BARIDIN DAN BAPAKNYA RATMINAH


Di sebuah desa, tinggallah seorang pemuda bernama Baridin dengan ibunya yang seorang janda bernama Mbok Wangsih. Mereka tinggal di sebuah rumah reot. Tidak ada lagi harta yang mereka punya selain rumah reot itu. Baridin berkerja serabutan. Seringnya ia jadi pesuruh pemilik kebun atau sawah.

Pagi itu matahari sudah tinggi. Ayam sudah berhenti berkokok sejak beberapa jam yang lalu. Penduduk desa sudah keluar rumah untuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing. Tapi Baridin masih asyik mendengkur di atas dipan. Sementara Mbok Wangsih sejak tadi mengomel panjang karena anak semata wayangnya susah sekali dibangunkan.

"Baridin, susah sekali dibangunkan!" Omel Mbok Wangsih. Ia kembali mendekati Baridin, menggoyang-goyangkan bahu anaknya. "Din! Bangun! Katanya mau membajak sawahnya Mang Bunawas. Heh! Din!" Mbok Wangsih masih tidak menyerah.

Dibangunkan seperti itu, Baridin hanya menggeliat-geliat. Menaikkan kemul sarungnya sampai leher, lalu tidur lagi. Mbok Wangsih kesal bukan main, ia keluar meninggalkan Baridin sambil kembali mengomel.

Tak lama kemudian Mbok Wangsih tergopoh-gopoh masuk kembali ke dalam rumah. Kali ini ia yakin akan berhasil membangunkan Baridin.

"Din! Bangun! Ada Mang Bunawas! Cepat bangun!" Mbok Wangsih berteriak di dekat telinga Baridin.

Mendengar Mang Bunawas datang, mata Baridin langsung terbelalak. Ia panik. Tapi terlambat, Mang Bunawas sudah berdiri di mulut pintu. Ia kesal melihat Baridin yang masih berkemul sarung dan baru bangun.

"Din, bagaimana ini! Kamu jadi bajak sawah saya tidak? Sampai siang begini tidak datang juga." Bentak Mang Bunawas.

"Duh, maaf Mang. Kalau besok saja gimana?" Baridin memelas.

"Tidak bisa! Kamu, kan janjinya hari ini." Mang Bunawas galak.

"Tapi saya agak kurang Mang," Baridin meremas-remas sarungnya.

"Kurang apa?"

"Kurang tidur, Mang. Soalnya semalam habis nonton wayang." Jawab Baridin takut-takut.

"Ah, alasan saja kamu ini. Mau kerja nggak?" Mang Bunawas hampir habis kesabarannya.

"Eh, i... iya Mang. Ya sudah kalau begitu, saya kerjakan hari ini," Baridin turun dari dipan.

"Saya tunggu di sawah." Ujar Mang Bunawas sambil balik badan.

"Eh, Mang, sawahnya sebelah mana ya?" Tanya Baridin sebelum Mang Bunawas melewati mulut pintu.

"Di sebelah timurnya bukit, dekat kelurahan," jawab Mang Bunawas.

"Iya Mang. Nanti saya kesana." Ujar Baridin.

"Saya permisi, Mbok," Mang Bunawas mengangguk ke arah Mbok Wangsih. Mbok Wangsih tersenyum.

Setengah hati Baridin menyiapkan peralatannya. Matanya masih perih karena mengantuk. Tapi ia tak bisa melakukan apa-apa selain menuruti perintah Mang Bunawas.

Tak lama kemudian Baridin pamit pada Mbok Wangsih sekaligus minta doa restu.

"Mbok, isun pamit ya. Minta doanya supaya pekerjaan selesai tepat waktu," Baridin mencium punggung tangan ibunya.

"Iya, amin. Ati-ati ya, cung," Mbok Wangsih menatap kepergian Baridin penuh harap.

***

Di saat yang sama, seorang gadis cantik tengah berdiri di pinggir jalan. Ia kelihatan sedang merapalkan sesuatu. Sementara di kejauhan ada dua pemuda yang sedang memperhatikan gadis itu. Tanpa sadar dua pemuda tadi mendekati si gadis, berniat menggoda.

"Hai, cewek. Sendirian aja, nih. Boleh, dong kita temenin," pemuda berrambut cepak mengedipkan satu matanya.

"Eh, eh, beraninya godain saya! Kalian nggak tau, ya lagi berhadapan sama siapa?!" Ujar gadis itu galak.

"Waduh, wong'e ayu tapi galak, sih, nok," pemuda satunya yang berambut ikal membalas.

"Wadon galak kuh menggoda, coy," si rambut cepak menyergah cepat. Dua pemuda tadi tertawa.

Si gadis merasa terhimpit. Setengah takut ia berusaha membalas, "awas kalau kalian berani berbuat macam-macam! Saya ini Suratminah, anaknya Bapak Dam. Saya bisa laporin kalian ke Bapak!" ancam gadis itu.

Dua pemuda tadi tak gentar. Mereka tetap berusaha menggoda gadis yang mengaku bernama Suratminah. Tanpa disadari, datang Baridin.

"Punten, Kang. Arepan nakon, sawahe Mang Bunawas sebelan mana, ya?" Tanya Baridin tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Dua pemuda tadi menoleh.

"Sana terus aja sampe jembatan, terus ke kanan. Sebelah timur bukit, deket kelurahan." Jawab salah satu pemuda itu.

"Oh, ya Kang. Kesuwun," Baridin meninggalkan mereka, melanjutkan perjalanannya.

Saat Baridin pergi, dua pemuda tadi ternyata kehilangan mangsanya yang diam-diam meninggalkan mereka.

Menyesal menjawab pertanyaan Baridin, dua pemuda itu lantas pergi mencari mangsa baru.

Baridin belum menemukan sawah yang dicarinya. Di tengah jalan, tak sengaja ia berpapasan dengan Suratminah.

"Eh, Kang, kesuwun, ya tadi sudah nolongin saya." Kata Ratminah senang.

Baridin bingung, "saya nolong apa, ya?" Tanyanya polos.

"Tadi waktu saya digoda sama dua pemuda, terus Kakang dateng tanya sawah, saya diam-diam kabur." Jelasnya.

Baridin ingat. Lantas kemudian mereka berkenalan. Saat itulah timbul perasaan cinta Baridin pada Ratminah. Ratminah memang berparas cantik, tubuhnya montok, dan seksi. Lelaki mana pun akan tertarik dan jatuh hati pada Ratminah. Kembang desa ini adalah anak dari duda kaya raya, Bapak Dam.

***

Hari sudah sore ketika Mbok Wangsih mengangkat jemuran pakaian. Sambil celingukan mencari sosok Baridin yang sudah ditunggu sejak tadi.

"Baridin kok belum pulang juga, ya. Apa dia kena masalah?" Gumam Mbok Wangsih gusar. Tangannya terus menarik pakaian-pakaian yang sudah kering dari tiang jemuran.

Baru selesai menaruh ember berisi pakaian yang sudah kering di teras, Mang Bunawas terlihat buru-buru berjalan ke arahnya. Mbok Wangsih seketika merasa tak enak hati. Pasti ada yang tidak beres, tebaknya dalam hati.

"Mbok, Baridin ada?" Tanya Mang Bunawas begitu sampai di teras rumah Mbok Wangsih.

"Lho, tadi pagi sudah berangkat ke sawah," Mbok Wangsih menjawab dengan bingung.

"Ke sawah apanya, Mbok," Mang Bunawas duduk di bangku kusam. "Baridin tidak datang. Wis dienteni, sampai sekarang nggak kelihatan batang hidungnya." Lanjut Mang Bunawas sebal. Ia mengibas-ngibaskan topinya, gerah.

Wajah Mbok Wangsih kelihatan kesal. Ternyata anaknya membuat masalah seharian ini. Ia merasa tak enak hati pada Mang Bunawas yang sudah mempercayakan Baridin untuk mengurus sawahnya. Untuk mengurangi rasa tak enaknya, Mbok Wangsih mengambilkan segelas air putih dari teko untuk Mang Bunawas.

"Diminum dulu, Mang," Mbok Wangsih menyodorkan gelas pada Mang Bunawas.

"Suwun, Mbok. Pas pisan lagi haus," jawabnya, lalu menandaskan air di gelas itu dalam beberapa teguk saja.

"Tambah lagi, Mang?" Mbok Wangsih menawarkan.

"Bli, Mbok. Sampun, cukup," tangan Mang Bunawas menyerahkan gelas itu pada Mbok Wangsih.

Tak lama, yang ditunggu Mbok Wangsih datang. Baridin kelihatan takut-takut mendekati rumah reotnya karena Mang Bunawas ternyata ada disana. Dari kejauhan Baridin terlihat komat-kamit, merapal doa agar tak kena semprot Mang Bunawas.

"Heh, Din! Kemana saja? Ditunggu di sawah nggak muncul juga!" Pekik Mang Bunawas. Doa Baridin tak mempan, Mang Bunawas tetap mengomel.

"Duh, maaf... Mang... saya... tadi..." patah-patah Baridin mencoba menjawab.

"Tadi apa?" Mang Bunawas tak sabaran.

"Tadi saya sudah berangkat, Mang. Susah sekali mencari sawah Mamang, lalu di tengah jalan saya... dapat halangan..." jelas Baridin takut-takut.

"Halangan apa, Din?" Mbok Wangsih ikut bertanya. Penasaran.

"Pokoknya halangan yang tidak bisa saya lewati, berat sekali, Mbok," Baridin menggelengkan kepala.

"Ah, banyak alasan kamu, Din! Lalu gimana nasib sawah saya? Sawah di kanan, kiri, depan, belakang sudah digarap, cuma sawah saya yang belum diapa-apakan," kata Mang Bunawas ketus. Ia tak mau tahu lagi alasan Baridin.

"Maafkan saya, Mang. Bagaimana kalau besok saja. Pasti saya kerjakan. Besok langsung selesai," Baridin meminta kesempatan.

"Nggak usahlah, Din. Saya suruh orang lain saja. Kamu nggak becus kerja!" Mang Bunawas berdiri hendak meninggalkan rumah Baridin.

"Maafkan anak saya, ya, Mang." Mohon Mbok Wangsih.

"Sudah, saya pulang dulu. Suwun minumnya, Mbok." Mang Bunawas sama sekali tak peduli permintaan maaf dari Mbok Wangsih. Ia lalu berjalan meninggalkan rumah Baridin.

***

Malamnya di rumah Baridin.

"Kamu sebenarnya dapat halangan apa, sih, Din?" Tanya Mbok Wangsih.

"Halangan berat, Mbok. Nggak bisa saya lewati begitu saja." Jawab Baridin sambil selonjoran di dipan bambu.

"Iya, halangan berat apa?" Mbok Wangsih mulai tak sabaran.

"Baridin kenalan sama cewek, Mbok. Cantik, denok, ayu pisan, Mbok." Baridin senyum-senyum.

"Dadi halangane wong wadon," pekik Mbok Wangsih setengah tidak percaya.

Baridin menyeringai, "saya seneng, Mbok. Jatuh cinta sama cewek itu," lanjutnya.

"Siapa namanya?"

"Suratminah, Mbok. Sing paling ayu," Baridin menyebutkan nama itu dengan bangga.

Mbok Wangsih terperanjat, "Ratminah? Sing anake Bapak Dam?" Tanya Mbok Wangsih memastikan.

Baridin mengangguk yakin. Memang Ratminah yang itu yang dia temui tadi siang. Yang membuatnya jatuh cinta, sampai lupa bekerja.

"Saya pengen nikahin Ratminah, Mbok," mata Baridin penuh harap.

"Heh! Sadar, Din. Sadar!" Mbok Wangsih menepuk bahu Baridin. "Ratminah kuh wong sugih, Din. Bli bakal sudi Pak Dam nerima ira dadi mantue." Bujuk Mbok Wangsih.

"Pokoknya saya mau kawin sama Ratminah," kata Baridin berkeras.

Mbok Wangsih merasa kesal sekaligus iba pada anak semata wayangnya. Dengan kondisi yang miskin, mana mau Ratminah yang kaya raya itu menerima pinangan Baridin. Tapi Baridin ngotot. Lagi-lagi ia membujuk Mbok Wangsih untuk melamar anak orang kaya itu.

"Saya bunuh diri saja kalau si Mbok nggak mau melamarkan Ratminah untuk saya," ancam Baridin. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk masuk ke dapur.

Mbok Wangsih terpaksa mengalah. Urusan ini menyangkut perasaan Baridin yang sedang buta karena cintanya pada Ratminah. Mbok Wangsih akhirnya menuruti kehendak Baridin.

"Ya sudah nanti Mbok akan melamar Ratminah. Tapi kamu nggak usah berharap bakal diterima," ingat Mbok Wangsih.

Baridin mengangguk, ia senang karena akhirnya Mbok Wangsih mau menuruti keinginannya.

***

Besok paginya, Mbok Wangsih sudah keluar rumah. Ia menenteng singkong dari kebun kecil di belakang rumah sebagai hantaran untuk melamar Ratminah. Baridin menunggu di rumah.

Mbok Wangsih berjalan kaki ke rumah Ratminah. Sampai di depan rumah Ratminah, Mbok Wangsih mengucap salam. Beberapa kali tak ada yang membuka pintu. Setelah cukup lama menunggu, ada yang keluar dari dalam rumah. Itu Ratminah. Ia menyerahkan dua keping recehan dari tangannya.

"Eh, Nok, iki apa?" Mbok Wangsih bingung diberi uang koin.

"Lho, Mbok bukannya ngemis, tah?" Dahi Ratminah mengerut.

"Bukan, Nok. Bukan." Mbok Wangsih mengembalikan koin tadi. "Saya mau ketemu Pak Dam," lanjut Mbok Wangsih.

"Mbok dari mana? Bapak Dam nggak pernah kedatangan tamu pakai baju lusuh kayak si Mbok," Ratminah menatap Mbok Wangsih dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Mbok Wangsih menelan ludah. Ia tak bisa berkata-kata. Pakaiannya memang jauh dari bagus. Sudah kusam dan dekil. Lebih mirip lap dari pada baju.

Pak Dam keluar dari dalam rumah setelah Ratminah memanggil. Dahinya mengerut ketika menatap Mbok Wangsih di depan rumah.

"Ada apa, Mbok?" Tanya Pak Dam sambil berkacak pinggang.

"Anu, Pak, saya Mbok Wangsih. Mau melamar Ratminah untuk anak saya," ucap Mbok Wangsih takut-takut.

"Heh? Mbok nggak salah ngomong?" Pak Dam melotot. Ratminah yang bediri di belakangnya pun terkejut.

"Anak Mbok siapa namanya?" Tanya Ratminah.

"Baridin, Nok." Jawab Mbok Wangsih cepat.

"Baridin? Baridin sapa?" Pak Dam bingung.

"Oh, yang kemarin Ratminah ceritakan, Pak. Yang nolongin Ratminah, itu lho Pak," Ratminah maju selangkah.

"Mbok nggak salah mau ngelamar anake Bapak Dam sing sugih kayak begini?" Terdengar tawa di ujung kalimat Pak Dam. "Ngaca Mbok! Sing wong gedean bae akeh sing ditolak. Emang si Mbok duwe apa?" Ejek Pak Dam.

Ratminah kelihatan gusar. Ia menarik lengan bapaknya.

"Pak, tapi Kang Baridin baik, sudah nolongin saya." Bisiknya pada Pak Dam.

"Alah, kamu jangan ikut-ikutan. Mau baik, kek, tapi miskin! Kamu mau makan cinta?!" Suara Pak Dam menggema di langit-langit teras.

Mbok Wangsih tertunduk. Malu sekaligus marah sudah dihina sedemikian rupa oleh Pak Dam.

Sambil menahan air mata, Mbok Wangsih pulang. Ia tak tahan mendapat hinaan seperti itu.

Ketika sampai di rumah, marahnya sudah tak dapat ditahan. Ia menangis sejadi-jadinya. Baridin yang tadinya sumringah berubah bingung.

"Mbok, kenapa, Mbok?" Baridin mengusap punggung Mbok Wangsih.

Sambil terisak, Mbok Wangsih menceritakan kejadian di rumah Suratminah.

"Makanya, kamu jangan mimpi, Din! Ngaca! Ratminah bukan levelmu!" Mbok Wangsih menumpahkan kekesalannya. Baridin diam.

"Kenapa kamu sering nyusahin, Mbok kayak gini?" Mbok Wangsih meraung-raung. "Coba dipikir pake otak! Jangan cuma senang-senang yang ada di kepalamu! Kita ini miskin, Din! Miskin!" Mbok Wangsih menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Kerja aja yang bener! Jangan mimpi yang muluk-muluk," suara Mbok Wangsih perlahan merendah. Ia masih sesenggukan.

Baridin menundukkan kepala. Ia menyesal telah memaksa Mbok Wangsih melamar Ratminah. Perlahan kesadaran akan kehidupannya mulai terbuka. Ratminah memang hanya mimpi. Cintanya mungkin tak akan sampai.

Baridin kemudian bertekad akan membalas perlakuan Pak Dam pada ibunya. Entah bagaimana caranya. Keesokan harinya, Baridin sudah pamit bekerja bahkan sebelum matahari bersinar. Ia memohon pada Mang Bunawas menerimanya kembali mengurus sawah.

Baridin bekerja dengan giat dari pagi sampai malam. Apa pun bersedia dikerjakan. Diam-diam Baridin mengumpulkan sebagian hasil kerjanya dalam celengan.

Hasil tabungan yang ia kumpulkan kemudian dibelikan sepasang kambing untuk diternak. Baridin rajin merawat kedua kambing tersebut sampai akhirnya ia punya tiga ekor anak kambing.

Lima tahun berlalu. Ternak kambing Baridin mulai menampakkan hasil. Baridin mulai membuka usaha jual beli kambing di rumahnya.

Dari hasil jual beli kambing, sedikit demi sedikit ia kumpulkan guna merenovasi rumahnya, membelikan Mbok Wangsih pakaian, dan perabotan yang lebih bagus. Ia juga menyisihkan menyisihkan untuk ditabung dan sedekah. Kehidupan Baridin dan Mbok Wangsih berangsur membaik.

***

Sepuluh tahun kemudian Baridin berhasil menjadi juragan kambing potong dan kambing perah. Ia mempekerjakan belasan orang di peternakannya. Di rumahnya, ia memiliki seorang asisten rumah tangga supaya Mbok Wangsih tidak repot mengurus rumah sendirian.

Suatu hari Baridin mengajak Mbok Wangsih berkunjung ke sebuah tempat. Tempat itu bukan tempat asing bagi Mbok Wangsih, bahkan ia ingat betul kejadian pahit yang pernah dialami disana.

"Din, ngapain kamu bawa Mbok ke sini?" Mbok Wangsih protes.

"Mbok ikut saja. Ayo," Baridin menggandeng lengan ibunya. Ia lalu mengetuk pintu rumah itu.

Sesaat kemudian, seorang perempuan membukakan pintu untuk mereka. Itu Ratminah. Mata Ratminah membulat melihat siapa yang datang.

"Kang Baridin? Kamu Baridin, kan?" Suaranya bergetar. "Ini... Mbok Wangsih?" Ratminah mencium punggung tangan Mbok Wangsih yang masih kaget melihat reaksi Ratminah.

"Bapak Dam ada?" Baridin bertanya sopan.

"Ada. Sebentar, silakan duduk." Baridin dan Mbok Wangsih lalu duduk di kursi teras.

"Dulu dia kira Mbok ini pengemis, Din," Bisik Mbok Wangsih. Baridin tertawa. "Hari ini dia cium-cium tangan, Mbok," lanjutnya sambil mengusap-usap punggung tangannya.

Pak Dam keluar dengan raut wajah terkejutnya. Apa yang dia lihat bukan mimpi.

"Ada perlu apa kamu kemari, ehm, Din?" Pak Dam gugup. "Kalau kamu masih maksa mau ngawinin Ratminah, saya tetap akan menolak kamu, Din." Pak Dam menutupi rasa gusarnya.

Ia melirik motor yang terparkir di halaman rumahnya. Baridin tertawa.

"Kebetulan saya kesini hanya mau mengucapkan terima kasih karena pernah menolak lamaran dari Mbok Wangsih. Bapaklah yang membuat saya mau kerja siang malam supaya tidak ada lagi yang menghina ibu saya." Kalimat Baridin terhenti.

Wajah Pak Dam merah padam, tapi tak bisa berkata-kata.

"Ini ada oleh-oleh singkong dari kebun sendiri, habis panen kemarin," Baridin menyodorkan singkong yang dibawanya, kemudian pamit undur diri.

Sebelum Baridin dan Mbok Wangsih keluar dari teras rumah, Pak Dam menahan mereka.

"Saya... saya minta maaf, Mbok," Pak Dam tidak kuasa menahan malunya. Ia menunduk, menunggu jawaban Mbok Wangsih.

Mbok Wangsih tertegun, ia lalu menerima permintaan maaf Pak Dam dengan tulus.

"Ah, kita udah sama-sama tua, Pak. Nggak baik menyimpan dendam." Ujar Mbok Wangsih sambil menggandeng lengan Baridin.

"Tapi, Baridin tetap tidak akan saya restui bersanding dengan Ratminah, Mbok," ucap Pak Dam membuat wajah Mbok Wangsih berubah.

"Dih, sampeyan ge er temen, Pak. Kula wis ngelamaraken anake Ustad Hasan nggo Baridin! Baridin wis bli demen karo Ratminah, krungu bli?!" Kata Mbok Wangsih kesal. "Hayo, Din, pulang!" Mbok Wangsih ketus.

Baridin tertawa. Ternyata Pak Dam masih terobsesi menolak lamaran Baridin setelah kejadian lima belas tahun silam. Baridin tertawa sepanjang perjalanan, sementara Mbok Wangsih mengomel di belakangnya.

Komentar

  1. Mba agil, ini cerita jawa lah? Saya juga kawa, jawa tengah :D dapat cerita baru nih

    BalasHapus
  2. Dari cirebon mba rina. Judul aslinya Baridin dan Ratminah, cerita aslinya tentang kisah cinta yg bertepuk sebelah tangan dan unsur mistis cara ngasih pelet gitu..

    BalasHapus
  3. Wahh keren, aku bqru denger. Cerita aslinya gmn? Baridin santet si dia?

    BalasHapus
  4. Iya mas Tian. Baridin ngasih pelet ke Ratminah. Peletnya kena, Ratminah jd gila. Trus mereka berdua mati. Ratminah mati karna pelet, Baridin mati karna ngejalanin ritual peletnya.. hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS