JODOH UNTUK ARROYA (Part 1)

Sudah seminggu ini kuamati gadis berkalung salib itu, simbol agama Nasrani yang setiap hari setia dipakai di lehernya. Ia dikelilingi kawan-kawan yang kebanyakan mengenakan pakaian longgar menutupi seluruh tubuh, kecuali wajah dan tangan. Gadis itu tak kelihatan tidak nyaman atau terganggu. Ia malah kelihatan sering berbincang dengan salah satu muslimah bercadar di dalam kelas. Sebuah pemandangan ganjil di mataku.

Ialah Karissa nama gadis itu. Perempuan yang sering kuamati di kelas secara diam-diam. Ia menjadi satu-satunya mahasiswi beragama Nasrani di kelas kami. Sejak perkenalan di semester awal ia menyedot perhatian teman-teman sekelas. Wajahnya rupawan, tubuhnya tak tinggi-tinggi amat, tapi ramping ideal. Rambutnya hitam legam, tak terlalu tipis atau tebal, juga tampilannya yang sederhana membuat beberapa teman lelaki berdecak. Aku amini jika ia mengagumkan dari segi fisik. Lelaki normal pasti akan bilang dia cantik dan menarik. Tak kusangkal jika aku juga menyukainya. Tapi kalungnya sungguh mengusik ketertarikan itu.

Karissa berteman baik dengan semua teman sekelas. Termasuk aku. Sampai semester empat ini semua berjalan baik. Ia bahkan sedang dekat dengan salah satu teman kami yang tadi kubilang bercadar. Entah apa yang sering dibicarakan dengan gadis bercadar itu. Rasanya aneh saja melihat kedekatan mereka. Kalung salib yang masih setia menjuntai di tengkuk lehernya sering bergerak-gerak ketika ia berbincang sambil memperagakan sesuatu.

Di semester enam, mata kuliah yang kami ambil mulai berpencar. Karena ada pembagian bidang konsentrasi jurusan, hampir separuh dari anggota kelas kami yang tak kami temui di beberapa mata kuliah tertentu. Entah beruntung atau apapun namanya, ternyata aku dan Karissa mengambil mata kuliah yang sama. Di beberapa tugas kelompok, aku dan Karissa juga ditempatkan di kelompok yang sama. Ia cukup menjaga jarak tubuhnya denganku. Jika tangannya tak sengaja menyenggol kulit tanganku ia refleks meminta maaf padaku. Ia juga yang sering mengingatkan waktu solat jika sedang berkumpul mengerjakan tugas kelompok.

Beberapa teman laki-laki yang memilih bidang konsentrasi berbeda denganku sering menanyakan kabar Karissa. Entah bercanda atau serius, mereka adalah para penggemar Karissa. Aku mulai khawatir kalau mereka benar-benar menyukai Karissa. Tapi sejauh ini kurasa mereka hanya bercanda.

Suatu hari Karissa mengirim pesan singkat padaku. Ia membutuhkan sebuah buku referensi tugas yang ada padaku. Kami janjian bertemu di depan Masjid kampus. Karissa setuju. Tepat jam 2.30 siang aku sudah berada di depan Masjid. Tapi Karissa tak terlihat batang hidungnya. Kuputuskan mengirim pesan singkat padanya.

Aku : Ris dimana? Sy udh di dpn msjd

Karissa : aku di selasar masjid roy

Dahiku berkerut. Ngapain ia masuk Masjid? Apa mungkin berteduh. Cuaca hari ini memang sedang terik. Mungkin ia kepanasan, makanya berteduh di selasar Masjid. Kulangkahkan kaki menuju selasar. Kuedarkan pandangan ke sekeliling selasar. Mudah bagiku menemukan bayangan gadis itu. Ia sedang duduk bersama seorang muslimah bercadar di salah satu pojok selasar yang dekat dengan pohon rindang. Salah satu pojok paling teduh dan sejuk. Karissa tersenyum melihatku datang mendekati mereka. Gadis bercadar di sampingnya bisa dipastikan adalah teman sekelas kami.

Namanya Salwa. Orang tuanya pimpinan salah satu pondok pesantren tersohor di kota ini. Salwa sejak masih di dalam kandungan sampai sekarang tinggal di lingkungan pondok. Ia juga sudah mengenakan cadar sejak duduk di bangku SMA. Ia adalah salah satu hafidzah terbaik yang dimiliki kota kami. Deretan prestasinya sejak kecil sebagai penghafal Al Quran membuat kami sebagai teman-teman sekampusnya berdecak kagum. Ia juga aktif dalam organisasi keislaman di kampus dan organisasi Islam di luar kampus.

Karissa mengucapkan terima kasih setelah menerima buku yang kusodorkan. Ia juga sempat menanyakan beberapa tugas yang belum dimengerti. Aku senang hati menjelaskan sebisaku. Entah apa ekspresi Salwa di balik cadarnya. Hanya matanya yang sesekali mengerjap dan mengangguk kecil tanda mengerti. Tampaknya penjelasanku juga ia butuhkan untuk materi pendalaman di mata kuliah konsentrasi yang ia ambil.

"Eh, dilanjutin abis kalian solat aja. Kamu kebagian adzan hari ini kan?" Karissa memotong penjelasanku.

Aku memeriksa jam tangan. Sudah pukul tiga lewat lima menit. Tiga menit lagi aku harus sudah siap di depan mic pengeras suara untuk mengumandangkan adzan ashar. Dengan wajah kikuk aku mengiyakan kalimat Karissa, lalu pamit dan berjalan menuju tempat wudhu laki-laki di bagian sayap kanan Masjid. Sebetulnya aku terkejut dengan kalimat Karissa barusan. Darimana ia tahu aku kebagian bertugas menjadi muadzin hari ini.

Usai solat ashar berjamaah, aku sengaja kembali ke pojok selasar tempat bertemu dengan Karissa sebelum solat. Karissa terlihat masih duduk disana sambil membaca buku. Salwa tidak bersamanya. Sepertinya ia sudah pergi lebih dahulu.

"Masih disini Ris?" Sapaku. Karissa terlihat agak kaget dengan kedatanganku. Ia langsung menoleh.

"Udah selesai? Eh, emang kalo orang Islam nggak boleh ngucapin salam ke orang non muslim ya Roy?" Tanya Karissa sambil membalik halaman buku yang dipegangnya.

Aku tercekat.

Agak kaget dengan pertanyaan semacam itu. Ditambah lagi Karissa adalah seorang Nasrani. Rasanya untuk menjawab pertanyaan tadi butuh mempersiapkan diri agar tidak salah ucap. Melihatku membeku, Karissa malah terkekeh.

"Roy, kenapa? Pertanyaanku aneh ya?" Ujarnya sambil menutup buku. "Kalo belum bisa jawab juga nggak apa-apa. Atau nanti aku tanya Salwa aja." Karissa tersenyum. "Bahas tugas aja gimana? Aku masih ada yang belum paham. Tadi sempat diakuai sama Salwa, tapi dia keburu ada urusan lagi di yayasannya. Jadi pergi duluan." Lanjutnya santai.

Aku lega. Tapi entah kenapa aku harus menemukan kalimat yang pas agar bisa menjawab pertanyaan Karissa tadi. Mungkin tidak hari ini. Toh Karissa tidak memintaku menjawabnya hari ini juga.

Sore itu Karissa sibuk mencatat beberapa penjelasanku mengenai tugas dan beberapa materi mata kuliah yang belum ia mengerti. Sebetulnya agak kurang nyaman mengingat Salwa sudah pergi lebih dahulu, sementara aku dan Karissa ngobrol berdua seperti ini. Meski aku mengatur jarak duduk sejauh mungkin dengan Karissa. Ekor mataku beberapa kali menangkap tatapan heran beberapa mahasiswa yang melihat kami tengah ngobrol seperti ini.

Tidak aneh jika mereka bisa jadi berasumsi macam-macam. Aku sejak duduk di bangku SMA adalah seorang pengurus Masjid ini menggantikan bapakku yang sudah tiada. Entah kenapa aku sangat menyukai Masjid ini. Masjid kampus ini benar-benar hidup karena aktivitas para mahasiswa yang tiada henti. Banyak kegiatan diskusi, bedah buku, kajian Al Quran dan penggalangan dana dilakukan disini. Setiap hari, kecuali hari libur. Aku sendiri awalnya hanya bertugas bersih-bersih, mengepel, menyapu, dan melap semua bagian Masjid, termasuk membersihkan toilet. Secara diam-diam aku juga sering nguping acara-acara kajian, bedah buku, dan kegiatan keagamaan lainnya. Ternyata salah satu pengurus DKM yang saat itu juga merupakan mahasiswa jurusan Teknik Industri mengajakku bergabung mengikuti kegiatan-kegiatan rutin Masjid. Aku mengikuti banyak pelatihan, termasuk pelatihan menjadi muadzin dan hafidz Quran.

Meski hafalanku belum tuntas sempurna sebanyak 30 juz seperti Salwa, aku telah dipercaya menjadi salah satu imam solat berjamaah di Masjid ini. Dari Masjid inilah aku bisa menamatkan sekolah menengah atasku. Dibantu teman-teman dari badan usaha kampus, aku juga diikut sertakan dalam pelatihan berdagang. Meski masih kecil-kecilan, dari usaha jualan inilah aku bisa melanjutkan kuliah di kampus ini.

Di depanku, Karissa sudah bersiap-siap pulang. Ia memasukkan semua alat tulisnya ke dalam tas, termasuk buku yang ia pinjam.

"Oke, makasih penjelasannya ya pak muadzin. Aku pulang dulu." Ucapnya ringan. Tangannya tak berhenti bergerak memasangkan ransel kecil di punggungnya. Kalung salibnya lagi-lagi menjuntai, bergerak mengikuti gerakan tubuhnya. Aku mengalihkan pandangan ke arah taman. Angin sore bertiup halus, langit juga sudah teduh. Karissa selalu tepat memilih cuaca untuk pulang. Perempuan yang kukagumi ini bahkan selamanya hanya akan jadi mimpi. Ia tak akan pernah menikah di dalam Masjid bukan?

"Aku duluan ya. Assalamualaikum." Pamitnya. Ia melangkah keluar selasar dengan riang.

"Wa'alaikum..." bibirku terkunci. Menahan doa yang kemudian kulanjutkan di dalam hati. Aku menelan ludah. Masih mematung di tempatku berdiri. Godaan macam apa lagi yang sedang kuhadapi ini?

Setengah berlari kudekati lemari penyimpanan Al Quran di ruang solat. Kupilih kitab manapun dan bersimpuh di pojokan. Tempat paling sepi. Kubuka halaman Al Quran secara acak. Kulantunkan sekuat batinku untuk mengusir bayangan Karissa. Ini sudah kesekian kalinya kulakukan untuk mengusir bayangannya, mungkin juga untuk membuang jauh perasaan kagum padanya. Gadis berkalung salib yang mengganggu batinku.

Bersambung...

Komentar

  1. keren mba Agil, ditunggu kelanjutannya. kok persis teman kampus aku ya hahaha

    BalasHapus
  2. Keren Mbak Agil... Ditunggu kelanjutannya.. 😀

    BalasHapus
  3. Keren...
    Penasaran bagaimana endingya

    BalasHapus
  4. Keren...
    Penasaran bagaimana endingya

    BalasHapus
  5. Wuih ini keren...
    Panjang tulisannya, tapi saya selesai membacanya sampai akhir tanpa merasa bahwa ternyata panjang...
    Bahasanya mengalir sih, jadi renyah aja dinikmatinya...

    Tetap semangat menulis...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS