SI KECIL

Aku tak suka gadis kecil di hadapanku. Kecil di sini bermakna yang sebenarnya. Ia gadis kecil yang bertubuh kecil: pendek, kurus, dan semua ukuran tubuhnya mungil. Sangat berbeda dengan kawan-kawan sebayanya. Gadis kecil itu menghadangku di bangsal kelas tiga.

Dia mencariku dengan tatapan ingin menerkam.

"Mana yang namanya Basayev?" Serunya dengan lantang.

Aku pasang badan. Bersiap untuk kemungkinan terburuk kalau-kalau diserang secara fisik oleh gadis kecil berwajah bulat tersebut.

"Kamu ketua OSISnya?" Gadis itu bertanya angkuh.

"Ya. Ada apa, nih?" Aku berusaha tak terpancing emosi. Melihat badge di lengan kirinya, ia adalah anak baru. Sedang masa pengenalan. Ia cukup berani untuk ukuran tubuhnya yang mungil, di tambah ia adalah siswa kelas junior di sekolah ini.

"Tanggung jawab. Ada orang yang ngaku pengurus ngasih hukuman fisik berlebihan sama teman sekelas saya." Nada bicaranya lebih pelan.

Aku mengerutkan dahi, hukuman fisik?

"Kami nggak pernah kasih hukuman fisik kecuali bersih-bersih taman dan kebun sekolah." Jawabku berdasarkan peraturan yang dibuat langsung oleh pihak sekolah.

"Tapi teman saya babak belur,"

"Di mana dia?"

Aku dan gadis itu kemudian mendatangi rumah si korban sepulang sekolah. Melihat langsung keadaannya. Di wajahnya ada beberapa lebam dan lecet di wajah dan lengannya. Aku juga meminta penjelasan langsung darinya. Dari situ aku langsung membuat kesimpulan bahwa pelakunya bukan anggota OSIS.

"Saya akan buat laporan ke pembina. Biar nanti diusut pihak sekolah." Kataku memberi kesimpulan.

Setelah kunjungan mendadak itu, aku dan si gadis kecil itu pun pamit. Kami menunggu angkot yang sama di sebuah halte. Aku memperhatikan si kecil dari samping. Gadis berambut pendek itu kelihatan manis juga. Ia membalut seragamnya dengan jaket bermotif tentara. Tulisan besar di belakangnya terbaca "I KILL INSIDE".

"Apa liat-liat?!" Sahutnya tiba-tiba. Ekor matanya menangkap basah aku yang sedang memperhatikannya.

Aku langsung mengarahkan mataku ke atap halte.

"Saya salut," ucapku pelan. "Kamu cukup berani..."

"Untuk ukuran badan sekecil ini? Itu yang mau kamu bilang?" Si kecil memotong kalimatku. Seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku.

Bibirku mengatup, tak mampu berkata-kata lagi. Aku hanya melirik sekilas. Mendapati rambut pendeknya yang tertiup angin sore. Pemandangan yang menghibur sore itu, paling tidak untuk mengurangi situasi tegang yang diciptakan oleh si kecil.

***

Rapat OSIS digelar untuk memberi arahan ulang tentang peraturan sekolah. Agar tidak ada lagi kejadian pemukulan atau tindak kekerasan lain terhadap siswa junior.

"Kasus yang menimpa junior kita akan diselidiki pihak sekolah. Kalau ternyata oknumnya berada di antara kita, saya nggak segan untuk minta kepala sekolah memberi hukuman keluar dari sekolah secara tidak hormat." Mataku menatap sekeliling.

Yang lain hening. Ruangan mendadak lengang. Aku mengambil napas, lalu mengakhiri rapat yang berlangsung 30 menit itu.

***

Gadis kecil itu berjalan di bangsal kelas tiga sambil sibuk memanggil namaku. Aku sudah mendengarnya dari kelasku sejak ia memasuki ujung bangsal. Sungguh menyebalkan! Gerutuku.

"Basayev!"

"Ada apa?" Aku berdiri di depan pintu kelas, membuat si kecil sedikit terkejut.

"Gimana perkembangan kasusnya?" Si kecil langsung menuding.

"Belum ada." Jawabku apa adanya.

Si kecil mendengus. Wajahnya kelihatan kecewa.

"Kenapa, sih, kamu sibuk banget ngurusin kasus ini?" Mendadak aku ingin tahu.

Si kecil memandangku dengan tatapan tidak suka. "Saya ketua kelasnya, jadi saya juga punya tanggung jawab untuk bantu menyelesaikan kasus ini." Ujarnya berapi-api.

Dahiku mengerut. Serius banget, gumamku.

"Oke, kalau belum ada perkembangan apa-apa, saya balik." Si kecil kemudian melangkah pergi.

Aku memandang punggungnya sampai menghilang di belokan bangsal. Dia sungguh galak untuk ukuran tubuhnya yang mungil.

***

Tujuh hari berlalu. Tujuh kali pula si kecil bolak-balik menemuiku. Seperti biasa, ia memanggil-manggil namaku dengan lantang di bangsal kelas tiga. Kasus pemukulan junior di sekolah kami memang belum diketahui pelakunya, makanya setiap hari si kecil terus-terusan mendatangiku.

Anak-anak kelas tiga mulai mengejek jika terdengar suara si kecil yang memanggil namaku. Awalnya aku tidak peduli, tapi mengganggu juga jika terus-terusan seperti ini. Tidak ada cara lain selain menegur si kecil atas kelakuannya.

Setelah bel pulang berbunyi, aku menunggunya di ujung lorong kelas satu. Semoga saja dia lewat situ.

"Kamu!" Seruku saat batang hidungnya muncul.

Si kecil menghentikan langkahnya begitu mendengar suaraku.

"Ada apa? Sudah ketauan siapa pelakunya?" Tanyanya datar.

"Saya bukan mau ngomongin itu."

"Lalu?"

"Bisa nggak kamu nggak teriak-teriak panggil nama saya di lorong kelas tiga?!"

"Masalahnya apa?"

"Kamu bikin saya malu."

"Malu sama namamu?"

"Bukan!"

"Lalu?"

"Kamu yang bikin saya malu!"

"Kamu malu ketemu saya?"

"Bukan!"

"Terus apa?"

"Jangan teriak-teriak panggil nama saya!"

"Emang kenapa?"

"Kamu bikin saya malu!"

"Karena teriak-teriak?"

"Iya."

Si kecil tertegun sebentar. "Oh, maaf kalau gitu." Jawabnya sambil memandangiku.

Eh, cuma begitu? Aku mendadak tidak punya energi untuk bicara lagi. Aku membalikkan badan, meninggalkan si kecil yang bengong.

Setelah itu keesokan harinya pelaku pemukulan siswa junior tertangkap. Si kecil tidak pernah datang ke kelasku atau memanggil namaku keras-keras.

***

"Basayev!"

Aku terkesiap. Membuka mata lebar-lebar. Di hadapanku berdiri seorang wanita dengan kaus putih sedang berkacak pinggang.

"Mau tidur sampai jam berapa?" Serunya.

Aku menghela napas. Si kecil tidak berubah sejak dulu. Bahkan saat ini sudah menjadi istriku pun tetap galak. Aku tersenyum simpul.

"Peluk dulu, dong," aku merentangkan lengan sambil membuat ekspresi lucu.

Si kecil tersipu, lalu menimpukku dengan bantal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS