CINTA UMMI (Bagian 2)

Apa Bali masih sedih setelah perceraian ayah dan ibunya? Batinku masih bertanya-tanya. Setelah melihat foto lusuh itu, aku merasa Bali masih menyimpan sebuah perasaan pada keutuhan keluarganya yang dulu. Mungkin rindu, atau perasaan semacam itu. Apakah Bali masih tidak dapat menerimaku karena itu?

"Ummi... Ummi," Bali menepuk pelan lenganku.

"Eh, eh, Kakak udah pulang? Kok nggak kedengeran salamnya?" Aku salah tingkah.

Bali mencium punggung tanganku. "Salam kok, Mi. Umminya aja yang ngelamun dari tadi." Jawabnya sambil terus berjalan menuju kamar.

Bibirku mengatup, memandangi punggung Bali yang menghilang di balik pintu kamar. Bali dan semua pemikirannya seperti tak bisa kugapai. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini.

Tanganku terus bergerak menyelesaikan pekerjaan di dapur. Tak lama kemudian Bali keluar dari kamarnya, memeriksa kulkas lalu membawa sesuatu ke dapur.

"Ummi," Bali menaruh sebuah bungkusan di atas meja dapur, "bisa ajarin bikin capcay udang?" Lanjutnya.

"Capcay? Kakak mau makan capcay? Ummi bikinin aja, nanti kakak tinggal makan. Mau pedes atau biasa? Pake kuah nggak?" Cerocosku.

"Bukan, Mi," potongnya. "Pokoknya ajarin aja, gimana caranya." Suara Bali sedikit meninggi.

Aku terperanjat. Tanganku berhenti bekerja. Beberapa detik kami berdua membisu. Otakku berusaha berpikir secepat mungkin untuk memperbaiki keadaan.

"Iya, Kak. Nan...ti... Ummi beresin dapurnya dulu supaya... enak belajarnya..." ucapku sambil mempercepat gerakan tangan.

Bali menungguku di meja makan sambil memakan cemilan manis yang baru kubeli kemarin. Kulirik Bali sekilas.

"Kakak suka cemilannya?" Tanyaku berusaha mencairkan suasana tegang tadi. Bali hanya mengangguk. "Kalo mau besok Ummi beliin lagi." Kataku riang. Bali mengangguk lagi. Sepertinya Bali hobi ngemil.

Setelah rapi, aku siapkan beberapa peralatan untuk mengajarkan Bali memasak. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Bali inginkan. Pikiranku hanya fokus untuk membantunya. Kuajak Bali kembali ke dapur. Bungkusan tadi rupanya berisi bahan-bahan untuk membuat capcay yang sudah disiapkan sejak kemarin.

Aku memberikan beberapa instruksi, kemudian Bali melakukannya dengan cukup baik. Seperti mengupas bawang, membersihkan daun bawang, dan mencuci sayuran lainnya. Bali melarangku membantunya, ia hanya mengijinkanku memberi contoh sebanyak tiga kali. Selebihnya ia akan lakukan sendiri.

Aku duduk di bangku bar yang ada di sisi dapur yang lain. Bali membelakangiku. Melihat punggung Bali, mengingatkanku pada foto lusuh itu lagi. Ah, Bali. Harusnya aku bisa lebih cepat mengambil hatimu supaya kau bisa menuangkan kesedihan padaku.

"Kakak, nanti kalau lulus mau kuliah dimana?" Tanyaku membuka obrolan. Bali diam beberapa detik. Seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Belum tau." Jawabnya singkat.

"Kira-kira mau ambil jurusan apa?" Aku kembali bertanya. Bali diam lagi beberapa detik.

"Kalo Bali nggak kepingin kuliah gimana?" Bali membalikkan badan. Tangannya masih memegang jagung muda yang baru setengah dipotong.

"Ya nggak gimana-gimana, Kak. Boleh-boleh aja kok." Jawabku riang. Aku rasa Bali pasti punya tujuan hidup yang berbeda dengan remaja seusianya.

"Serius, Mi?" Mata Bali membulat seakan tak percaya pada yang kukatakan barusan. Aku mengangguk cepat. "Tapi Ayah nggak akan ngijinin, Mi." Bali mengetuk-ngetukkan pisau ke potongan jagung yang ada di tangannya.

"Kalo gitu ngobrol, yuk," aku menegakkan tubuhku. "Kan, semua hal bisa dibicarakan baik-baik." Ujarku berusaha menenangkan hatinya.

Bali memandangiku, seperti sedang mencari sesuatu yang diharapkan dari sosok seorang ibu. Aku tersenyum sambil mendekatinya.

Kutepuk pundak Bali, "nanti kita ngobrol sama-sama. Utarakan apa proposal hidup Kakak ke Ayah. Supaya Ayah ngerti apa cita-cita Kakak."

Bali mengangguk. Kemudian melanjutkan pelajaran memasaknya. Pembicaraan kami tadi bisa menjadi jalan bagiku untuk masuk ke kehidupan Bali yang paling dalam.

Bali membereskan dapur sisa belajar masak hari itu. Aku sedang menyiapkan piring-piring di meja makan. Ezi pulang malam hari ini karena ada acara studi alam dari sekolahnya. Ayahnya yang akan menjemput Ezi ke sekolah langsung dari tempat kerja.

"Mi, udah Bali cuciin peralatan masaknya. Bali mandi dulu." Ucap Bali datar. Ia sudah membawa handuk di pundaknya.

"Kak," aku menahan langkah Bali, "Kakak serius soal nggak mau kuliah?" Tanyaku.

"Iya, Mi." Jawabnya cepat. Ia kemudian masuk kamar mandi.

Ternyata yang kuhadapi ini adalah lelaki yang akan memilih karirnya sendiri.

***

Malamnya, saat anak-anak sudah tidur, aku mulai membahas rencana Bali dengan suamiku. Awalnya ia menolak. Aku sudah memprediksi reaksi suamiku.

"Bang, jaman sekarang kuliah pun nggak menjamin masa depan seseorang jadi bagus. Abang nggak lihat berapa juta lulusan S1 cuma jadi pengangguran?" Sergahku saat suamiku menolak mentah-mentah rencana Bali.

"Memangnya dia mau ngapain kalau nggak kuliah?" Tanyanya.

Aku menggeleng, "aku belum tau Bang. Tapi kalau Bali punya proposal hidup yang bisa dipertanggung jawabkan, sudah seharusnya kita dukung." Kataku meyakinkan. Lengang beberapa saat.

"Adik membela Bali untuk mendapatkan hatinya?" Suamiku menyilangkan tangannya. Ucapannya barusan membuatku tertegun. Alasan itu setengah benar. Aku memang ingin dianggap ibu yang mengerti apa keinginan Bali. Tapi bukan berarti aku akan mengorbankan masa depannya.

"Kita bicarakan lagi besok, Bang. Aku ngantuk." Aku bergerak menyelimuti tubuhku. Suamiku diam. Beberapa saat kemudian ada usapan lembut di kepalaku. Kuakui kalau perasaanku tersinggung, tapi aku juga yakin suamiku tak bermaksud demikian. Di tengah kekalutan itu aku teringat kembali foto lusuh di kamar Bali.

Bersambung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS