PALEMBANG: DARI AMPERA SAMPAI PERTEMUAN

Palembang akan jadi tuan rumah Asian Games 2018. Sepanjang perjalanan dari bandara sampai jembatan Ampera lalu hampir memasuki daerah Plaju, jalur MRT yang hampir jadi, berdiri megah di tengah jalur jalan raya, memisahkan lajur kanan dan kiri. Perbaikan jalan dan trotoar sedang dilakukan di mana-mana.

Mobil yang mengantar kami sampai ke Lorong Muawana pun sempat terjebak macet karena penyempitan jalur. Lalu lintas sore itu padat. Di tengah udara panas kota Palembang, dari mulut jembatan Ampera, sungai Musi begitu mempesona mata saya. Terbayang kisah masa lalu sungai yang berjasa menjadi jalur perdagangan utama. Kapal-kapal gagah yang dimiliki para pedagang pernah hilir mudik melewatinya. Ah, ini keren sekali!

Orang Palembang yang setiap hari melewati jembatan Ampera mungkin merasa perjalanan mereka di sana biasa saja. Tapi bagi saya, bisa melewati jembatan merah itu adalah pengalaman luar biasa. Jembatan yang dulu bisa diangkat bagian tengahnya sebagai akses agar kapal dengan tinggi maksimum 44,5 meter bisa lewat ini awalnya diberi nama jembatan Bung Karno yang dikukuhkan tahun 1965. Sebagai rasa terima kasih karena Soekarno - yang saat itu masih menjabat presiden RI - memperjuangkan pembangunan jembatan ini.

Tapi nama jembatan tersebut hanya bertahan sebentar. Ketika tahun 1966 terjadi pergolakan politik, gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan ini diganti menjadi Jembatan Ampera yang merupakan singkatan dari 'Amanat Penderitaan Rakyat'. Sempat ada wacana mengembalikan lagi nama jembatan ini ke awal. Namun rencana yang bergulir tahun 2002 ini ditentang pemerintah dan sebagian masyarakat. Makanya nama Ampera masih dipakai sebagai nama jembatan ini sampai sekarang.

Sejak tahun 1970, jembatan ini memberhentikan pengoperasian naik-turun bagian tengahnya karena dinilai mengganggu aktivitas lalu lintas di atas jembatan. Kalau kalian mau tahu, kegiatan menaik-turunkan bagian tengah jembatan ini bisa memakan waktu satu jam. Belum lagi menunggu kapal-kapal yang melewatinya, mungkin total waktu yang harus dikorbankan oleh pemakai lalu lintas di atas jembatan bisa sampai dua jam atau lebih. Kalau itu terjadi saat sekarang, terbayang sudah wajah-wajah kesal pengguna jalan yang harus membuang waktu untuk menunggu selama itu.

Dari atas jembatan Ampera terlihat aktivitas kapal-kapal kecil di atas sungai Musi. Jalur MRT yang bersebelahan dengan jembatan ini juga akan terlihat keren sekali ketika sudah jadi. Palembang sedang berbenah. Infrastruktur sedang ngebut dirampungkan untuk menyambut Asian Games. Itu kentara sekali di mata saya.

Mobil yang kami tumpangi berhenti di mulut sebuah jalan kecil. Sepupu yang memandu kami bilang bahwa jalan ke dalam pemukiman mengecil, kendaraan roda empat akan sulit jika masuk sampai pemukiman. Jalan inilah yang dinamakan Lorong Muawana. Di Palembang, istilah 'gang' atau jalan kecil disebut 'lorong'.

Karena mobil tidak dapat mengantar kami sampai tempat tujuan, kami melanjutkan dengan bentor - singkatan dari 'becak motor'. Bentuk becak di Palembang belum pernah saya lihat sebelumnya. Badan becaknya berukuran lebih pendek sehingga mudah dijangkau oleh kaki, bangkunya tegak sehingga duduk lebih nyaman. Becak di sini memiliki atap yang horizontal menjorok ke depan, sehingga penumpang yang bertubuh tinggi harus merunduk saat menaikinya. Karena atap becak ini berukuran satu jengkal lebih panjang dari pijakan kaki, membuat penumpang di dalamnya sulit melihat jalan di depan. Tapi dapat terlindungi di dalam becak ketika hujan turun.

Istimewa!

Bagi saya, perjalanan pertama kali ke Palembang membawa kejutan tersendiri.

Tempat yang kami tuju adalah rumah salah seorang Uwak. Di sana kami disambut hangat oleh beberapa saudara sepupu dan kakak-kakak dari ibu mertua saya. Rumah kecil itu ramai dengan obrolan berbahasa Palembang. Logat khas Palembang yang sulit saya jelaskan dalam tulisan ini.

Kami disuguhi mpek-mpek, kue basah berbahan ketan, kerupuk ikan, dan minuman dingin. Semuanya makanan khas Palembang. Tanpa banyak basa-basi, saya langsung mencicipi panganan yang tersedia.

Sambil menikmati panganan sore itu, kami berbincang tentang apa saja. Sambutan sederhana yang menggugah perasaan saya. Apalagi salah satu Uwak yang masih dalam masa penyembuhan karena penyakit stroke memaksa datang ke sana untuk menyambut kedatangan kami.

Namanya Ripno. Lelaki kurus itu manitikkan air mata ketika bertemu langsung dengan ibu mertua saya. Saya menjadi salah satu saksi pemandangan haru sore itu. Mungkin perasaan rindu yang lama melingkupinya tumpah sudah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS