CINTA UMMI (Bagian 4)

Tidak ada yang bisa kulakukan di dalam kamar. Aku resah memikirkan tiap jengkal perilaku Ezi tadi. Pikiranku buntu. Tapi setidaknya perasaan ini sudah kembali netral, lebih tenang. Dua puluh menit berlalu. Kuharap Ezi sudah lebih tenang saat aku menemuinya.

Aku bergerak meninggalkan kamar, mendekati pintu kamar Ezi. Ragu-ragu kuketuk pintu berpelitur cokelat itu. Tak ada jawaban. Sekali lagi. Tak ada jawaban.

"Ezi," panggilku pelan. Lagi-lagi tak ada jawaban.

Kupanggil namanya dua kali lagi. Senyap. Dengan mengumpulkan keberanian aku menekan gagang pintu kamar Ezi.

Clek. Tak dikunci.

Lampu kamar terang menyala. Di sudut kasur Ezi tengah meringkuk. Kepalanya tenggelam di balik bantal yang dipeluknya. Aku mendekati Ezi perlahan.

"Maaf, ya, Ummi masuk nggak ijin dulu." Kataku sambil duduk di sisi ranjang. Aku tahu Ezi terjaga, tapi ia tetap diam.

"Ezi kenapa marah sama Ummi? Ada yang nggak berkenan di hati Ezi?" Tanyaku kemudian. Ezi masih diam.

Aku memandangi tas Ezi yang disimpan sembarangan. Tas abu-abu yang sepertinya kumal. Ada sobekan yang ditambal asal. Eh, tapi ini bukan tas milik Ezi. Sekilas memang mirip, tapi setelah kuperhatikan, ini bukan tas Ezi. Tapi bukan itu poin yang ingin kubicarakan dengan Ezi saat ini.

Tiba-tiba tubuh Ezi bergerak. Matanya sembap. Wajahnya masih tak bersahabat. Aku memandanginya penuh tanya.

"Aku malu, Mi," kalimat itu meluncur pelan dari bibirnya. "Ummi bikinin aku bekal kayak anak perempuan." Sungut Ezi pelan.

Aku terhenyak. Kucerna kata-kata Ezi barusan. Jadi hanya karena masalah bekal? Batinku sebal.

"Ezi diejek?" Tanyaku kemudian. Ia mengangguk cepat. "Sama siapa?" Lanjutku.

"Wildan." Jawabnya. Kemudian ia bercerita kalau temannya itu memang sudah sering mengejeknya. Gemar sekali menyudutkannya karena ia anak broken home. Setelah tahu ayah Ezi menikah lagi, seperti mendapat umpan baru, ia kembali usil dengan sering bernyanyi lagu tentang ibu tiri.

Puncaknya siang tadi, saat Wildan tahu bentuk bekal makanan yang kubuatkan untuk Ezi sejak subuh. Aku mencoba membuatkan bento untuk Ezi supaya ia tak bosan melihat penampakan bekalnya yang begitu-begitu saja. Bekalnya kubuat berbentuk alien dan binatang. Seketika itu Wildan memberi tanggapan 'istimewa' yang membuat Ezi malu. Lalu dimulailah perkelahian itu.

"Aku kesel banget, Mi. Udah lama pengen jotos mulutnya." Tutur Ezi mengakhiri ceritanya.

Aku bergerak mendekati Ezi, "lalu kenapa Ezi bilang benci sama Ummi?" aku menelusuri kedua mata Ezi. Ezi terdiam. Aku tahu maksudnya. Ia tak sepenuh hati berkata seperti itu. Anak lelakiku yang bungsu ini hanya ingin mengutarakan kekesalannya.

"Maafin ya, Mi." Ucapnya tulus. Aku merentangkan tangan dan Ezi menyambutnya. Tidak ada yang harus disesalkan, semua hanya butuh penjelasan.

***

Setelah peristiwa itu, aku harus memenuhi panggilan dari kepala sekolah Ezi. Disana aku juga bertemu dengan orang tua Wildan yang ternyata pengusaha perbankan.

"Saya, selaku orang tua dari korban, merasa menyesal atas tindakan yang anak Ibu lakukan." Ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Aku diam saja. Hanya melirik sekilas. Niqab yang kukenakan membuat orang lain tak dapat melihat bagaimana ekspresi wajahku.

Tak lama kemudian, kepala sekolah datang tergopoh-gopoh.

"Maaf ibu-ibu, sudah membuat menunggu." Sapanya sambil duduk di salah satu sofa.

Sesuai standar peraturan sekolah, Ezi di skors selama tiga hari, terhitung sejak hari ini, karena membuat keributan di lingkungan sekolah. Sedangkan Wildan yang dianggap sebagai korban, tidak mendapat hukuman apa pun. Aku hanya mengiyakan apa yang sudah menjadi ketentuan sekolah. Tidak berusaha bernegosiasi.

Pertemuan itu hanya berlangsung 20 menit. Aku pamit undur diri lebih dulu. Dua meter dari pintu ruangan kepala sekolah, ibu Wildan memanggilku. Langkahku terhenti dan menoleh ke sumber suara.

"Anda ini nggak malu, Jeng? Pergi begitu saja tanpa minta maaf pada saya," celotehnya.

"Salah saya apa ya, Bu?" Tanyaku.

"Anak sampeyan itu bikin anak saya babak belur. Sampeyan pasti nggak bener ngedidik anak." Tuturnya berapi-api.

Aku menghembuskan napas. Ah, orang tua yang gila hormat, pantas saja anaknya suka sekali mengolok yang lain. Na'udzubillahi mindzalik. Aku beristighfar dalam hati.

"Baik, Bu. Saya minta maaf." aku bersiap melangkah.

"Kalau begitu tanggung jawab biaya pengobatan anak saya, dong." Ucapnya setengah membentak. Aku tahu arah pembicaraan itu. Bahkan Wildan sama sekali tidak dibawa ke dokter, pun ke mantri puskesmas. Biaya berobat apa yang dikeluarkan?

"Baik, saya akan bayar setelah Ibu memberikan kwitansi pengobatannya," aku merogoh tas. "Ini kartu nama saya, silakan hubungi saya jika ada keperluan yang lain." Tanganku kembali mengunci resleting tas.

"Ibu. Bagaimana pun anak saya akan menyelesaikan masalahnya dengan Wildan, bukan dengan orang tuanya." Tambahku tegas. "Permisi, Bu. Saya duluan. Assalamualaikum." Aku bergerak meninggalkan perempuan paruh baya itu. Ia diam saja setelah membaca kartu nama yang kuberikan.

Entah apa yang ada dalam pikirannya. Semoga saja ia menyesal sudah sedikit membentakku.

Bersambung...

Komentar

  1. Bagus mba tulisannya. Tapi bunyi clek, itu ko rasanya mengganggu ya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS