Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

CEMBURU

Mama menikah lagi. Setelah delapan tahun papa pergi karena kanker, Mama seperti anak muda, kasmaran pada seorang pria. Pria itu baik, bahkan terlampau memanjakan. Ia seorang duda. Istrinya juga meninggal karena kanker. Mungkin karena merasa memiliki nasib yang mirip, akhirnya mereka nyambung dan merasa nyaman satu sama lain. Aku merestui mereka, sungguh. Tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Mama banyak tersenyum dan tertawa. Mama mengenalkannya padaku sebagai Om Rudi. Ia membawa seorang anak perempuan yang hampir sepantaran denganku. CalonMama menikah lagi. Setelah delapan tahun papa pergi karena kanker, Mama seperti anak muda, kasmaran pada seorang pria. Pria itu baik, bahkan terlampau memanjakan. Ia seorang duda. Istrinya juga meninggal karena kanker. Mungkin karena merasa memiliki nasib yang mirip, akhirnya mereka nyambung dan merasa nyaman satu sama lain. Aku merestui mereka, sungguh. Tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Mama banyak tersenyum dan tertawa.

BERHENTI BERHARAP

Gambar
Oleh : Agil Uin   sumber: google.co.id Cita-cita bukan hal yang istimewa lagi bagi Gala. Mimpi-mimpi yang dibangun sejak belia hanya menjadi angan-angan, lalu menguap. Senyap. Langkahnya mulai limbung kala tamat SMA harus menggapai sebuah cita-cita yang bukan miliknya. Cita-cita dari sebuah ambisi seorang ibu posesif. Gala tak ingin ingkar pada mimpinya, tapi juga tak berani menentang seorang wanita yang telah bertaruh nyawa melahirkannya. Bahkan percobaan kabur dari rumah tak membuat ibunya mengakhiri ambisi itu. Lagi pula, Gala bukanlah tipikal anak nakal yang bisa melawan orang tua. Ia dibesarkan untuk mendapatkan prestasi emas, sesuai dengan apa yang diharapkan orang tuanya. Ia terkurung dalam kandang cita-cita yang membuatnya terpaksa menggugurkan impian yang sesungguhnya. Gala, lelaki tegap dengan tubuh atletis itu, kenyataannya menyimpan hati yang patah karena harus berjalan di atas kebanggaan sang ibu yang menyiksanya. Tapi, toh ia tetap melakukannya tanpa memb

SI MALING HATI ALULA

Gambar
Oleh : Agil Uin Alula memandangi sekitar food court yang baru saja dijejakkannya. Matanya melihat sekeliling dengan tatapan gelisah. Ia sedang mencari sesosok pria tinggi dengan rambut bergelombang yang panjangnya sebahu. Itulah yang diingatnya dari sosok itu terakhir kali, lima tahun yang lalu. Gadis berhidung ramping ini tak bisa menahan degup jantungnya yang bertambah kencang sejak tiga hari lalu. Ketika sebuah pesan singkat dari pria itu sampai di gawainya. Hei Lula. Apa kabar? Ini Unang, masih ingat kan? Gimana kabarnya? Pesan itu seketika membawa kenangan yang menyesap batin Alula. Lima tahun lalu di musim hujan. Unang bukan orang baru dalam kehidupan Alula, ia salah satu mahasiswa yang menyewa kamar kos milik orang tuanya. Sudah tiga tahun ia tinggal di sana. Alula sendiri masih kelas satu SMA waktu itu. Alula tak terlalu memperhatikan kehadiran Unang di sana. Baginya para mahasiswa yang tinggal di sana hanya mahasiswa biasa yang suka bersiul jika ia lewat.

DALAM HATI 3

Oleh: Agil Uin Hadi Sore hari badanku sudah terasa segar setelah seharian aku beristirahat. Maag di lambungku sudah tak terasa lagi. Ya, ini berkat perawatan Anis. Siapa lagi? Tapi lagi-lagi aku harus membayarnya dengan alasan palsu agar dapat menemui Mitha. Seperti yang sudah-sudah, Anis hanya menurut. Mempercayaiku begitu saja. Hanya saja ada raut cemas yang ia tunjukkan sore itu. Aku hanya meyakinkannya bahwa akan baik-baik saja. Kurasa aku juga tidak akan minum kopi untuk sementara waktu. Anis Sebenarnya aku ingin membuat sebuah makan malam istimewa hari ini. Tapi Hadi harus menyelesaikan sebuah urusan pekerjaan. Entah akan pulang jam berapa. Aku hanya mencemaskan lambungnya. Bagaimana jika maagnya kambuh lagi? Hadi begitu sibuk sampai ia tak memperhatikan kesehatannya sendiri. Bahkan di hari libur begini pekerjaan masih saja nggandul di pundaknya. Kadang aku heran, bagaimana bisa lelaki betah berlama-lama bergelut dengan pekerjaannya. Rumah "Mas, mau diba

DALAM HATI 2

Oleh : Agil Uin Anis Perjodohan kami berjalan lancar hingga akhirnya kami menikah. Aku mencintainya. Tapi, entah bagaimana perasaannya terhadapku. Hadi lelaki yang baik. Pekerjaan yang mapan, perangainya yang ramah, serta banyak keahlian yang dimiliki tak ayal membuatku jatuh cinta. Selama menjadi suamiku, ia tak pernah sedikit pun melakukan hal buruk padaku. Aku berusaha melakukan tugas sebagai istri sebaik mungkin. Menyiapkan segala keperluannya, memenuhi keinginannya, menjaga rumah dengan baik, selayaknya tugas seorang istri. Namun, beberapa waktu belakangan, Hadi sering terlambat pulang karena urusan pekerjaan. Sebenarnya aku mengkhawatirkan kesehatannya kalau ia selalu pulang larut malam. Aku tak tahu apa yang ia makan di malam hari. Bisa saja itu menimbulkan penyakit. Seharusnya Hadi tidak sekeras itu pada dirinya sendiri. Hadi Anis memang bukan wanita pilihanku sebagai istri. Kami dijodohkan oleh pihak orang tua. Tapi, Anis tidak buruk. Ia wanita yang baik, penu

DALAM HATI

Oleh: Agil Uin Hadi Entah sudah cangkir keberapa kuhabiskan kopi berkafein tinggi di sini. Tempat pertama kali aku bertatap wajah dengan seorang gadis yang sekaligus membuatku terpana. Saat aku sudah terjebak dalam perasaan jatuh hati pada sosok gadis berkulit hitam manis itu, dia selalu membuatku menunggu lebih lama pada setiap pertemuan. Seperti malam ini. Jarum jam tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan lewat dua belas menit. Itu artinya sudah hampir tiga jam aku duduk dengan kegelisahan yang bertambah setiap menitnya. Si hitam manis yang misterius, namun menyenangkan saat bersitatap dengannya. Jika kalian tahu, kalian akan menilaiku amat bodoh. Ya, kan? Belum lagi kenyataan lain bahwa aku selalu berbohong pada istriku saat menunggu wanita itu. “Aku lembur, ya, Nis.” Begitu yang sering kukatakan untuk membuatnya tidur duluan tanpa menungguku pulang. Sungguh tragis memang. Mitha Kenapa dia masih menunggu? Aku lelah mempermainkannya seperti

Selamat Malam Luka

Gambar
Sumber gambar : pinterest.com Selamat malam luka. Di ujung jalan itu kamu pergi. Menanggalkan status resmi kita. Berjalan ke arah yang tak tentu. Entah ke mana. Tangismu tak kunjung menyembuhkan luka yang kita buat. Berdasar perih yang terus kamu pendam. Beberapa bulan tak ada pembicaraan. Seolah semua berjalan baik-baik saja. Sampai ketika aku menemukanmu menangis tanpa suara. Di ujung jalan itu. Buncah seluruh beban yang kamu tanam dalam hati. Menepis semua rasa cinta yang pernah ada. Dalam balutan gaun yang anggun, mata dan hatimu jauh berbeda. Mereka menyimpan sebuah misteri yang selama ini tak kusadari. Waktu berjalan dan membiarkanku menjadi seorang yang bodoh. Anak mami! Aku terlalu takut hidup berdua denganmu. Selalu berlindung di balik ibuku sebagai alasan. Memandang kamu tak bisa hidup serba kesulitan dengan penghasilanku yang pas-pasan. Perlahan-lahan, kamu kesulitan bernapas di rumah itu. Tanpa kusadari aku telah mencekikmu dengan tanganku sendiri.

NGIDAM?

Gambar
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Langit pagi masih diselimuti mendung yang tebal. Sejak kemarin hujan dan gerimis silih berganti membungkus kota sampai malam. Sang surya seperti enggan muncul meski sekedar mnghangatkan tubuh-tubuh yang menggigil di dalam jaket tebal. Beberapa hari belakangan cuaca sedang tak bersahabat. Udara dingin selalu menyergap. Bahkan kadang sampai menusuk ke tulang belulang dan sendi-sendi yang lemas. Aku merasakannya. Ditambah mual dan muntah tiga hari ini. Badan terasa kosong tanpa selera makan yang baik. Bukan, bukan. Aku tak sedang sakit. Aku begini karena hormon progesteron yang sedang diproduksi besar-besaran boleh tubuhku. Sesuatu yang terasa menyiksa secara fisik karena hormon ini bisa membuatku tiba-tiba sedih, senang, lesu, marah, dan guncangan psikis yang terjadi tiba-tiba. Juga mempengaruhi selera makan, selera mode, selera bergaul, dan selera-selera lainnya. Pagi-pagi buta, di tengah cuaca yang tak bersahabat tiba-tiba aku menginginkan me

SURAT IJIN

Cirebon, 6 Februari 2018 Entah kemana gairah menulis ini hilang. Mendadak aku hanya bertemankan layar komputer yang menampilkan halaman kosong pada Microsoft Word. Kata-kata seolah bubar tanpa komando. Seperti bosan berada dalam benakku. Beberapa hari tubuhku mulai mengalami perubahan. Pusing, mual, muntah, malas, dan perilaku tak biasanya mulai bermunculan. Haruskah kujadikan alasan? Baiknya tidak, sih. Hanya saja, membuatku benar-benar tak bisa berpikir dan menangkap inspirasi. Biasanya satu cerita bisa kuselesaikan dalam satu hari. Tapi, kali ini tidak. Kesetiaan Kakek Cangkir baru rampung tiga hari. Hampir empat hari bahkan. Membuatku tak bisa mengejar tantangan 30 Days Writing Challenge secara penuh. Di minggu terakhir #30DWC aku merasa tak berdaya melawan kondisi tubuh. Bilang saja aku manja. Kalau ingin menjadi seorang penulis tak seharusnya terbawa suasana. Tapi lagi-lagi batin tak dapat mengelak dari keadaan hampir stres karena tak henti-hentinya merasa mual. Teka

KESETIAAN KAKEK CANGKIR

Manusia tidak pernah menyadari ada dunia yang bergerak di sekitar mereka. Karena keajaiban selalu datang pada apa saja di sekelilingnya. Inilah sepenggal kisah di sebuah dapur seorang nenek yang tinggal seorang diri. Meja dapur terlihat kusam meski sudah dilap karena nenek tua itu kesulitan melihat dengan jeli saat mencuci lap. Sehingga lap yang digunakan sebenarnya masih agak berminyak. Begitu juga dengan alat makannya, seperti piring, gelas, sendok, dan garpu, yang hanya dicuci seadanya. Setiap malam, alat-alat makan tersebut tak bisa tidur dan terus-menerus mengeluh gatal-gatal karena tubuh mereka tak bersih. Mereka berharap agar si Nenek Tua menjual atau memberikan mereka pada manusia yang lebih muda supaya bisa membersihkan tubuh mereka dengan lebih baik. "Aduuuh, gatalnya ...." keluh Nyonya Sendok sambil menggosok tubuhnya. "Aku juga," Pak Garpu menimpali. "Huuu... huuu... huuu... aku tidak tahan. Bagaimana bisa kita akan bertahan dengan kuman-k

CALON AYAH

Wid melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Ini sudah lebih dari satu jam Wid menunggu kedatangan Amar. Tapi pria itu belum juga kelihatan barang hidungnya. Perlahan Wid bangkit dari kursi, berjalan tertatih sambil memegangi apa saja yang bisa digunakan sebagai penopang tubuhnya. Perut yang sudah membesar membuat wanita itu agak sulit berjalan. Hari itu Amar berjanji memgantarnya memeriksakan kandungan ke dokter sebelum hari persalinan tiba, sekitar satu minggu dari sekarang. Wid merogoh ponsel di tas untuk menghubungi Amar. Tapi yang dihubungi tak menjawab sambungan telepon darinya. Sekali lagi. Hasilnya masih sama. Wid menghembuskan napas. Gelisah mulai menggerayangi perasaannya. Jam tangan sudah menunjukkan jadwal praktek dokter kandungan Wid sudah dimulai. Rasanya kemungkinan untuk mendapatkan nomor antrean di waktu yang bersamaan dengan jadwal praktek sangat kecil. Antara kesal dan cemas, akhirnya Wid hanya bisa menunggu. Ia tak bisa menghakimi suaminya

SALAH LIHAT

Gemericik air yang keluar dari kran retak di kamar mandi memberi ritme kehidupan tersendiri di rumah ini. Air PAM yang hanya menyala saat malam menemani hari-hari menulisku di sini. Meski air yang keluar kecil, air yang ditampung dalam lima ember besar ini mampu memenuhi kebutuhan air minum, mandi, hingga mencuci lima orang anggota keluarga dalam satu hari. Dalam hening malam yang ditingkahi dengkuran anggota keluarga yang sudah terlelap, penaku menari lincah di atas kertas. Alam pikirku menerobos khayalan yang terbang bebas saat tinta hitam pulpen bertuliskan Pilot membentuk rangkaian huruf-huruf berfrasa renyah. Setidaknya untuk memuaskan hasrat berkhayalku, tulisan-tulisan ini membuktikan eksistensiku dalam dunia literasi. Meja kayu kecil di dapur yang berfungsi sebagai tempat menyimpan makanan akan beralih fungsi untuk tempatku menulis di malam hari. Satu-satunya meja yang masih bisa menopang tanganku saat menulis. Sebuah selebaran lusuh kutemukan di lantai dapur, bekas bungk

SEKILAS PARAGRAF

Gambar
Sumber gambar: google.co.id Entahlah, kenangan masa kecil seperti apa yang paling menyenangkan. Aku sendiri merasa masa kecilku menyenangkan. Halaman rumah yang luas dengan tanah berlapis pasir yang halus adalah surga tersendiri bagi sekelompok anak kecil di Desa Karangsuwung. Macam-macam permainan seperti engklek, gobak sodor, surabi-surabian, dan rumah-rumahan ialah permainan tradisional yang cukup menggunakan media tanah sebagai modal bermain. Aku ialah salah satu pelaku permainan di atas yang pernah merasakannya. Dengan fasilitas bermain yang 'istimewa' kala itu, aku menikmati masa kecil yang bahagia. Menikmati senja yang bercahaya jingga bersama kawan sepermainan dan bulir-bulir pasir dari tanah gembur kampung halaman. Bagaimana dengan kalian? #30DWC #Day19 #OneDayOnePost

MERINDU

Gambar
Sumber gambar: pinterest.com Mata ku lagi-lagi memeriksa ponsel yang baru setengah menit kuletakkan di atas meja. Gatal sekali rasanya tangan ini untuk mengirim pesan pada Papi. Tapi urung karena baru saja kami berkirim pesan. Pekerjaan rumah sudah selesai sejak pukul sepuluh. Sementara Papi baru pulang sekitar empat jam lagi. Waktu menunggu Papi pulang terasa lama sekali bagiku. “Pi, kerja di rumah aja.” pintaku suatu hari. “Mau kerja apa?” sahut Papi sambil menyesap kopi. “Apa, kek. Kan, Papi bisa buka percetakan, usaha desain grafis, atau apa gitu.” “Itu, kan sampingan Papi.” Jawabnya kalem. “Dijadiin kerjaan utama bisa, kan?” Papi terkekeh, “kenapa, sih?” “Abis kangen melulu kalo Papi lagi ngajar di sekolah .” aku menutup mulut dengan kedua tanganku. “Ada-ada aja, sih, Mi,” Papi geleng-geleng kepala. Obrolan di suatu hari yang lalu itu menguap begitu saja. Seakan hanya percakapan biasa, candaan suami istri yang selalu dimabuk cinta. Tapi

KARENA SAHABAT SEHARUSNYA…

Gambar
Sumber gambar: pinterest.com Aku menatap wanita di hadapanku dengan enggan. Pertemuan dengan Pim mengoyak kembali luka yang berusaha kusembuhkan sendiri. Ingatan pada peristiwa sepuluh tahun lalu mendadak terasa segar kembali. Rasa marah yang sudah kubuang ternyata masih tersisa, menempel di serat-serat otot tubuhku, menyatu dalam daging, menjadi kasat rasa. Kini saat menatap wanita ini di hadapanku, mereka mencair, memanaskan sendi, mengalir dalam hati. Rasanya aku ingin menyemburkannya. Tapi urung, karena melihat Pim mendatangiku sambil menangis tersedu. Rumah tangganya dengan mantan suamiku hancur. Bahkan kali ini mungkin lebih menyakitkan karena suaminya berselingkuh dengan adiknya sendiri. Sungguh tragis. Tapi bukankah dia juga pernah melakukan hal yang sama terhadapku. Namun ada rasa tak tega menatap Pim dengan keadaan carut-marut seperti ini. Penampilannya tak lagi sama saat dulu ia selingkuh dengan suamiku. Fashion item terbaru dengan tata rambut ala artis, dan

DOA UNTUK MORA: PERTEMUAN KEMBALI

Gambar
sumber gambar: www.hipwee.com Mora duduk di kursi ruang tamu. Wajahnya memperlihatkan senyum – yang sebenarnya adalah caranya untuk menutupi kegelisahan – saat aku menatap tajam ke arahnya. Karena aku terlalu mengenalnya. Aku sudah lama meninggalkan rasa penasaran, amarah, dan rasa ditinggalkan seorang sahabat. Aku sudah meluruhkannya bersama doa-doa yang kupanjatkan kepada Tuhan. Aku tak pernah berharap bisa bertemu dengannya kembali. Aku menyerah. Hanya dalam doa aku membersamainya. Tapi takdir berkata lain. Tiba-tiba hari itu ponselku berdering panjang. Ada nama Mora yang tertera di layar ponsel. Seketika jantungku berdegup cepat. Ada apa? Kugeser gambar bulat berwarna hijau ke sembarang arah setelah mematung beberapa detik. “Assalamu’alaikum,” sambutku resah. “Wa’alaikumsalam. Bisa bicara dengan Ami?” jawabnya lancar. “Iya betul. Ini Ami.” Hening. “Hai, Mi. Ini Mora. Masih inget, kan?” “Gimana caranya aku bisa lupa, Ra.” Sahutku dengan su