TERSANDUNG ASMARA (PART 3 END)

Empat bulan berlalu tanpa terasa. Waktu menggelinding cepat dan perubahan tak bisa dipungkiri akan terjadi. Tapi perubahan yang tak terduga kadang membawa sesal atau juga perasaan lega.

Beberapa hari belakangan Mas Ruli agak sulit ditemui, pun dihubungi. Kukira karena tanggung jawabnya di sekolah bertambah. Ada pekerjaan yang mungkin tak akan kumengerti kalau pun ia menceritakannya padaku. Aku hanya menganggapnya sedang terkena dampak euforia kerja.

Hari Sabtu ini ada kegiatan pelatihan anggota OSIS. Aku bertugas sebagai bendahara. Seperti biasa, aku akan mencuri waktu untuk bertukar sapa dengan pria istimewa itu. Tapi ternyata ia tidak ada di tempat 'biasa'. Aku tak mencari lagi, hanya mengiriminya pesan singkat.

Lagi dimana mas?

Kakiku kembali ke ruang OSIS, melaksanakan amanah teman-teman untuk mengelola keuangan acara tersebut.

Kegiatan OSIS selesai pukul 16.30. Seluruh panitia sedang berkemas. Aku sibuk dengan catatan keuangan sambil menghitung pengeluaran. Menyesuaikan jumlah di dalam catatan dengan jumlah uang yang ada.

Di pintu, terlihat Mas Bigi tengah melihat-lihat kesibukan kami. Beberapa berkelakar dengannya. Mas Bigi adalah petugas fotokopi di sekolah kami. Hampir akrab dengan seluruh isi sekolah ini. Tubuhnya termasuk pendek untuk ukuran laki-laki dewasa. Adalah hiburan tersendiri jika mendengarkan cara guyon-nya dengan sang istri.

"No, ditunggu di lobi depan, ya," serunya sebelum meninggalkan ruangan.

"Ada apa Mas?" Tanyaku sambil menudingkan telunjuk ke arah kalkulator.

"Penting!" Kali ini ia benar-benar berlalu.

***

"Maaf, ya sebelumnya, saya nggak bermaksud ikut campur sama hubungan Bano dan Mas Ruli. Tapi cepat atau lambat kamu harus tau kenyataan yang sebenarnya," pria bertubuh pendek itu mencoba menjelaskan sesuatu padaku. Aku mencoba mencerna kalimat Mas Bigi yang dilontarkan dengan wajah serius.

"Maksudnya, putus?" Tebakku.

"Ya, bolehlah kalau mau dibilang begitu," tangannya memutar bungkus rokok.

"Kenapa?"

"Duh, bilangnya gimana, ya," ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"To the point aja, Mas. Makin muter-muter, aku makin nggak ngerti." Sahutku.

Mas Bigi berdehem. "Nggg... jadi gini, No, sebenernya Mas Ruli udah punya tunangan," ucap Mas Bigi pelan.

Kalimat barusan berhasil menghunus ke dalam hatiku. Kabar yang tiba-tiba dan disampaikan oleh orang yang juga tak terduga sekejap membuat duniaku berputar tanpa arah. Kelebatan peristiwa-peristiwa indah harus terbakar informasi tidak sedap.

Busuk!

"No, maaf, saya sudah kepingin bilang sejak awal. Tapi bingung harus mulai dari mana. Lagian saya siapa, sih, ikut campur sama urusan Mas Ruli."

Kampret!

"Tapi saya kasian sama Bano. Masih muda, udah dimainin perasaannya." Mas Bigi bertutur lagi.

Jahat!

"Saya ngebayangin aja kalo anak saya yang digituin. Nggak sanggup rasanya," pria berkumis tipis itu melipat tangannya.

Aku tidak mengatakan apa-apa. Rasanya tidak sanggup menanggapi kalimat Mas Bigi. Juga tidak sanggup menahan tetes air mata yang mulai turun.

Kabar buruk itu tetap menghantuiku hingga aku sampai di rumah.

Hari itu tidak ada kabar atau penjelasan apa pun dari Mas Ruli. Aku hanya menunggu. Sempat merasa seperti seorang perusak hubungan orang lain mengingat aku adalah pihak ke tiga dalam hubungannya dengan sang tunangan. Tapi itu sama sekali bukan keinginanku.

Aku memutuskan mundur. Menjauhinya mungkin bisa membantu proses penyembuhan sakit hati. Setiap kali tak sengaja bertemu, aku hanya diam. Jika bisa aku menghindar sejauh-jauhnya. Mas Ruli bersikap sama. Ia tidak pernah menyapa atau bertanya, memperlebar jurang perpisahan. Tidak ada penjelasan atau pertanyaan apa pun darinya meski hanya lewat pesan singkat.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS