PALEMBANG: AMPERA DI ANTARA HUJAN

Hari senin yang cerah diawali dengan sarapan laksa dan mpek-mpek. Makanan wajib jika ada tamu dari luar Palembang yang berkunjung.

Saat matahari mulai tinggi, saya sekeluarga mengunjungi rumah empat Uwak di sana. Kami dijamu makan siang paling lezat di salah satu rumah Uwak. Menu khas Sunda ala orang Palembang tersaji di atas meja makan kecil, ada sayur asem, gurame goreng, sambal terasi jeruk purut, tempe goreng, dan lalapan rebus. Perut yang lapar siap menampung menu makanan yang tersedia siang itu.

Usai mengunjungi beberapa rumah Uwak, kami bersiap mengunjungi Benteng yang terletak di samping bawah jembatan Ampera. Ba'da isya, kami sampai di tempat tujuan. Lapangan luas yang tepat berada di sisi sungai Musi ini dilapisi paving blok sehingga mudah bagi anak-anak untuk bergerak bebas. Di area tengah terdapat tulisan besar-besar berupa nama kota, dan di sebelah kanannya dengan jarak kurang lebih 200 meter terdapat patung ikan besar. Kata seorang sepupu, patung ikan itu baru selesai pembuatannya sekitar satu bulan yang lalu.

Di tepi lapangan yang berbatasan langsung dengan sungai terdapat tembok setinggi pinggang orang dewasa yang bisa digunakan sebagai tempat duduk. Dari sana, jembatan Ampera yang berhias lampu warna-warni terlihat indah. Sudut pandang yang pas untuk berfoto dengan latar belakang jembatan yang dulunya bernama jembatan Bung Karno.

Malam itu sedang banyak pengunjung. Meski hari kerja, tidak ada yang menolak menghabiskan malam di tepi sungai Musi dengan pemandangan jembatan bersejarah tersebut.

Sayang, angin kencang tiba-tiba saja merebut keasyikan pengunjung yang sedang berfoto, bermain, dan menikmati pemandangan. Setelah beberapa saat, hujan deras menyusul. Tanpa menunggu komando, saya langsung membawa si kecil menuju restoran yang berada di samping lapangan. Berteduh. Pengunjung lainnya melakukan hal yang sama. Tanpa sadar saya meninggalkan saudara-saudara lainnya di belakang saya. Beruntung tak lama kemudian mereka semua bisa bergabung dengan saya di teras restoran.

Tidak hanya pengunjung, pedagang-pedagang pikulan juga ikut berteduh di teras restoran. Selain berteduh, mereka masih berharap dapat rezeki di sela-sela hujan angin malam itu.

Lebih dari setengah jam kami berteduh. Di ujung restoran, saya masih bisa berfoto dengan latar jembatan Ampera yang lampu hias yang indah. Meski hujan angin menghantam kawasan itu, tidak mengurangi keindahan jembatan di malam hari.

Restoran makanan siap saji mendadak penuh pengunjung. Kebanyakan dari mereka yang berteduh, lama kelamaan lapar sekaligus membutuhkan tempat untuk duduk. Akhirnya memesan minuman dan makanan di sana. Memang benar, hujan selalu membawa rezeki. Keberkahan yang sering diabaikan oleh orang-orang.

Saya yang memang tidak lapar hanya membawa si kecil yang berada di dekapan berjalan-jalan di dalam restoran. Ia kelihatan sudah mengantuk karena berkali-kali mengucek mata, merengek dan menarik jilbab saya, ingin menyusu. Pegal juga karena seharian berkunjung ke sana-sini tanpa jeda.

Hal yang melegakan ialah saat akhirnya kami sepakat untuk pulang dengan taksi online. Setidaknya di rumah Uwak nanti bisa meluruskan kaki dan membiarkan si kecil tidur dengan nyaman di atas tempat tidur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS