JODOH UNTUK ARROYA (end)

Usai merampungkan studi S1, aku lebih fokus mengembangkan usaha pembuatan kue kering. Di samping itu, aku juga dipercaya untuk mengisi kelas-kelas fiqih dan kajian-kajian agama di beberapa tempat, termasuk di masjid kampus.

Sore itu, usai kajian di masjid kampus, Salwa menemuiku ditemani salah satu kawan dari pondok. Kami bicara di selasar dekat pintu keluar sesuai permintaan Salwa.

"Gimana, Sal? Ada yang bisa saya bantu?" Aku memulai percakapan.

"Bapak mau ketemu kamu, Roy." Jawab Salwa.

Dahiku mengerut. Pembicaraan semacam ini jelas bukan hal yang main-main.

"Ada apa ya, Sal? Apa ada masalah?" Tanyaku penasaran.

"Ada yang mau dibicarakan Roy. Penting. Kamu bisa datang malam ini? Ba'da magrib?" Tegas Salwa.

Bola mataku bergerak ke kanan. Berpikir sebentar.

"Oke. Insyaallah saya datang ba'da magrib hari ini." Ucapku mengiyakan. "Saya harus datang sama siapa?" Lanjutku.

"Sendiri saja, Roy." Jawab Salwa pendek. Aku mengangguk setuju. Setelah aku menyepakati perjanjian tersebut, Salwa kemudian pamit undur diri.

Yang Salwa sebut 'bapak' ialah ayahnya yang pimpinan pondok pesantren. Aku sempat ikut program magang di pondok pesantren pimpinannya selama tiga bulan. Semua santri memanggilnya 'bapak'. Ia tak terlalu suka disapa "pak haji" atau "kyai". Menurutnya panggilan 'bapak' lebih terasa akrab dan memiliki ikatan emosional yang lebih kuat.

Malamnya, selepas solat magrib di masjid kampus, aku memenuhi janji untuk datang ke rumah Salwa. Aktivitas pondok di jam-jam ini terpusat di masjid. Semua santri berkumpul disana.

Bapak menyambut kedatanganku di teras rumah. Setelah mengucap salam, aku diajak duduk di ruang tamu sambil menyantap beberapa makanan ringan. Bapak tampak habis memimpin solat berjamaah di masjid. Kami berbincang-bincang ringan seputar perkembangan usaha kue keringku, aktivitas kampus, dan kegiatan santri di pondok.

"Sudah lulus, sudah punya bisnis, terus kapan nikah?" Bapak menyeringai.

"Belum ada yang mau, Pak," aku terkekeh.

Tak terasa adzan isya berkumandang. Bapak mengajakku solat isya berjamaah di masjid pondok. Sudah lama tak kuinjakkan kaki di masjid ini, rasanya banyak yang berubah. Masjid ini sudah direnovasi menjadi bangunan yang lebih indah. Desainnya tetap simple seperti dulu, tapi sang arsitek memberi sentuhan agar lebih elegan dan unik di beberapa bagian. Seperti ornamen ukiran kayu yang membentuk asmaul husna dipasang rapi mengelilingi dinding masjid bagian atas. Penyimpanan kitab-kitab juga tidak lagi menggunakan rak. Ruang di bawah anak tangga difungsikan sebagai lemari permanen yang dirancang sedemikian rupa untuk menyimpan kitab-kitab tersebut. Lantai kayunya tak berubah, hanya diganti beberapa bagian yang sudah rusak. Suasana masjid tetap sejuk meski dipenuhi jamaah solat karena pembuatan sirkulasi udara yang tepat.

Bapak memintaku menjadi imam solat. Awalnya kutolak secara halus dengan alasan banyak yang lebih pantas, namun bapak ngotot memintaku menjadi imam solat malam itu. Akhirnya aku mengalah. Malam itu aku mengimami ratusan jamaah solat isya yang sebagian besarnya merupakan santri di pondok pesantren bapak.

Selepas solat isya, bapak menepuk pundakku, memintaku tetap berada di masjid. Sambil duduk bersila, aku menggeser posisi dudukku. Sepertinya, pembicaraan yang sebenarnya baru dimulai. Perasaanku agak tegang. Bukan apa-apa, Bapak bukan tipe orang yang akan sembarangan memanggil orang lain untuk membicarakan hal yang tidak penting.

Setelah suasana masjid lebih lengang karena sebagian besar santri menyerbu dapur untuk melaksanakan jadwal makan malam, bapak memulai pembicaraan itu.

"Begini Nak, sengaja Bapak ingin ketemu kamu untuk mewakili seseorang," ujar bapak. "Dia adalah seorang santri, dan sedang belajar agama disini," lanjutnya.

Bapak diam sejenak. Menatapku yang semakin bingung.

"Ada beberapa pertanyaan yang ingin dia sampaikan pada kamu. Tapi dia malu untuk bertanya langsung." Bapak memperbaiki posisi duduknya.

Aku semakin tegang. Apakah yang dimaksud bapak adalah Salwa, anaknya sendiri? Ini jelas bukan perkara yang main-main. Sosok Salwa terlalu sempurna bagi lelaki mana pun. Aku bahkan tak sanggup bermimpi untuk mempersuntingnya.

"Roy, apa kamu bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur dan menuruti hati kecilmu?" Tanya Bapak tegas.

"Saya bersedia, Pak." Jawabku mantap. Meski jantung berdegup kencang, aku berusaha menutupinya. Ya Allah, beginikah rasanya menjalani ta'aruf? Ucap batinku.

Bapak mengajukan dua buah pertanyaan. Tapi keduanya tak boleh langsung kujawab. Pertanyaan pertama ialah berapa jumlah hafalan Quranku dan pertanyaan kedua adalah sudah adakah wanita yang mengisi hatiku saat ini.

"Kamu bisa menjawab pertanyaan tadi di depan santri saya Roy," Bapak kemudian melambaikan tangan. Memberi kode untuk seseorang. Mataku mengikuti gerak tangan bapak.

Ada yang datang mendekat. Seorang santriwati berpakaian gamis dan mengenakan jilbab sederhana menutupi dada. Ia ditemani Bubu Nyai, panggilan untuk ibunya Salwa. Tapi gadis itu bukan Salwa. Salwa selalu mengenakan niqab di luar rumahnya.

Aku menelan ludah, mataku tak mampu berkedip. Wajah itu sedikit tertunduk. Meski begitu, senyumnya tak bisa disembunyikan. Wajah yang amat kukenal. Wajah yang selalu membuatku mengingat untaian kalung salib di leher seseorang. Apakah benar itu dia?

***

Sekarang gadis itu sudah ada di hadapanku. Duduk selangkah di belakang Bapak berdampingan dengan Bubu Nyai. Tubuhku kaku, jantungku berdegup cepat, dan keringat mulai mengucur deras.

Inilah yang tak kusadari sejak awal.

"Sekarang kamu boleh menjawab pertanyaan tadi Roy." Bapak sedikit menggeser duduknya.

Ialah Karissa nama gadis itu. Perempuan yang dulu sering kuamati di kelas secara diam-diam. Ia pernah menjadi satu-satunya mahasiswi beragama Nasrani di kelas kami. Tak kusangkal jika aku menyukainya sejak dulu. Tapi kalungnya sungguh mengusik ketertarikan itu.

Malam ini ia duduk dihadapanku bersama Bapak dan Bubu Nyai. Tidak ada lagi kalung salib di lehernya. Ia lebih banyak tertunduk. Aku harus katakan ini, dia membuatku terpesona lagi. Setelah usahaku untuk melupakannya selama setahun belakangan, ia datang secara tak terduga. Dengan cara yang istimewa dan membawa iman yang sama.

Lidahku kaku. Membuatku terbata menjawab pertanyaannya.

Maha Suci Allah

***

Kalian tentu tahu apa yang selanjutnya terjadi. Haruskan kuceritakan? 😊

Tamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS