CERITA CINTA DI SEKOLAH (episode 1)

#cerbung

Oleh: Agil Uin

Gerimis turun begitu saja meski matahari masih tersenyum di tengah-tengah awan kelabu. Hari masih terang. Kaki-kaki bersepatu Warior dan NB tiruan berduyun-duyun meninggalkan area luas sebuah sekolah swasta. Mereka akan berpencar begitu bertemu gerbang sekolah yang sudah dibuka lebar. Seorang satpam akan menyahuti setiap sapaan akrab remaja-remaja tanggung yang riang karena akan meninggalkan sekolah.

Tidak, tidak. Sekolah belum sepi. Masih ada sebagian siswa yang bertahan di bagian dalam area sekolah. Di kantin, di lapangan, di laboratorium, di kelas, di kantor guru, di Masjid, di ruang OSIS, atau di ruang-ruang klub. Lalu biasanya satu jam kemudian hanya akan menyisakan anggota klub yang sedang latihan. Hari itu giliran klub drum band yang sedang berlatih. Aku tengah asyik menikmati alunan musik yang dimainkan sambil menonton mereka melatih formasi barisan.

Awan kelabu masih menyelimuti langit. Tapi matahari masih bersinar. Sepertinya cuaca masih memihak matahari untuk tetap eksis di tengah mendung. Gerimis sudah reda sejak tadi.

"No, anter ngeprint, yuk," Intan menggamit lenganku.

Tanpa pikir panjang kuikuti langkah Intan menuju kios rental komputer yang melayani jasa cetak. Kami melewati sebuah labiratorium komputer sekolah yang masih ramai oleh siswa-siswa yang sedang numpang online. Sebagian berkedok mengerjakan tugas, padahal sedang asyik membuka Friendster dan Facebook. Intan menghentikan langkahnya di mulut pintu lab, membuatku ikut berhenti. Ia melongokkan kepalanya ke dalam ruangan. Di meja komputer paling depan seorang pria berusia 28 tahunan tengah duduk tenang mengawasi siswa yang sedang menggunakan komputer.

"Mas, printer boleh dipake nggak?" Intan setengah berteriak.

"Bayar," sahut lelaki tadi.

Intan terkekeh. Ia kemudian melepas sepatunya dan masuk ke lab. Aku tahu lelaki tadi. Guru honorer untuk mata pelajaran komputer di sekolah ini. Tapi dia tidak pernah mengajar di kelasku. Guru komputer di sekolah ini ada tiga. Semuanya masih muda, sehingga mudah akrab dengan siswa. Termasuk lelaki yang sering disapa Mas Ruli ini.

"Mas, ikut ngeprint, dong," pinta Intan.

"Ngeprint apa?" Tanya pria berkulit gelap itu.

"Tugas biologi,"

"Berwarna?"

"Iya,"

"Nggak bisa, Tan. Ini printernya cuma ada warna saya aja,"

Dahi Intan berkerut, "maksudnya?"

"Item!"

Tawa mereka pecah. Aku pun ikut tertawa.

"Eh, kamu, siapa namanya? Ngeledek, ya," Mas Ruli melotot pura-pura marah.

Aku masih terkekeh ketika Mas Ruli tersenyum lagi. Senyumnya manis. Giginya yang kekuningan karena setiap hari menghisap gulungan bernikotin terlihat berbaris rapi ketika menyeringai.

Intan masih berusaha membujuk Mas Ruli agar bersedia membiarkannya menggunakan printer lab. Tapi Mas Ruli tetap menolak dengan alasan tidak ada tinta berwarna selain warna hitam.

Intan akhirnya menyerah. Gadis berkulit putih itu mengajakku ke rental komputer di seberang sekolah.

"Hati-hati, ya nyebrangnya," ujar Mas Ruli.

"Iya, Mas," sahut Intan sambil melambaikan tangannya.

"Dih, GR kamu. Hati-hatinya buat temen kamu!" Tawa Mas Ruli menggema.

"Awas, ya!" Intan pura-pura kesal.

Aku terkekeh mendengarnya. Aku baru tahu kalau guru komputernya anak-anak IPA punya selera humor juga. Kupikir Mas Ruli tipe orang yang serius dan galak, nyatanya berbeda jauh. Karena selama ini aku tidak pernah melihatnya berkelakar dengan siswa.

Intan selesai mencetak tugasnya. Kami mampir ke warung es di pinggir jalan.

"Mas Ruli kalo di kelas kayak gitu juga?" Tanyaku penasaran.

"Jarang, sih. Lebih sering serius. Bercandanya kalau di luar kelas aja." Jawab Intan sambil memilih minuman dingin yang akan dibelinya.

Tidak ada lagi pembicaraan tentang Mas Ruli hari itu. Aku sendiri tidak tahu bahwa akan ada hari-hari istimewa yang kuhabiskan dengan pria jangkung itu.

Bersambung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS