CINTA UMMI (bagian 3)

Hari ini Bali pulang cepat. Ia punya jadwal khusus untuk konsultasi karir denganku. Aku mengosongkan meja makan, menyiapkan beberapa lembar kertas, pulpen, spidol, dan alat tulis lainnya. Bali terlihat takjub melihat meja makan kami berubah menjadi meja konsultasi karirnya.

Setelah mengganti pakaian dan makan siang bersama Bali, aku mulai memberi arahan untuk membuat proposal hidup. Dengan sedikit teknik wawancara yang kupelajari saat kuliah, aku berhasil mengorek informasi tentang aktifitas rutin dan hobi yang sedang ia tekuni.

Sesuai dugaanku, Bali mengikuti kegiatan komunitas fotografi yang anggotanya berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa di kota ini. Tapi dia tidak nge-band. Gitar di kamarnya hanya dimainkan untuk dirinya sendiri.

Obrolan kami lebih cair dibandingkan hari sebelumnya. Bali sudah bisa bercanda. Ada perasaan bahagia yang mengalir di lekuk-lekuk hatiku. Seperti tanah kering yang ditimpa ribuan tetes hujan.

Konsultasi karir Bali hari itu kami akhiri tepat pukul tiga lewat tiga puluh lima menit. Hari ini Bali berhasil membuat pemetaan tentang kelebihan dan kekurangan dirinya. Ia akan menempelkan hasil pemetaan itu di dinding kamarnya.

"Mi, konsulnya kapan lagi?" Tanya Bali sambil membereskan kertas-kertas dan alat tulis yang kami pakai.

"Sesuaikan jadwal Kakak aja. Ummi, sih, kapan aja bisa." Jawabku sambil menyusun kembali toples-toples kerupuk, abon, dan bawang goreng di atas meja.

Bali kelihatan setuju meski tak mengucapkannya. Stok kebahagiaanku tiba-tiba saja terisi penuh. Senyumku terus mengembang memenuhi sudut-sudut wajah yang mulai berkerut.

Tapi senyum itu berubah saat setengah jam kemudian Ezi pulang dengan keadaan yang berantakan. Bajunya kusut dan kotor. Begitu juga dengan wajahnya. Ada bekas tamparan dan cakaran yang samar di bagian pelipis dan pipinya.

Ya Allah... apa lagi ini?

Aku mendekati Ezi yang berdiri di depan pintu. Ia menatapku tajam. Entah apa artinya tatapan yang sedang ia hujamkan padaku.

"Ezi!" aku meremas bahunya, "kamu kenapa, Nak? Kok wajahmu begini?" Suaraku bergetar. Tanganku mencoba menelusuri luka-luka di wajahnya. Tapi Ezi menepis tanganku. Matanya sembap, wajahnya memerah.

"Aku benci Ummi!" Teriak Ezi. Ia berlari masuk ke dalam kamarnya.

Brak! Pintu dibanting. Lalu senyap.

Wajahku pias. Kebahagiaanku hari itu luruh seketika. Belum pernah aku diperlakukan demikian, apalagi oleh anakku sendiri. Apa salahku? Aku berusaha berpikir cepat, mencerna apa yang terjadi. Nihil. Otakku buntu.

Cairan panas dari mataku meleleh. Tak bisa kubendung. Aku masih berdiri di tempat dengan tubuh menggigil.

Bali yang baru selesai mandi menyaksikan peristiwa itu kemudian memapahku duduk di sofa. Ia mengambilkan segelas air mineral.

"Biar Bali yang ngomong sama Ezi, Mi." Ujar Bali setelah melihatku terus menangis.

Aku menggeleng kuat-kuat, "jangan Kak, please. Biar Ezi dinginkan pikirannya dulu." Kataku meyakinkan. Bali diam. Aku tahu dia setuju dengan apa yang kukatakan.

Setelah meminum beberapa teguk air yang disodorkan Bali, aku memutuskan untuk beranjak ke kamar. Siapa tahu akan lebih tenang berpikir disana.

Bersambung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS