RAHASIA (EPS. 8)


Preu berhenti di depan sebuah rumah minimalis. Buru-buru ia masuk ke dalam rumah. Wanita dengan wajah pucat tengah duduk lemas di sofa panjang.

"Ayo, kita ke rumah sakit, Gai," Preu memapah wanita itu.

Gai menurut. Ia nampak kesakitan saat bergerak. Pakaian bagian bawah sudah kuyup oleh darah. Wajah Preu tampak cemas.

Ia segera membawa Gai ke rumah sakit yang paling mudah dijangkau. Perasaan kalut menyelimuti pikirannya. Bayangan wajah Sora yang kecewa juga masih membuntutinya. Hampir saja ia kehilangan konsentrasi. Mobil yang dikendarainya nyaris menabrak pembatas jalan. Beruntung jalanan sepi. Otaknya langsung memberi perintah untuk banting stir ke kanan, kemudian menyeimbangkan kendaraan agar berjalan lurus.

Wanita di jok sebelah terlihat lemah. Wajahnya kian pucat. Preu menggenggam tangannya.

"Gai! Tetaplah sadar!" Preu mengguncang tangan Gai.

Gai berusaha membuka matanya. Ia menoleh ke arah Preu.

"Preu, maafkan aku," bisiknya.

"Gai! Sebentar lagi sampai!"

Mobil Preu parkir sembarangan di depan pintu Instalasi Gawat Darurat sebuah rumah sakit swasta. Preu susah payah membopong tubuh Gai sambil berteriak memanggil petugas yang berjaga di sana.

Setelah menceritakan kondisi Gai, dokter segera melakukan tindakan.

"Tolong selamatkan dia!" Preu berucap tertahan saat para perawat dan dokter membawa Gai ke ruang tindakan.

***

Sora masih terjaga. Tangisnya sudah reda, tapi hatinya masih gerimis. Ia memandangi ponsel yang sejak tadi diam di hadapannya. Berharap Preu menghubunginya.

***

Preu duduk di ruang tunggu rumah sakit. Pakaiannya kusut dan beberapa bagian terkena bercak darah. Pikirannya terbang pada peristiwa pertemuannya dengan wanita pucat itu. Gaitsa.

Gai adalah kawan lama. Mereka satu geng sewaktu SMA. Preu sempat menyimpan rasa pada Gai, namun Gai sudah punya kekasih waktu itu. Itulah yang membuat Preu tidak berani menyatakan perasaannya.

Anggota geng mereka berpencar setelah lulus. Kebanyakan kuliah di luar kota. Termasuk Gai. Komunikasi masih mereka berjalan melalui pesan singkat dan chatting. Tapi satu per satu mulai hilang komunikasi. Tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Termasuk Preu.

Preu sudah menjalin kasih dengan Sora. Setelah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan mereka memutuskan menikah. Preu sudah melupakan Gai. Ia sudah memulai kehidupan baru dengan Sora.

Preu tidak tahu bagaimana kehidupan Gai sampai saat malam ulang tahun pernikahannya dengan Sora yang ke tujuh, Preu tak sengaja hampir menyerempet seseorang di jalan.

Ialah Gai. Wanita pucat itu tengah mabuk. Preu yang menyadari kalau ia adalah Gai, langsung membawa wanita itu ke dalam mobil. Terlalu berbahaya jika Gai yang mabuk berjalan sendirian. Tapi Preu tidak tahu harus mengantar Gai ke mana.

Preu akhirnya menelepon beberapa teman lama, bertanya di mana alamat rumah Gai. Beberapa tidak aktif, ada juga yang tidak dapat dihubungi, dan sebagian lainnya tidak mengetahui alamatnya karena keluarga Gai sudah pindah.

Saat itu seharusnya ia sudah sampai di kafe, menjemput bidadarinya. Tapi bagaimana Gai akan pulang. Preu terpaksa mematikan ponsel. Ia lalu menggeledah tas Gai dan mendapati ponselnya. Preu mencoba mencari nomor kontak yang ada kemungkinan memiliki hubungan dengan wanita ini.

Ada nama 'Suami' di kontaknya. Preu segera menghubungi nomor tersebut. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya telepon tersambung. Tapi kalimat pertama yang dilontarkan orang di seberang telepon membuat Preu bingung.

"ADA APA LAGI!? MASIH BERANI KAMU MENGGANGGU SUAMIKU, KUBUNUH KAMU!!!"

Telepon mati sebelum Preu sempat bertanya.

Situasi Preu semakin terjepit ketika sebuah kendaraan patroli berhenti di depannya. Dua orang petugas keamanan turun dan bergegas mengetuk kaca mobil, memberi isyarat untuk turun.

Mau tak mau Preu turun. Ia diinterogasi seperti orang habis maling. Tapi Preu tak ingin ambil resiko, ia berusaha bicara dengan tenang, menjelaskan situasinya.

"Banyak alasan! Sudah, ikut saja ke kantor," perintah salah satu petugas. "Berduaan di tempat sepi begini dibilang nggak mesum." Gumam si petugas.

Preu setuju, asal ia tetap berada di mobilnya.

Di kantor polisi, akhirnya mereka tertahan selama satu setengah jam. Ditanya ini dan itu. Gai yang masih sedikit terpengaruh alkohol sering memijat kepalanya.

Petugas yang ngotot, Preu yang hilang kesabaran, dan Gai yang baru kembali sadar dari pengaruh alkohol. Rumit sekali urusan dengan petugas keamanan ini.

Preu mendengus, "sekarang Bapak tanya saja sama wanita itu," tangannya menunjuk Gai yang duduk di bangku kayu.

Gai menoleh. "Maaf, saya tadi mabuk. Sebenarnya apa yang kalian permasalahkan?" Matanya berusaha mengidentifikasi wajah-wajah di sekitarnya.

***

Sora membuka tas berisi pakaian dinas Preu. Semuanya kotor. Ia membawanya ke ruang laundry. Satu per satu saku baju dan celananya ia periksa. Beberapa uang koin dan struk belanja ia kumpulkan.

Setelah memasukkan semua pakaian ke dalam mesin cuci, Sora mengecek struk-struk belanja yang ia temukan. Alamat supermarket yang tertera ini semuanya masih berada di dalam kota. Tidak ada satu pun yang menunjukkan alamat di luar kota.

Preu tidak ke luar kota, gumam Sora.

***

"Mohon maaf, Pak, janinnya tidak selamat. Ibunya kehilangan banyak darah. Kami sudah melakukan transfusi, tetapi stok darah yang kami punya tidak mencukupi," dokter yang menangani Gaitsa membetulkan letak kacamatanya.

"Apa golongan darahnya, Dok?" Tanya Preu.

Setelah memberikan informasi terkait kondisi Gai, dokter itu undur diri. Preu memutar otak untuk mencari pendonor yang memiliki golongan darah yang sama dengan Gai.

Sementara, wanita pucat yang urung menjadi seorang ibu itu kini terbaring tenang di atas ranjang di ruang perawatan. Preu memandanginya iba. Wanita yang pernah dikaguminya itu bernasib kurang beruntung.

***

Ada gurat kecewa di wajah Sora. Matanya terlihat lelah. Ia menunggu Preu menghubunginya, tapi ponsel di tangannya tetap bisu.

Apakah ia yang harus menghubunginya lebih dulu? Batin Sora keberatan. Preu yang membuat keadaan menjadi runyam malah tak memberikan penjelasan apa-apa. Sekarang pria itu pergi entah kemana. Pamit namun meninggalkan jutaan tanda tanya.

"Dia pikir aku ini siapa?!" Desis Sora kesal.

Sora tak dapat berpikir lagi. Diraihnya tas besar dari atas lemari pakaian di kamar. Ia mengisinya dengan pakaian dan perlengkapan hariannya sampai penuh. Lalu menyisipkan laptop dan charger di tempat paling atas di tas besarnya.

Sora memesan sebuah taksi online dari ponselnya. Di kolom alamat tujuan, Sora mengetikkan sebuah lokasi yang tidak asing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS