TERIMA KASIH AFA!

Hujan turun deras saat tiba-tiba ada aliran darah yang keluar melewati kakiku. Aku yang terkejut lantas berteriak histeris memanggil suamiku. Ia tergopoh mendatangiku langsung mengerti apa yang sedang terjadi. Tubuhku langsung dipapah menuju garasi. Badanku tiba-tiba lemas. Dari dalam mobil, kulihat samar-samar suamiku menelepon seseorang. Setengah berlari ia masuk ke dalam mobil, tancap gas menuju rumah sakit terdekat.

Sepertinya aku tak sadarkan diri. Yang kuingat, terakhir kali aku melihat wajah suamiku yang terus berusaha bicara agar aku tak jatuh pingsan. Lalu semua gelap.

Perlahan-lahan cahaya masuk ke kornea mataku, membuat silau. Aku berusaha menghindari cahaya yang ternyata berasal dari lampu kamar. Tapi ini bukan kamar di rumah. Langit-langitnya berbeda. Mataku mengerjap. Badanku masih terasa lemas. Ada selang infus yang menancap di tangan kiriku. Aku pasti di rumah sakit.

Dimana Afa? Kenapa di saat seperti ini dia tak ada di dekatku? Gerutuku dalam hati. Karena tak bisa melakukan apa pun, aku hanya diam menunggu.

Beberapa saat kemudian pintu kamar dibuka seseorang. Afa! Aku senang dia datang. Tapi wajahnya kelihatan seperti habis menangis. Apa yang terjadi?

Afa tersenyum melihatku. Ia bergerak mendekatiku, duduk di samping ranjang.

"Apa yang sekarang dirasa?" Tanyanya lembut sambil membelai rambutku.

Aku menggeleng, "aku kenapa, Fa?". Afa diam sejenak, menghembuskan napas.

"Kamu pendarahan, terus pingsan," suara Afa terdengar berat, "kamu... keguguran..." lanjutnya terbata. Ada gumpalan bening memenuhi bingkai matanya.

Aku menggigiti bibir. Menahan air mata yang hendak tumpah. Tapi terlambat, tangisku pecah juga. Afa menggenggam jemariku semakin erat. Kami berdua tenggelam dalam isak tangis.

Malam ini hujan deras mengguyur kota. Ini malam kedua kami harus tidur di rumah sakit. Dokter menyarankan agar aku istirahat penuh di rumah sakit selama beberapa hari. Afa menemaniku.

"Kenapa harus kita yang ngalami, Fa?" Tanyaku lirih. Afa mengeratkan pelukannya. Nafasnya terasa menjalari leherku.

"Qodarullah, Ra." Jawabnya pendek. Suaranya sama pelan dengan suaraku.

Lengang. Ruangan ini menyisakan suara detik jam dinding.

"Mungkin apa yang Budemu bilang ada benarnya, Fa," aku menelan ludah, "weton kita nggak cocok, bakalan bawa petaka." Lanjutku dengan suara serak.

"Hush. Kamu ngomong apa sih, Ra," nada suara Afa terdengar tak setuju, "rejeki, jodoh, dan hidup mati manusia itu sudah ada yang ngatur." Tegasnya.

Aku terdiam. Mataku mulai lelah. Menangis berjam-jam sungguh menguras energi. Afa mengecup leherku.

"Tidur Ra. Jangan mikirin yang macem-macem." Bisiknya lembut. Kami lalu merapalkan doa sebelum tidur. Beberapa menit kemudian aku sudah terlelap.

***

Sepertinya hujan mengguyur kota sampai subuh tadi. Pagi ini matahari enggan menampakkan sinar hangatnya di langit kota kami. Hanya gumpalan awan mendung yang jadi pemandangan di atas sana.

Aku tak selera sarapan. Makanan rumah sakit terasa hambar di lidahku. Afa diam-diam menyelundupkan nasi uduk favoritku ke dalam kamar.

"Kejutan!" Afa muncul dengan dua bungkus nasi uduk di tangannya. Aku tersenyum kecut. Dia selalu bisa menghibur dalam situasi apa pun.

Nasi uduk pagi ini berhasil menggugah selera makanku yang hilang sejak kemarin. Afa dengan telaten menyuapiku sambil berceloteh. Aku lebih banyak mendengarkan.

Usai sarapan, Afa membantuku membersihkan badan dan mengganti pakaian. Satu jam kemudian ia pamit untuk mengurus beberapa hal di kantornya. Ia berjanji akan kembali dalam empat jam. Sebelum pergi, Afa menunjukkan beberapa novel yang dibawa dari rumah.

"Aku bawain ini supaya kamu nggak kesepian." Katanya tanpa ditanya.

"Kalo kesepian kan aku bisa whatsapp kamu." Jawabku sambil melipat tangan.

"Whatsapp apa?"

"Aku cinta kamu," candaku.

"Aku juga cinta kamu," balas Afa. Tawa kami berderai.

Afa menyeringai. Ia bergegas membereskan kertas-kertas kerjanya, lalu pamit. Kali ini Afa benar-benar pergi.

Ruangan lengang, menyisakan aku yang bosan. Aku menatap layar televisi tak berselera. Teringat peristiwa dua hari lalu yang membawaku ke tempat ini. Dokter yang menanganiku menjelaskan kalau penyebab pendarahan yang terjadi padaku adalah karena kelelahan. Memang sepele, tapi akibatnya sangat fatal seperti yang kualami. Begitulah yang Afa ceritakan padaku kemarin.

Satu jam kemudian seorang dokter bersama dua orang perawat jaga datang. Dokter menanyakan beberapa hal mengenai kondisiku. Ia juga mengucapkan belasungkawa karena janinku tak terselamatkan.

"Apa keguguran ini yang pertama kalinya, Bu?" Tanya dokter setelah memeriksaku.

Aku menggeleng, "ini yang ketiga, Dok." Jawabku getir.

Setelaj memberi nasihat untuk kesehatanku, dokter dan dua perawat tadi undur diri. Aku kembali sendiri di ruangan ini. Peristiwa keguguranku yang pertama dan kedua menimbulkan keributan kecil antara aku dan Afa. Kami yang sedang dirundung duka dan kecewa malah dipanas-panasi dengan pernyataan tidak bertanggung jawab dari pihak-pihak yang tak suka dengan pernikahan kami. Karena Afa berdarah biru, keturunan langsung salah satu sultan tersohor di Jawa Tengah, sedangkan aku hanya rakyat biasa. Ditambah lagi kami berbeda suku.

Bude Tin yang paling vokal. Ia berkali-kali menganggap hal itu disebabkan oleh weton kelahiran kami yang tidak cocok.

"Dari awal kan sudah aku bilang, wetonnya ndak cocok! Pernikahan mereka akan menimbulkan celaka bagi salah satunya, atau generasi selanjutnya." Ucap Bude Tin lantang.

Ia seperti tak peduli bagaimana perasaanku saat itu. Hatiku amat hancur mendengarnya. Keluarga yang seharusnya memberi dukungan, malah menyudutkan dengan pendapat yang sama sekali tak masuk akal.

Mengenangnya membuat mataku panas. Beberapa tetes air hangat berhasil lolos dari mata, mengganggu pandangan. Aku mengusap pipi. Seharusnya bukan itu yang ada di ingatanku sekarang. Kuhembuskan napas panjang sambil membuang pandangan ke luar jendela.

Di luar gerimis kembali mengguyur kota. Pikiranku kembali melayang. Tapi dengan kondisi seperti ini, kenapa Afa masih mempertahankan pernikahan kami? Apa dia tak bosan harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan keturunan? Tiba-tiba saja aku dilingkupi rasa bersalah sekaligus iba pada suamiku.

Penat sekali memikirkan hal-hal itu. Tanganku bergerak meraih novel di atas meja. Begitu membuka halaman secara acak, ada lipatan kertas yang jatuh dari salah satu halaman buku. Karena penasaran, kubuka lipatannya. Isinya tulisan tangan Afa.

Dear, Fara, istriku.

Kamu pasti sedang mengenang saat kita kehilangan janin di rahimmu, empat dan dua tahun yang lalu. Sekarang, saat kita kehilangan untuk yang ketiga kalinya, aku rasa Tuhan sedang menguji iman kita. Pasrahkan saja, Ra. Biarkan sedih itu menjadi penggugur dosa-dosa dan penguat doa-doa.

Apa kamu marah, Ra?

Aku marah, Ra. Marah pada kenyataan buruk ini. Tapi, Tuhan tidak sejahat itu, Ra. Tuhan masih membiarkan kamu tidur di sampingku, tersenyum menyambutku, menjadi penyemangat hidupku, dan masih tetap mencintaiku. Jadi untuk apa aku harus marah kalau Tuhan tetap menjadikan seorang Fara sebagai bidadariku.

Aku bahagia memilikimu. Tetaplah kuat dan bersyukur, Ra. Tetaplah berdoa. Tuhan tidak pernah tidur.

Yang mencintaimu, Rafa.

Aku tersenyum sambil menitikkan air mata setelah selesai membaca surat itu. Afa selalu penuh kejutan. Dia selalu punya cara untuk merengkuh hatiku, menguatkanku. Ah, sungguh malu rasanya sudah sempat berpikir untuk menyerah.

Aku kembali menatap ke luar jendela. Gerimis berhenti. Awan mendung berarak-arak pergi, membuat cahaya matahari leluasa menyinari sendi-sendi kehidupan kota. Senyumku mengembang. Kini ada banyak energi positif yang kembali memenuhi ruang-ruang perasaanku.

Terima kasih, Afa!

Komentar

  1. aishh aku jadi senyum-senyum sendiri hahaha

    BalasHapus
  2. "Kompor Gas!" Kata Pakde Indro.
    Alias Keren banget.

    Jika boleh menggarisbawahi: masih ada serangan KU/AKU terutama di paragrap 1. Seluruhnya udah nampol. Ide ceritanya menarik sekali. True story kah?

    Terus menulis yuk!

    (Heru Sang Mahadewa)
    Folback my blog:
    dloverheruwidayanto.blogspot.co.id

    BalasHapus
  3. Fix baper MasyaAllah tehh ๐Ÿ˜‚ cerpennya terbaik bikin ngerasa jadi si fara๐Ÿ˜‚

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS