TINGGAL DENGAN MAK GENDUT

Anak laki-laki berusia lima tahun itu setengah berlari menghindari Mak Gendut yang terpincang-pincang mendekatinya.

"Ganti baju! Ini gimana, sih?! Dibilangin susah pisan!" Teriaknya kesal. Volume suaranya yang keras semakin memekakkan telinga saat bicara dengan nada tinggi.

"Sini! Goblok!" Lagi, ia berteriak.

Anak kecil itu masih menghindar. Spontan kutegur Mak Gendut.

"Kok ngomongnya begitu, sih, Mak," nada suaraku kecewa.

Mak Gendut meyeringai sambil menatapku tanpa merasa bersalah, lalu duduk di bangku panjang. Anak kecil itu berada dalam jangkauanku.

"Dek, ganti baju sini," ajakku.

Si anak kecil tadi mendekat, membiarkan tanganku membuka kancing-kancing seragamnya. Mak Gendut tak bersuara lagi, hanya memandangi.

"Kaos kakinya nanti simpan di sepatu ya." Kataku lagi.

"Iyaaa..." jawabnya riang.

Lalu setelah mengganti pakaiannya, ia melakukan hal yang kuminta kemudian asyik menyusun lego di pojok ruangan.

Aku menatap Mak Gendut prihatin. Rambut yang sudah putih di seluruh kepalanya ternyata tidak mengubah tabiat buruk yang dipunya. Asam garam yang seharusnya membuat manusia lebih bijak nyatanya tak berpengaruh hingga usianya senja.

Menurut cerita salah satu bibi, Mak Gendut pernah kedapatan mengambil pakaian-pakaian saudaranya. Kemeja, kaos, celana panjang, serta beberapa perhiasan. Entah apa sebab, setelah ketahuan dan mengakuinya, ia masih menyeringai dengan wajah tanpa dosa. Apalagi yang merasa menjadi korbannya pun sama-sama miskin. Tetapi atas nama solidaritas keluarga, para korban menganggap kejadian itu tak pernah ada.

Belum lagi catatan hitam bahwa ia sering berbohong pernah juga diutarakan salah satu paman. Kebiasaan ini terbawa hingga sekarang. Cukup memuakkan sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Membuatnya berubah sangat sulit mengingat usia yang tak lagi muda.

Itulah mengapa tidak ada sanak saudara lain yang mau menampungnya untuk tinggal. Bahkan anak-anaknya menghindari merawat Mak Gendut dengan berbagai alasan. Kami hanya bisa maklum.

Yang paling terlihat sikap buruknya ialah cara memperlakukan anak asuh di rumah ini. Ukas. Mak Gendut sering melontarkan kata-kata kasar sambil berteriak padanya. Sering aku terbawa emosi dibuatnya dan merasa terusik dengan suaranya yang terlampau lantang.

Ya Rabb, ya Rabb, ya Rabb, batinku.

***

Hari ini lagi-lagi aku menangkap pemandangan tak enak. Mak Gendut menjewer Ukas dan menyeretnya ke ruang tamu.

"Sini! Disuruh kesini dari tadi, susah pisan! Budek apa kamu?!" Teriaknya.

Dengan gerakan tertahan karena sedang menggendong bayiku, terpaksa kutegur lagi Mak Gendut. Sementara Ukas terlihat marah.

"Mak, kenapa, sih?" Nada suaraku resah bercampur gemas.

"Ini disuruh pake kaos kaki susahnya minta ampun," jawabnya sambil menyeringai ke arahku.

"Ngomongnya baik-baik, dong." Kataku sambil meraih tangan Ukas, mengajaknya duduk di sampingku.

"Bisa pakai kaos kaki sendiri, kan?"

Ukas mengangguk pelan. Wajahnya masih dipenuhi kesal. Ia memasang kaus kakinya sendiri dengan baik. Tidak perlu diteriaki atau disentak.

Ukas memang anak yang aktif, tidak bisa diam. Ia sering bertanya ini-itu, termasuk anak yang cerewet, namun tampaknya ia terkena gangguan speech delay entah sejak kapan. Di usianya yang ke lima Ukas belum bisa merangkai kata dengan baik menjadi satu kalimat. Caranya bercerita hanya mampu diutarakan dengan meniru suara dan gerakan, itu pun dengan pelafalan yang tidak jelas. Ukas juga belum mampu melafalkan kata-kata yang memiliki tiga atau empat suku kata. Menghadapinya harus benar-benar sabar dan tidak menggunakan bentakan.

Tapi bagaimana caranya menjelaskan hal ini pada Mak Gendut yang... ah, sudahlah.

Kelihatannya Mak Gendut masih menganggap didikan dengan cara yang keras adalah yang terbaik. Namun karena sering memarahinya, Ukas lebih sering tidak menghiraukan perintah Mak Gendut. Juga meniru kata-kata kasar Mak Gendut ketika ia marah. Kabar baiknya, Ukas cukup segan padaku, sehingga bisa kuarahkan sedikit-sedikit.

Ya Rabb, ya Rabb, ya Rabb, batinku.

***

Untuk kesekian kalinya Mak Gendut kembali membuat ulah. Hanya karena Ukas bermain-main dengan gantungan pakaian di kolam ikan, Mak Gendut mencubit lengan lalu mendorongnya sampai terjengkang di lantai.

Ini sudah keterlaluan bagiku. Ya Allah, bagaimana ini? Keluhku.

Ukas menjerit marah. Tangannya terkepal siap memberi tinjunya pada Mak Gendut. Orang tua itu malah semakin senang menantang Ukas.

"Sini! Berani kamu?! Sini, tinju aja!" Soraknya merasa keren.

Aku istighfar berkali-kali. Ingin rasanya aku marah pada wanita beruban itu. Kuraih tangan Ukas dan menyeretnya ke dalam rumah. Ukas meronta. Ia sepertinya masih ingin membalas Mak Gendut.

Di ruang tengah tangis Ukas pecah. Ia memekik marah. Kubiarkan ia berdiri di dekat tembok. Aku hendak memeluknya, tapi Ukas menolak. Akhirnya aku berlutut di hadapannya sambil mengusap pipi yang basah karena air mataku sendiri.

Sayup-sayup terdengar suara Mak Gendut menggerutu, memaki Ukas.

Ya Rabb, ya Rabb, ya Rabb, batinku.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS