KARENA SAHABAT SEHARUSNYA…
Sumber gambar: pinterest.com |
Aku menatap wanita di hadapanku
dengan enggan. Pertemuan dengan Pim mengoyak kembali luka yang berusaha
kusembuhkan sendiri. Ingatan pada peristiwa sepuluh tahun lalu mendadak terasa
segar kembali. Rasa marah yang sudah kubuang ternyata masih tersisa, menempel
di serat-serat otot tubuhku, menyatu dalam daging, menjadi kasat rasa. Kini
saat menatap wanita ini di hadapanku, mereka mencair, memanaskan sendi,
mengalir dalam hati. Rasanya aku ingin menyemburkannya. Tapi urung, karena melihat
Pim mendatangiku sambil menangis tersedu.
Rumah tangganya dengan mantan
suamiku hancur. Bahkan kali ini mungkin lebih menyakitkan karena suaminya
berselingkuh dengan adiknya sendiri. Sungguh tragis. Tapi bukankah dia juga
pernah melakukan hal yang sama terhadapku.
Namun ada rasa tak tega menatap
Pim dengan keadaan carut-marut seperti ini. Penampilannya tak lagi sama saat
dulu ia selingkuh dengan suamiku. Fashion
item terbaru dengan tata rambut ala artis, dan parfum yang bisa terendus
meski raganya sudah berlalu itu sudah tak didapatkannya. Kini ia duduk di
hadapanku dengan pakaian seadanya, rambut lepek kuncir kuda, dan aroma detergen
bubuk biasa. Tak sedikit pun make up
yang menempel di wajahnya yang semakin memperlihatkan wajah kuyunya.
“Tolong beri aku pekerjaan, Tin.”
Ucapnya mengiba setelah mengisahkan permasalahannya.
“Aku sendiri tidak bekerja,
bagaimana bisa aku memberimu pekerjaan?” Sahutku dengan nada sinis.
“Bukankah suamimu yang sekarang
adalah bos di perusahaan besar? Masa tidak ada lowongan untukku meski hanya
sebagai tukang bersih-bersih?”
Aku tersentak. Pim betul-betul tak tahu malu. Aku
mendengus. Ingin aku mengusirnya saat itu juga. Tapi kutahan rasa kesal yang
hampir membuncah. Setelah menjadi perusak rumah tanggaku dengan suami pertama, kali
ini ia terlalu berani ingin membawa suamiku dalam masalahnya.
“Maaf, Pim. Aku sama sekali tidak
punya pekerjaan untukmu,” aku mengangkat bahu.
Pim tertunduk. Wajahnya kentara
sekali bahwa ia kecewa. Tiba-tiba ia mengusap matanya yang berair. Aku
pura-pura tak melihatnya. Antara iba dan rasa tak percaya pada Pim membuatku
gusar. Berada dalam posisi seperti ini bisa jadi adalah jebakan di lubang yang
sama, atau bisa juga bukan. Aku tidak bisa memercayai Pim untuk kedua kali,
tapi melihatnya kini nasibnya nelangsa sekali.
“Mungkin kamu bisa hubungi
teman-teman alumni SMA yang lain, Pim. Maaf, aku belum bisa membantu.” Ucapku
memecah keheningan.
Pim menatapku. Tatapan mengiba.
Sekali lagi, kualihkan pandanganku pada lukisan kupu-kupu di salah satu dinding.
“Apakah kamu masih marah, Tin?”
tanyanya sambil menahan isak.
“Untuk urusan apa?”
“Tentang Mas Farhan. Apa kamu
masih marah?”
“Tidak. Aku sudah
mengikhlaskannya, Pim. Dia memang bukan jodohku.” Jawabku diplomatis.
Lengang. Pim mengangguk pelan.
“Maafkan aku, Tin. Seharusnya
dulu aku tidak mengkhianatimu.” Kalimatnya memecah kesunyian. Aku tidak punya
ide untuk menanggapinya. Bibirku mengatup. Mataku hanya menatapnya sekilas. Aku
lebih tertarik menatap gedung-gedung pencakar
langit dari jendela besar apartemen di samping tempatku duduk.
“Tin.” Panggilnya. Aku memaksa
mataku untuk menatap wajah Pim yang sembap. “Maukah kamu memaafkan aku?”
tanyanya.
“Aku sudah melakukannya, Pim.
Kamu tidak perlu mempertanyakan itu.” Sergahku.
“Jika kamu sudah memaafkan aku,
seharusnya kamu bisa membantuku, Tin.” Kalimatnya setengah memaksa.
Aku menatap nanar ke arah Pim.
Perasaan kecewa menguar, memenuhi rongga dada. Mulutku terkunci. Kubiarkan
mataku yang bicara. Biar Pim membaca semua luka yang pernah ia torehkan tak
akan sepenuhnya hilang. Bahwa luka itu yang membuatku tak lagi memercayainya,
juga membawaku pada keterpurukan yang dalam. Sedang ia pernah bersenang-senang
di atas luka dan nyeri yang menyergap jiwaku. Aku harus pula berjalan tertatih
untuk menyembuhkan luka itu sendirian, mengikhlaskan segala yang terjadi, dan
merelakannya sebagai pengalaman untuk muhasabah diri.
Lambai tangan Pim sepuluh tahun silam kuanggap sebagai perpisahan
untuk selamanya. Aku bahkan tak berharap untuk bisa lagi menjumpainya. Biar Pim
juga belajar untuk tak lagi menganggapku sebagai sahabatnya. Karena sahabat
seharusnya membuat perasaan aman dan tentram.
#30DWC
#Day17
#OneDayOnePost
Geraaaam sekali.
BalasHapusItu terus kemana Farhan?
Keren ceritanya
Sahabat yang menusuk. Gregetan deh sama si pim
BalasHapusGreget deh, keren mbak ceritanya.
BalasHapusdasar si Pim!!
BalasHapusAh si Pim. Sahabat seharusnya membuat rasa aman dan tentram 😞
BalasHapus