BIDADARI SEKATI (PART 2)
Aloy tak butuh waktu lama untuk
berkenalan dengan gadis cantik itu. Dengan kepribadiannya yang mudah bergaul,
ia sudah berhasil membuat gadis itu mau berbincang dengannya. Diam-diam Aloy
juga memotret si gadis. Air wajah gadis itu cocok sekali dibingkai dalam
kameranya. Gerak bibir, kerling mata, dan gurat senyumnya membuat Aloy mudah
sekali mengagumi gadis yang baru dikenalnya. Gadis itu banyak bertanya tentang
tempat asal Aloy dan bujangan itu dengan senang hati menjelaskan lebih banyak
dari yang ditanyakan oleh si gadis.
“Kamu udah lama motret?” Tanya
gadis bernama Titi itu.
“Kalau full motret baru dua tahun belakangan ini. Sebelumnya cuma
sampingan, soalnya saya juga kerja di perusahaan swasta.” Jelas Aloy. “Sekati
bagus banget, ya.” Pujinya.
Titi tersenyum bangga.
“Kalo dijadiin destinasi wisata
bakalan bagus banget, nih.” Aloy bergumam sendiri.
Senyum Titi pudar. “Nggak semua
tempat di muka bumi ini bisa dieksploitasi. Termasuk tanah kami.” Terangnya.
“Tapi kehidupan masyarakat desa
bisa lebih baik, Ti.”
Titi mengerutkan alis. “Kami
semua baik-baik saja selama ratusan tahun. Apa kamu nggak bisa lihat?!” serunya
tegas.
Aloy terperanjat. Sepertinya ia
sudah menyinggung gadis di hadapannya. “Eh, maaf… maksudnya bukan gitu…”
Sayup-sayup terdengar Sera
memanggil nama Aloy. Aloy menoleh dan membalas panggilan itu.
“Satu hal yang harus kamu ingat,
Sekati bukan barang jualan.” Gadis itu menatap tajam mata Aloy. Seperti ada
sinar emas yang menggelayuti tatapan itu. Aloy seperti mengenali semburat
keemasan itu.
Kaki Titi kemudian bergerak
menjauhi Aloy. Dengan lincah ia melewati sungai
kecil dan berlari mendekati Hutan Seberang dan menghilang di kegelapan hutan.
Aloy mengernyitkan dahi. Sementara itu, tak lama kemudian Sera sudah berdiri di
dekat Aloy.
“Kenapa?” Sera menepuk pundak
Aloy.
“Eh, eng… nggak apa-apa,” Aloy
sedikit terkejut dengan tepukan di bahunya.
“Udah selesai? Kita harus
pulang.”
Aloy mengangguk, “oke.”
Keduanya lalu kembali ke rumah
inap. Sambil menyantap makan siang yang sudah lewat jamnya, Aloy menunjukkan
hasil jepretannya pada Sera.
“Gimana?” Tanya Aloy.
“Bagus, bagus,” Sera mengangguk.
Aloy tersenyum bangga
mendengarnya. Tangannya kemudian kembali menjamah makanan yang sudah tersaji di
atas meja.
“Kapan kamu pulang?”
“Rencana di agenda, sih besok.”
Jawab Aloy agak ragu. Ia ragu dengan rencana kepulangannya sendiri. “Kenapa?”
lanjutnya.
“Kapal untuk ke kota besar harus
disiapkan sehari sebelumnya. Jadi saya harus tau jadwal kepulanganmu.” Jawab
Sera. Aloy mengangguk-angguk.
Sera pamit pulang. Ia masih harus
mengerjakan beberapa tugas kampung. Sementara Aloy melihat-lihat lagi hasil
jepretannya. Tampak foto Titi muncul di display
kameranya. Sekejap percakapan dengan Titi berputar lagi dalam benaknya.
Gadis manis itu, di mana tinggalnya? Gumamnya dalam hati.
***
Matahari telah tergelincir ke peraduannya.
Aloy sudah selesai mencuci badan dan mengganti pakaian. Ia memutuskan untuk
berjalan-jalan di sekitar rumah inap. Pemandangan rumah penduduk di bawah bukit
yang kerlap-kerlip cukup menghibur. Aloy berdiri membelakangi rumah inap,
menatap langit malam yang penuh gemintang. Rasanya pemandangan seperti ini
langka sekali di kotanya. Udara yang bersih tersebab hutan dan pepohonan di
kawasan pemukiman sangat dijaga kelestariannya.
Tiba-tiba kalimat Titi di akhir
pertemuan terngiang dalam benaknya. Sekati
bukan barang jualan. Aloy menggigiti bibir. Tatapan tajam mata keemasan si
gadis misterius itu memenuhi ruang kepalanya. Keinginan untuk bertemu kembali
dengan Titi menggelayuti hatinya.
***
Matahari belum nampak, tapi Aloy
sudah lompat dari dipan sederhana di rumah inap Sekati. Malam tadi tekadnya
sudah bulat. Ia akan ke padang bunga, menemui Titi sepagi mungkin, lalu kembali
sebelum pukul sembilan. Dilihatnya jam tangan yang tergeletak di sebelah
bantal. Pukul empat. Tanpa piker panjang, Aloy melengkapi pakaiannya dengan
jaket untuk mengusir dinginnya pagi di Sekati. Kakinya sudah dibalut sepatu boot hitam andalannya.
Aloy melangkah keluar. Benar saja,
Sekati amat dingin sepagi ini. Ditambah rinai
hujan yang turun sejak malam, membuat udara semakin menggigit. Aloy tak perlu
bertanya dua kali ke mana jalan menuju padang bunga karena cukup pandai dalam hal
ingat-mengingat. Perjalanannya dengan Sera kemarin tidak melewati pemukiman
penduduk, mereka hanya melewati jalan setapak yang cukup sepi. Entah kenapa
jalur tersebut tidak pernah dilalui masyarakat.
Satu jam kemudian, Aloy sampai di
tempatnya melihat Air Terjun Bidadari Sekati kemarin. Tapi, hey, apa itu? Aloy terkesiap menatap kolam di bawah air
terjunnya. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya. Kolam Air Terjun Bidadari bercahaya
di tengah gelap seperti ini. Lalu, di sekitar kolam nampak perempuan-perempuan berpakaian
sutera dan bersinar. Sinar keemasan itu tidak hanya muncul dari kolam air
terjun, tetapi juga dari tubuh para wanita di sekitarnya. Seperti glow in the dark. Tapi, mana ada manusia
biasa yang bisa memancarkan cahaya seindah itu dari tubuhnya.
Sera berbohong tentang bidadari-bidadari itu. Mereka ada! Sial! Sial! Aku
nggak bawa kamera!
Dengan lensa kamera yang canggih,
ia akan bisa melihat keadaan di bawah sana lebih jelas tanpa harus turun ke
dasar air terjun. Demi mengabadikan pemandangan langka itu, Aloy berusaha
kembali ke rumah inap secepat mungkin. Ia tak peduli jalan setapak yang licin. Di
kepalanya ia hanya mau memotret. Bahkan bayangan tentang pertemuannya dengan
Titi buyar begitu saja. Tapi, belum sampai di rumah inap, kaki Aloy terantuk
akar. Membuatnya tergelincir dan jatuh berguling. Ia tersungkur di semak-semak,
menyisakan pelipis yang gores dan kepala yang bersimbah darah.
Bersambung…
#30DWC
#Day12
#OneDayOnePost
Keren, subhanallah... Lanjutkan. Makin seru. Jadikan novel!
BalasHapusKeren mbak Agil. sukak banget aku. bakal tak tunggu nih lanjutannya
BalasHapus