SEKOLAH UNTUK ENJU
sumber gambar: jongosbola.wordpress.com |
Bocah kurus dengan sandal
kebesaran berlari-lari menembus gerimis di gang sempit. Sesekali hampir
bertabrakan dengan warga setempat. Ia melindungi kepala dengan topi hitam yang
sudah bladus dan lusuh. Sudah pasti
tak pernah dicuci. Kakinya berhenti di sebuah rumah berdinding retak-retak dan
terkelupas catnya. Bukan rumah paling jelek, karena hampir semua rumah di gang
itu memiliki kondisi yang sama mengenaskan dengan miliknya.
Enju, begitulah bocah kecil itu sering
dipanggil. Tidak berbeda dengan anak-anak lain, ia bersekolah di SD Inpres
dekat rumah. Kegiatan sehari-hari dihabiskan di sekolah dan di lorong gang. Bermain
kelereng, layangan, sampai sepak bola di sana. Mengganggu memang, tapi dimana
lagi mereka akan bermain? Lapangan bulutangkis kebanggaan mereka sudah
dijadikan rumah besar sejak tiga tahun lalu. Maka, lorong gang adalah tempat
satu-satunya untuk menyalurkan gairah kanak-kanak mereka.
Sebentar lagi Enju lulus SD. Di dekat
sekolahnya ada sebuah SMP swasta. Diam-diam Enju sering memandangi bangunan dua
lantai bercat biru langit dengan tatapan penuh harap. Sekolah itu adalah
sekolah idamannya. Seperti seorang lelaki yang kasmaran, Enju sering memimpikan
sekolah itu.
“Mak, Enju pengen lanjutin di SMP
yang deket sekolahan.” Ucap Enju suatu hari pada sang ibu. Ibunya hanya melirik
sekilas. Wajahnya resah membayangkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk
sekolah di sana.
“Lulus aja belom, udah
pengen-pengen aje, lu!” jawab sang ibu berlagak cuek. Padahal hatinya pedih
membayangkan jumlah uang di dompet yang tidak pernah cukup untuk biaya hidup
sehari-hari.
“Kata Bu Guru, cita-cita harus
setinggi langit, Mak.” Kilah Enju.
“Iye. Tapi kudu diukur tingginye.
Emang ke langit kagak pake duit!” sang ibu melangkah ke dapur lalu kembali
dengan plastik bening berisi gorengan pesanan. “Lu jaga rumah, Emak mau ke
rumah Bu Iha, nganter gorengan.”
Enju menatap punggung ibunya
hingga hilang di kelokan gang. Wajahnya muram mendengar jawaban sang ibu. Perasaannya berguncang seperti kena gempa. Harapannya untuk terus bersekolah mungkin sudah menemui
ajal. SMP idaman Enju masih menggelayuti isi kepalanya. Anak-anak yang sekolah
di sana mengenakan seragam jingga,
seperti warna seragam klub sepak bola kesayangannya. Enju sudah membayangkan
akan mengenakan seragam tersebut dan melangkah gagah memasuki gerbang SMP itu.
Tapi lamunannya langsung buyar
ketika sesuatu menggelitik ujung kakinya. Enju langsung memeriksanya. Seekor kecoa tengah berputar-putar di sekitar
kakinya, membuat Enju jengkel dan mengambil apa saja di dekatnya untuk memukul
kecoa tadi.
“Kecoa sableng!” sungutnya.
#30DWC
#Day9
#OneDayOnePost
ada rasa haru baca tulisan ini, hmmm .... Enju, sabar ya
BalasHapusEeehhh si enju bisa bilang sableng juga toh
BalasHapusBanyak Enju" lain d negeri ini
BalasHapusSedih pasti kalau di posisi Enju
BalasHapusSedih
BalasHapus