CINTA UMMI (Bagian 1)

Aku adalah ibu dari dua anak laki-laki. Si sulung bernama Bali dan si bungsu bernama Ezi. Mereka bukanlah anak kandungku. Bali dan Ezi punya masa lalu yang kelam karena ibu kandung mereka bukan ibu yang baik. Aku berani berkata demikian karena mereka sempat mengalami penyiksaan fisik dan psikis oleh ibu kandung mereka sendiri. Itu dilakukan saat ayah mereka sedang dinas keluar kota.

Perlakuan ibu mereka diketahui oleh seorang tetangga yang tengah mampir ke rumah membawa hantaran kue. Belum sempat mengetuk pintu, si tetangga mendengar suara jeritan Ezi dan melihat Ezi yang sedang di pukul dengan gagang sapu lewat jendela.

Dari sanalah perilaku ibunya terbongkar. Ayah Bali dan Ezi memutuskan bercerai dengan ibu mereka. Bali dan Ezi memilih ikut ayah mereka karena trauma. Saat itu Bali berusia sepuluh tahun dan Ezi tujuh tahun.

Setelah resmi bercerai, diketahui bahwa ibu Bali dan Ezi mengidap penyakit kejiwaan. Entah apa penyebabnya. Padahal ayah Bali dan Ezi adalah sosok yang baik dan menyenangkan. Tidak mungkin penyebabnya berasal dari sang suami.

Bali dan Ezi langsung mendapat perawatan dari psikolog dan dokter spesialis tumbuh kembang. Selama dua tahun mereka harus terapi untuk menyembuhkan luka batin yang dibuat oleh ibu kandung mereka sendiri.

Lima tahun kemudian ayah mereka bertemu denganku di sebuah seminar pengembangan diri yang diadakan salah satu komunitas di kota kami. Setelah berkenalan dalam acara itu, ayah Bali dan Ezi meminta izin untuk menemui orang tuaku dalam waktu dekat.

Perkenalan kami tidak memakan waktu yang lama. Enam bulan kemudian ayah Bali dan Ezi menikahiku. Aku resmi menyandang predikat ibu tiri.

Memang kurang enak didengar, tapi begitulah kenyataannya.

Biasanya awal-awal kehidupan pernikahan akan terasa manis. Tapi berbeda denganku. Bali dan Ezi sempat menolak keberadaanku. Rupanya mereka masih trauma memiliki seorang ibu.

Di rumah, aku berusaha menjadi orang paling menyenangkan supaya Bali dan Ezi bisa luluh hatinya. Setiap hari pula aku selalu bertanya semua hal yang mereka suka dan tidak suka pada suamiku. Sampai ia sempat protes, kenapa hanya anak-anak yang selalu aku perhatikan.

"Bang, aku ini sudah jadi ibu mereka. Sudah sepantasnya aku melakukan hal yang semua ibu lakukan pada anak-anaknya." Jawabku membela diri.

Suamiku tersenyum mendengar jawaban itu. "Berarti aku nggak salah menikahimu," ia mengusap sayang kepalaku.

"Abang gombal," aku mencubit perutnya. Suamiku tertawa.

***

Bali dan Ezi memang tidak melakukan tindakan penolakan terhadapku. Tapi sikap cuek dan tak acuh mereka adalah tanda bahwa aku masih belum diterima dalam kehidupan mereka. Aku tahu Bali dan Ezi tak suka dengan kehadiranku di rumah ini karena masih ada ketakutan dalam diri mereka pada sosok ibu.

Wajar saja. Siapa pula yang mau punya pengalaman menyakitkan seperti yang mereka alami. Aku yakin Bali dan Ezi tak secuek itu. Mereka adalah anak-anak yang baik. Hanya saja mereka harus menumbuhkan kepercayaan padaku. Itulah yang sedang aku usahakan saat ini.

Meski status ibu tiri sering dipandang sosok yang menakutkan di kalangan masyarakat umum, aku tak mau termakan asumsi umum yang salah. Sepertinya aku harus mengubah pespektif mengenai ibu tiri di luar sana.

***

Tiga bulan pertama tinggal di rumah ini, Bali dan Ezi tak banyak berinteraksi denganku. Kegiatan mereka di rumah lebih banyak dihabiskan di kamar masing-masing. Entah apa yang mereka lakukan. Tapi sepertinya tidak menunjukkan perilaku yang aneh atau mencurigakan.

Kuakui kalau aku sering penasaran pada aktivitas mereka. Setiap pagi saat mereka semua sekolah, aku membereskan kamar mereka sambil menelusuri isinya. Seperti pagi ini di kamar Bali. Setelah kubersihkan lantai dan tempat tidurnya, aku kembali melihat-lihat isi kamar ini. Di kamar Bali ada tiga benda yang menarik di mataku. Sebuah gitar, foto-foto dengan objek anak-anak, dan sebuah bantal kecil lusuh di pojok kasur.

Bali pasti bisa main gitar dan menyanyi. Ia mungkin ikut ekskul band atau seni musik di sekolahnya. Foto-foto dengan objek anak-anak itu bisa jadi hobi Bali yang lain. Mungkin ia suka memotret dan ikut komunitas fotografi di luar. Kalau bantal kecil lusuhnya itu, suamiku sudah pernah memberitahukanku kalau Bali tak bisa tidur tanpa bantal itu. Bantal itu pemberian dari tantenya yang tinggal di Padang saat Bali berusia dua tahun. Aku sudah diwanti-wanti agar tidak mencuci bantal kecil itu. Agak geli sebenarnya. Mengingat wajah Bali yang garang, ternyata ia punya sisi kekanak-kanakan.

Eh, apa itu? Ada sesuatu yang terselip di tumpukan majalah Bali di atas meja. Karena penasaran, kuambil benda itu. Selembar foto hitam putih lusuh, ada lipatan dimana-mana, juga ada bekas tetesan air.

Ya Allah, Bali...

Bersambung

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS