PALEMBANG: PERNIKAHAN DI TANJUNG KERANG

Minggu pagi itu gerimis mengguyur Palembang. Di luar, air sisa hujan dini hari masih masih menggenang setinggi mata kaki. Lorong Muawana sudah ramai dengan rombongan pengantin dari keluarga kami. Rombongan dibagi dua: rombongan akad nikah yang berangkat pukul enam dan rombongan resepsi yang berangkat pukul sembilan.

Seperti yang pernah saya bilang, Palembang selalu penuh kejutan bagi pendatang seperti saya. Lokasi acara pernikahan berada di desa Tanjung Kerang. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan hutan, kebun karet, padang rumput, dan pemukiman penduduk dengan rumah tradisional Sumatera Selatan. Rumah Panggung.

Di Palembang banyak rumah panggung yang sudah dimodifikasi menjadi rumah dengan dua lantai. Khususnya di pemukiman tengah kota. Biasanya 'kolong' atau bagian bawah rumah panggung difungsikan sebagai tempat duduk-duduk, kandang ternak, atau penyimpanan kayu bakar dan kendaraan. Saat ini bagian bawah dimodifikasi sebagai rumah, diberi dinding batu bata lengkap dengan pintu dan jendela. Tangga ke bagian atas yang terbuat dari kayu sudah banyak yang diganti dengan material semen dan batu bata. Biasanya hanya rumah bagian atas yang materialnya tidak diganti. Tetap menggunakan kayu untuk mempertahankan bentuk aslinya.

Pemukiman di pinggir kota atau perkampungan di desa seperti ini masih mempertahankan bentuk asli rumah panggung. Meski tidak sedikit yang sudah melakukan modifikasi. Mungkin hanya orang-orang taraf hidupnya sudah mampu yang melakukan itu atau karena anggota keluarga yang bertambah sehingga memerlukan tempat lebih luas dengan memanfaatkan bagian kolong rumah panggung. Saya tidak tahu persis.

Bisa melihat pemukiman dengan rumah panggung berjajar rapi di kedua sisi jalan membuat mata saya membulat. Pemandangan langka ini terus membuat saya mengagumi keindahan tanah kelahiran ibu mertua. Perjalanan hampir satu setengah jam dengan medan jalanan yang licin dan sempit tidak membuat saya gentar.

Pohon-pohon karet tumbuh rapi di setiap kebun. Pohon berdahan ramping ini sedang disadap. Ada guratan-guratan yang sengaja dibuat melingkar turun untuk mengalirkan getahnya. Di akhir guratan, tersedia batok kelapa yang dipasang untuk menampung getah karet. Proses ini sama persis seperti kebun karet di Jawa.

Kami mlewati hutan rimbun dengan pakis-pakis yang tumbuh tinggi di pinggir jalan. Tanah lembap membuat pakis tumbuh subur di area ini. Juga tanaman-tanaman liar yang tumbuh bersama pakis-pakis tadi. Membuat pandangan mata menjadi sejuk. Seekor kerbau kurus sedang berjalan pelan di tepi hutan. Sesekali mengendus-endus tanaman kecil yang menyentuh kakinya.

Lepas dari area hutan, ada padang rumput luas yang digunakan kawanan kerbau untuk mencari makan. Kawanan kerbau itu tidak ada penunggunya. Entah sengaja dibiarkan bebas saat merumput atau memang hidup liar di padang rumput tersebut.

Setelah puas dengan pemandangan alam yang jarang sekali saya temui di tempat asal, mobil kembali melewati area pemukiman. Ada pasar kalangan yang tumpah ke jalan, membuat kendaraan sulit melaju. Mobil harus melaju selambat mungkin untuk menghindari orang-orang yang lalu lalang disana.

Dua puluh menit setelah melewati pasar, mobil sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah panggung modifikasi yang merupakan rumah mempelai wanita sekaligus tempat berlangsungnya akad nikah. Saya masuk bagian atas rumah. Yang pertama kali terasa adalah hawa sejuk begitu memasuki rumah. Seluruh material bangunan terbuat dari kayu. Ternyata begini rasanya bagian dalam dari rumah panggung.

Di sana kami dipersilakan sarapan. Sepertinya menu khas orang Palembang. Saya tidak tahu apa namanya, ada telur rebus dengan bumbu saus padang, sambal terasi dengan potongan mangga, oseng buncis dengan bumbu yang belum pernah saya rasakan sebelumnya, juga lalapan; terong hijau bulat, terong ungu bulat, dan timun yang rasanya manis.

Semuanya terasa enak di lidah. Sayangnya saya tidak sempat bertanya lebih lanjut tentang menu makanan ini.

Setelah ramah tamah, seluruh keluarga besar kedua mempelai berpindah ke tempat resepsi pernikahan. Tempatnya tidak jauh dari rumah hajat. Di sana tempat itu disebut balai pertemuan warga. Jangan membayangkan bangunan balai pertemuan seperti pada umumnya apalagi aula. Balai pertemuan warga di sana berbentuk persegi besar dengan lantai semen yang satu sisi bagian belakang dibuat lebih tinggi dari bagian depan. Atapnya berupa genteng yang disusun serupa rumah biasa yang ditopang oleh kayu-kayu di setiap sudut dan sisi ruangan. Tidak ada dinding atau pembatas lainnya.

Uniknya, tempat pengantin dan hiburannya berada di satu panggung yang sama. Panggung besar seukuran panggung konser digunakan untuk kursi pengantin pada satu sisi, dan di sisi lainnya ditempati grup hiburan.

Di jalan depan lokasi berlangsungnya pesta pernikahan juga tidak ada janur atau tanda lainnya sebagai ciri atau penanda lokasi.

Karena tempat yang terbuka, ada beberapa pedagang yang akhirnya mangkal di sekitar lokasi. Berharap mendapat rejeki lebih dari acara pernikahan ini. Kehadiran hewan liar seperti anjing, kucing, dan kambing yang lalu lalang dengan bebas membuat saya agak terganggu. Ditambah dengan kandang-kandang ternak yang berada tak jauh dari lokasi membuat pemandangan dan aroma yang kurang sedap. Jujur saja, saya jadi tak selera makan.

Tapi melihat keramahan orang-orang sekitar yang mengetahui bahwa saya merupakan pendatang, membuat saya tak bisa menolak ajakan untuk mencicipi menu makanan hajatan khas Desa Tanjung Kerang. Sayangnya, belum sempat saya mengambil makanan di meja prasmanan, rombongan keluarga sudah harus pulang. Kabar yang disambut suka cita oleh beberapa anggota keluarga karena sudah tidak betah berada di lokasi pesta.

Kami kembali melewati jalur yang sama dan menempuh waktu yang sama. Perasaan lega menyusupi setelah sampai kembali ke Plaju.

Saya merebahkan diri di atas kasur lipat di rumah Uwak. Perjalanan ke Tanjung Kerang bukan perjalanan biasa. Bagian dari menyelami seluk Palembang yang indah, menikmati kekayaan alam dan adat setempat.

Komentar

  1. Palembang?
    Saya jadi membayangkan nuansa Sriwijaya dahulu. Kapan ya bisa plesir ke sana?
    Hhh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS