DOA UNTUK MORA: PERTEMUAN KEMBALI

sumber gambar: www.hipwee.com


Mora duduk di kursi ruang tamu. Wajahnya memperlihatkan senyum – yang sebenarnya adalah caranya untuk menutupi kegelisahan – saat aku menatap tajam ke arahnya. Karena aku terlalu mengenalnya. Aku sudah lama meninggalkan rasa penasaran, amarah, dan rasa ditinggalkan seorang sahabat. Aku sudah meluruhkannya bersama doa-doa yang kupanjatkan kepada Tuhan. Aku tak pernah berharap bisa bertemu dengannya kembali. Aku menyerah. Hanya dalam doa aku membersamainya.

Tapi takdir berkata lain. Tiba-tiba hari itu ponselku berdering panjang. Ada nama Mora yang tertera di layar ponsel. Seketika jantungku berdegup cepat.

Ada apa?

Kugeser gambar bulat berwarna hijau ke sembarang arah setelah mematung beberapa detik.

“Assalamu’alaikum,” sambutku resah.

“Wa’alaikumsalam. Bisa bicara dengan Ami?” jawabnya lancar.

“Iya betul. Ini Ami.”

Hening.

“Hai, Mi. Ini Mora. Masih inget, kan?”

“Gimana caranya aku bisa lupa, Ra.” Sahutku dengan suara tercekat.

Mora tertawa di ujung telepon. Tapi langsung terhenti karena aku sama sekali tak membalas tawa itu. Tawanya seperti tawa orang bodoh yang getir. Orang bodoh yang sudah menghilang bertahun-tahun untuk menutupi rasa bersalahnya.

Akhirnya Mora datang ke rumahku. Rumahku bersama suami. Aku dan dia duduk berhadapan di kursi ruang tamu yang terasa panas.

“Jadi, kemana aja kamu selama ini, Ra?” tanyaku. Sebenarnya aku sudah tak ingin tahu. Aku hanya ingin menyimpannya dalam doa-doa. Tapi kenyataannya aku tak bisa menghindari untuk mengeluarkan pertanyaan itu.

Mora tersenyum, “ada di kota ini. Nggak ke mana-mana.” Jawabnya santai.

Atau pura-pura santai.

“Lalu?”

“Mmm… ya, maaf, Mi.”

“Untuk?”

“Ya, karna aku ngilang gitu aja. Tapi bukan bermaksud ngejauh, kok.” Wajahnya kelihatan gelisah. “Aku minder.” Lanjutnya dengan suara tercekat.

“Kenapa?”

“Karna belum lulus studi. Jadi… ya, gitu, deh,” ia terkekeh di akhir kalimatnya.

“Sebenernya aku udah nggak peduli, Ra.” Aku menatap Mora lekat-lekat. Matanya membulat mendengar penuturanku. “Aku nggak peduli kamu lulus atau nggak, jadi orang sukses atau nggak, kamu menghilang atau muncul. Aku nggak peduli. Semuanya udah aku ikhlaskan.” Lanjutku.

Mora menatapku dalam diamnya. “Karena selama ini, sebagai sahabat yang entah masih diakui atau nggak, aku cuma bisa mendoakan kamu.” Tuturku lagi.

Tatapan Mora berpindah ke lantai. Bibirnya terkatup. Aku lega sudah mengutarakannya. Ruang tamu lengang. Menyisakan kami berdua dalam diam. Diam-diam aku tersenyum. Bisa melihat Mora lagi dengan senyum riang serta keadaan yang sehat dan tidak kekurangan apa pun dalam dirinya adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Di depanku, jelas ada kesempatan untuk merajut persahabatan itu secara nyata kembali.

Mora, semangat, ya!



#30DWC
#Day16

#OneDayOnePost

Komentar

  1. semangaaat...!!
    sahabat "seburuk" apa pun dia, ttp menjadi org yg dirindukan..

    Gak ngerti sama ini, atw mngkn tdk efektif: "... rumahku. Rumahku bersama suami."

    BalasHapus
  2. Doa yang dipanjatkan tanpa diketahui oleh orang yang didoakan, insyaAlloh mustajab

    BalasHapus
  3. selalu ada kesempatan berubah jadi lebih baik, apalagi jika berkaitan dengan seseorang yang pernah sangat dekat...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS