. Jujur saja aku sudah lupa bagaimana pertemuan pertama kami. Yang pasti kami sama-sama mahasiswa angkatan 2009 jurusan Pendidikan Sejarah di UPI. Ya, satu kelas. Dia adalah penggemar berat negara Jepang, hampir tidak nasionalis. Seperti orang jatuh cinta yang buta, dia selalu membicarakan Jepang begini dan begitu, Jepang bisa ini dan itu, Jepang bla bla bla. Apalah Jepang bagiku saat itu, karena aku tak benar-benar paham. Aku hanya bisa mendengarkan. Sekarang mungkin sudah tidak lagi. Aku tidak inga

MENJAGA BELLA

"Mama!" Teriak Bella sambil terisak begitu melihatku datang. Tangannya menggapai-gapai berusaha meraihku. Aku tersenyum lebar dengan gerakan tergesa menaruh semua tas belanjaan di tepi ruangan. Segera kuambil Bella yang mulai meronta dalam dekapan neneknya. "Cup... cup... cup... sayang, ini Mama, Nak," aku mengayun-ayun Bella. Tak berapa lama tangis Bella berhenti. Tangannya memainkan kancing mote-mote yang terpasang sebagai hiasan di jilbabku. "Bella ini kalau kerasa kamu sudah dekat rumah pasti nangis," ujar ibu mertuaku sambil menuangkan air ke dalam gelas. Ia kemudian menceritakan kegiatan Bella seharian dengan antusias. "Maaf, ya, Bu. Tadi aku sekalian mampir belanja mumpung lagi diskon, jadi terlambat sampai di rumah." "Nggak apa-apa. Ibu pulang sekarang, ya." Ibu bersiap menenteng tasnya. "Aku pesenin taksi ya, Bu," tanganku cekatan meraih gawai hitam dari saku baju. Membuka aplikasi taksi online dan memesan

GADIS LAYANG-LAYANG

Ternyata menerbangkan layang-layang sama sulitnya dengan membaca hati gadis angkuh yang baik hati dan berpenampilan elegan bak putri kerajaan. Memilih angin yang baik, cuaca, serta tempat yang tepat untuk membiarkan benda berbahan kertas warna-warni itu meliuk-liuk indah di langit. Itulah Baila. Gadis bermata jeli dengan aroma tubuh yang tidak pernah absen dari sentuhan Victoria's Secret. Harus kuakui bahwa tidak ada hal istimewa yang harus ia perhitungkan antara aku dan dia sejak kami berkenalan. Hanya satu yang kutahu, Baila menyukai layang-layang. Lebih dari hanya memandanginya disapu angin lembut, gadis rupawan itu mampu membuat dan menerbangkannya seorang diri. Seorang diri! Ingat-ingatlah Baila sebagai seorang gadis angkuh yang dapat melakukannya. Ketika aku tidak memiliki harga untuk diperhitungkannya, aku malah nekad mendambakan sosoknya. Dia seperti layang-layang empat dimensi yang selalu indah diterpa angin kesiur di tempatnya. Dengan ekor rumbai berwarna jingga yan

KAWAN OM TORO

Laki-laki bertubuh besar dengan jaket hitamnya membawa Vario putih ke pekarangan depan rumah. Dengan tenang ia membuka helm serta jaket tebal yang membuat tubuhnya semakin besar lalu menggantungnya di stang kendali. Aku sempat tersenyum sekilas, tapi... eh pria itu sama sekali tak peduli keberadaanku yang baru saja buang sampah ke dalam tong besar di pojok depan pekarangan. Aku menggerutu dalam hati. Ck, sopan sekali! Sudah numpang parkir, nggak permisi pula. Keluh batinku. Pria itu adalah kawan tetangga kami, Om Toro. Rumahnya berseberangan dengan rumah kami tapi berada agak di depan, berdampingan dengan toko besar di pinggir jalan. Kawannya ini sering parkir di pekarangan rumah kami saat bertandang ke rumah Om Toro. Entah siapa namanya. Rumah-rumah penduduk di gang ini hanya beberapa yg memiliki pagar, terutama rumah-rumah berukuran besar dan memiliki pekarangan luas. Rumah kami termasuk besar tapi pekarangannya kecil, ditambah lagi terhubung langsung dengan pintu belakang Bala

RAHASIA - Eps. 12

"Mereka mungkin sudah berbaikan, So," Preu mencoba berbaik sangka. "Tapi, apa Gai nggak trauma, Preu," bantah Sora. Preu menggeleng. Mereka tidak tahu pasti bagaimana hubungan Gaitsa dengan suaminya. Entah dari mana datangnya, ada rasa cemas yang menyusup di perasaan   Sora. Naluri keperempuanannya terusik dengan kejadian kekerasan yang dialami Gaitsa. "Lagi pula, suaminya pengusaha yang punya hubungan dekat dengan mafia hukum. Akan sulit mambantu Gaitsa lepas dari jeratnya." Kalimat Preu membuat Sora tertegun. Ia baru tahu tentang hal ini. Malang sekali nasib wanita pucat itu, batin Sora. "Bisakah kita menghubungi Gai? Bukankah kamu punya nomor kontaknya?" Tanya Sora. Preu mengangguk. Ia merogoh saku celana dan mengecek kontak Gaitsa. "Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau..." begitu jawaban operator. Preu mengetuk tombol merah. "Nomornya tidak aktif," Preu mengunci layar ponsel