BERHENTI BERHARAP
Oleh : Agil Uin
Cita-cita
bukan hal yang istimewa lagi bagi Gala. Mimpi-mimpi yang dibangun sejak belia
hanya menjadi angan-angan, lalu menguap. Senyap. Langkahnya mulai limbung kala
tamat SMA harus menggapai sebuah cita-cita yang bukan miliknya. Cita-cita dari
sebuah ambisi seorang ibu posesif. Gala tak ingin ingkar pada mimpinya, tapi
juga tak berani menentang seorang wanita yang telah bertaruh nyawa
melahirkannya.
Bahkan
percobaan kabur dari rumah tak membuat ibunya mengakhiri ambisi itu. Lagi pula,
Gala bukanlah tipikal anak nakal yang bisa melawan orang tua. Ia dibesarkan
untuk mendapatkan prestasi emas, sesuai dengan apa yang diharapkan orang
tuanya. Ia terkurung dalam kandang cita-cita yang membuatnya terpaksa menggugurkan
impian yang sesungguhnya. Gala, lelaki tegap dengan tubuh atletis itu,
kenyataannya menyimpan hati yang patah karena harus berjalan di atas kebanggaan
sang ibu yang menyiksanya. Tapi, toh
ia tetap melakukannya tanpa membantah atau mengeluh.
Ketika
pembicaraan ‘apa yang ingin dilakukan setelah lulus’ sedang ramai dibicarakan
teman-temannya, Gala hanya bisa menyimpan impian dalam kepala. Mengungkapkannya
hanya akan menimbulkan perasaan putus asa yang bisa menyergap batin kapan saja.
“Pokoknya
harus ikut tes masuk tentara! Titik!” kalimat terakhir ibunya di rumah sehari
sebelum upacara kelulusan di sekolah membuat Gala tak bergeming.
Bapak
yang duduk bersila di sebelah Gala hanya memandang sebentar, lalu beranjak ke
teras. Dari dapur, terdengar suara ibu yang masih berceloteh tentang hal-hal
baik tentang menjadi tentara. Masa depan yang cerah, pensiunan, rumah, sampai
potongan ongkos jika naik kendaraan umum. Gala hanya mendengarkan dengan kepala
tertunduk. Menelannya dengan hati yang merana.
Tak adakah kesempatan untuk
melakukan hal yang kuinginkan? Batinnya menyimpan
tanya.
***
Apa
pun yang diinginkan, tak pernah mengubah kenyataan bahwa seorang Gala harus
tetap menjalani rangkaian tes masuk tentara. Tak pernah ada kata setuju dari
bibir Gala, tapi raganya patuh menjalankan perintah sang ibu. Ia memenuhi semua
persyaratan administrasi pun fisik untuk pendaftaran itu. Hari-hari penantian
tes dilaluinya dengan tetap berlatih taekwondo. Menjaga fisik dan staminanya
tetap fit.
Sempat
Gala kehilangan asa dalam pikiran dan timbul keinginan untuk berontak. Tapi
urung. Ia sendiri tak mengerti apa yang membuatnya begitu pasrah menuruti
segala keinginan ibunya.
Taekwondo
satu-satunya yang bisa membuat Gala melampiaskan segala amarah yang digenggam
batin. Ia tetap seorang manusia yang harus melampiaskan perasaan terpendamnya.
Bukan robot yang tak dapat terganggu oleh kondisi dan tekanan apa pun.
Kadang-kadang tenaganya sampai habis untuk berlatih berbagai jurus dan gerakan
demi melampiaskan perasaannya.
**
Hari
pengumuman hasil tes tiba. Gala sangat bahagia karena ia dinyatakan gagal dalam
tes terakhir. Tapi senyum urung dikembangkan. Matanya menangkap rona kecewa
dalam wajah ibu. Tentu saja ia tak akan menunjukkan hal yang sebaliknya karena
sang ibu bisa marah padanya.
Gala
hanya menyimpan rasa senang di dalam hati. Tapi ternyata itu tak bertahan lama.
Ibunya selalu punya rencana lain untuk tetap menjadikannya seorang tentara.
Gala seharusnya tahu bahwa wanitanya memiliki sisi ambisius yang tajam. Ia bisa
melakukan rencana kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya jika rencana
pertamanya tidak berhasil. Namun Gala abai terhadap hal itu. Kebahagiaan atas
gagalnya ia di tes pertama hanya berlangsung sebentar.
“Jadi,
anak saya dijamin bisa masuk, ya kalau sudah transfer semuanya? Gimana? Nambah
sepuluh juta? Nggak bisa kurang, Pak? Yaa, Bapak, kan tahu kita juga ngeluarin
biaya bolak-balik ke Bandung? Kurangin lagi, lah, Pak. Itung-itung bantu kita…”
Sayup-sayup
percakapan ibunya dengan seseorang lewat telepon terdengar saat Gala baru
pulang dari tempat latihan taekwondo. Pembicaraan itu sama sekali tak asing baginya.
Mendengar itu, perasaannya kembali teriris sembilu. Kepalanya tiba-tiba pening
mengingat segala hal yang pernah dilakukan sang ibu pada dirinya. Matanya
terasa panas. Tapi ia memilih menyimpannya sendiri.
Pada
akhirnya Gala tak pernah memilih apa pun untuk hidupnya. Lelaki berbadan kekar
dengan tinggi tak kurang dari 178 sentimeter itu tak kuasa melawan apa yang
telah ditentukan ibunya. Apa pun alasannya, ia harus tetap menjadi seorang
tentara.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar