JODOH UNTUK ARROYA (Part 3)

Di awal semester delapan namaku tercantum sebagai salah satu mahasiswa yang bisa mengikuti wisuda gelombang pertama. Setelah berusaha mempercepat masa studi dengan mengambil mata kuliah semester pendek dan lebih rajin lagi menyelesaikan skripsi, akhirnya aku lulus dengan predikat cumlaud. Sebuah kebanggan bagi ibu dan adikku tentunya.

Di deretan nama wisudawan dan wisudawati yang tertera di papan pengumuman fakultas, tidak ada nama Karissa. Sepertinya Karissa masih menyelesaikan skripsinya. Apakah ia mengalami kesulitan? Semoga saja ia tidak. Ah, setelah lama menata hati, hari ini aku mulai mengkhawatirkannya. Atau merindukannya? Entahlah.

Sebuah lagu dari Edcoustic menggema dari mini compo di kamarku, menggiring kenangan saat aku berusaha mengusir bayangan Karissa. Mengiba pada Rabbku agar membuang jauh nama gadis itu, memohon ketentraman dalam bingkai doa.

"Aku ingin mencintai-Mu setulusnya, sebenar-benar aku cinta
Dalam doa
Dalam ucapan
Dalam setiap langkahku
Aku ingin mendekatiMu selamanya, sehina apapun diriku
Ku berharap untuk bertemu denganMu ya Rabbi"

***

Hari wisuda tiba. Haruskah aku ceritakan bagaimana ekspresi ibu saat duduk di barisan paling depan kursi wali wisudawan? Ia tak henti-hentinya mengusap lipatan tisu ke pipi dan matanya. Haruskah aku beri tahu apa yang ibu katakan sesaat sebelum kami masuk ke dalam gedung gymnasium tempat prosesi wisuda berlangsung? Rasanya aku tak ingin membaginya. Tapi untuk kalian, akan kuberi tahu rahasia ini. Pemandangan yang harusnya bisa kalian rasakan paling tidak sekali seumur hidup kalian.

Ibu menatapku lekat-lekat. Mengusap pipiku. Merapikan toga dan kostum wisuda yang sudah kukenakan.

"Jang, ambu teh bangga pisan. Ambu atoooh pisan. Ya Allah, ujang tos ngabahagiakeun ambu." Ucapnya lirih. Patah-patah dengan suara paling lembut yang pernah kudengar. Ibu kemudian memelukku erat-erat.

Aku hampir saja ikut menitikkan air mata. Tapi urung melihat sudah banyak orang berdatangan masuk ke dalam gedung. Aku hanya mengangguk dan mencium punggung tangan ibu. Ibu melingkarkan tangannya di lengan kiriku dan berjalan masuk ke dalam gedung. Aku mengantarnya sampai kursi kehormatan itu.

"... mulai besok, kalian adalah tanggung jawab pribadi. Tak ada lagi embel-embel mahasiswa di belakang kepala, tidak pula atribut universitas yang menopang kaki. Kalian akan menginjak bumi yang sebenarnya, sebagaimana kaki yang tak beralas menyentuh tanah..." Penggalan kalimat sambutan rektor ini cukup berkesan dan terekam dalam memori ingatanku.

Dengan perasaan campur aduk, aku berjalan dengan tegap ke arah rektor yang akan menyerahkan ijasah dan piagam kelulusan. Pak rektor tersenyum ke arahku. Dengan mantap ia menggenggam tanganku. Kami bersalaman agak lama. Ia mengucapkan selamat kemudian menepuk pundakku, tanda bersimpati dan bangga.

Usai prosesi wisuda yang memakan waktu lebih dari tiga jam, para wisudawan dan wisudawati yang keluar dari gymnasium digiring panitia arak-arakan dari jurusan masing-masing. Bagian inilah yang paling seru saat wisuda. Semua diarak menuju gedung fakultas masing-masing dengan atribut tambahan yang disediakan panitia. Ada yang dipakaikan kalung rumbai, sabuk kaleng, syal pita warna warni, dan atribut-atribut lain buatan panitia. Setelah itu kami digiring menuju gedung fakultas dengan berjalan kaki diiringi suara musik dari kaleng atau ember bekas yang ditabuh bersama lagu-lagu yang diaransemen ulang dengan lirik yang lucu. Begitulah 'adat' di kampus ini setiap ada prosesi wisuda.

Salwa muncul di tengah kerumunan teman-teman yang berkumpul di halaman depan gedung fakultas. Ia memberi selamat padaku dan beberapa teman lain yang turut diwisuda hari itu.

"Karissa mana?" Pertanyaan pertama yang muncul di benakku kala melihat sosok Salwa. Tapi urung kutanyakan karena sisi hatiku yang lain menahannya. Usahaku selama ini akan sia-sia jika nama itu terucap lagi dari bibirku. Aku hanya membalas ucapan selamat dari Salwa sekedarnya. Tak lama kemudian ia sudah tampak bergabung dengan teman-teman perempuan di sisi halaman gedung yang lain.

Sebenarnya aku jadi kecewa. Ternyata aku tak sepenuh hati melupakan Karissa. Sosok itu ternyata hanya bersembunyi di sudut hatiku yang lain. Ia tidak benar-benar pergi atau lenyap dari kehidupanku. Aku menyesal masih menyimpan perasaan untuk gadis itu.

"Ya Allah, sampai kapan sosok Karissa akan terus menghantuiku?" Batinku bertanya-tanya.

Komentar

  1. Ya ampun jadi kebayang besok wisuda gimanah...

    BalasHapus
  2. Duh jadi kepengen ambil semester pendek juga, biar cpet hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS