CELOTEH KUCING KAMPUNG : KEKERINGAN DI DESA
Sumber Gambar : Ilustrasi kucing hitam Shutterstock.com/Olga Selyutina |
Anjing sialan!
Siang terik begini malah tidur-tiduran di bawah saung bambu
tempatku bersantai. Sebal sekali aku melihatnya dengan lidah yang sedikit
terjulur dan berliur. Ia pasti habis pesta. Wajahnya menandakan kemenangan yang
membuat perutnya kenyang. Lihat saja perutnya yang sedikit mencuat tanda
terisi.
Tapi paling tidak, aku aman untuk sementara ini. Karena dia
tak akan menjadikanku bahan terkaman jika sedang kenyang. Kakiku melangkah
menjauhi tempat itu.
"Lebih baik tak berurusan dengan si Anjing pitak."
Gumamku.
Udara panas siang itu terasa pengap. Mungkin aku harus
menuju pohon beringin kering di ujung jalan. Paling tidak dahan besar dan
ranting-rantingnya bisa melindungiku dari sengatan matahari. Sudah satu tahun
ini matahari terasa ada lima di atas
kepala. Panasnya seperti di neraka.
Pohon Beringin yang masih muda ini mendadak layu seiring
musim kemarau panjang yang menimpa desa. Dulunya aku betah sekali berlindung
dalam naungannya. Tapi kini ia bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri
dari kekeringan.
"Hai, Pohon." Sapaku saat melihat si pohon.
"Hai, Cing" Jawabnya lesu.
"Bolehkah aku berteduh sebentar?"
"Ya, tentu saja." Katanya dengan wajah sedih.
"Tapi bukankah aku tidak punya daun-daun lagi. Bagaimana kau bisa
berteduh?" Lanjutnya.
Aku tersenyum. "Kau bisa merapatkan ranting-rantingmu,
kan? Itu akan membuatku bisa bernaung di sini," tanganku menunjuk ke tanah
dinawahnya.
Pohon Beringin menggeleng. "Ranting-rantingku sudah
tidak lentur lagi karena kekurangan air." Keluhnya.
Aku coba memakluminya. Kemarau membuatnya kering dan lesu.
Meski sekarang membuatku bingung harus berteduh di mana lagi.
"Maaf aku tidak bisa membantumu," kataku sambil
beringsut menjauhi Pohon Beringin. Ia terlihat begitu sedih.
Kemarau membuat kehidupan di desa ini jadi tak menyenangkan.
Semua terlihat gersang. Tidak ada lagi pemandangan indah yang menyejukkan mata.
Binatang-binatang saling berebut makanan. Hewan yang lemah menjadi sasaran
empuk perburuan, baik oleh manusia pun hewan buas. Pohon-pohon juga mengering,
menyisakan dahan dan ranting-ranting yang kusam dan rapuh. Masih untung mereka
tak berselera memakan daging kucing. Apalagi kucing kurus dan kotor macam aku. Hehehe…
Aku merindukan suasana desa yang penuh semangat dan gairah
kerja masyarakat yang tinggi. Mereka hidup di bawah pemimpin yang bijaksana.
Namun, kejayaan tak pernah berlangsung lama. Pemimpin desa tergiur harta yang
besar dari usaha haram. Membawa rakyatnya untuk ikut serta. Satu per satu kehidupan
rakyat mulai kaya, bergelimang harta. Tapi penyakit hati pun merajalela. Iri,
dengki, sombong, dan takabur menjadi hal yang lumrah.
Sejak kekeringan melanda, masyarakat cenderung pasrah dan
kehilangan semangat. Harta mereka habis hanya untuk memiliki setetes air. Lalu setelah
kebendaan yang mereka kumpulkan tidak bisa mengembalikan kebaikan Tuhan, tak
sedikit dari mereka yang sakit – diantaranya mati karena sakit betulan dan
sebagian menjadi pesakitan. Mereka menyerah pada keadaan. Tak jarang aku mendapati
mereka berebut hasil buruan, atau kiriman air minum dari wilayah lain.
Menunjukkan jati diri kebinatangan dalam dirinya.
Aku tercenung. Mungkin ini saatnya aku pergi ke daerah lain.
Mencari harapan hidup di desa yang lebih bersyukur pada karunia Tuhan. Empat
kaki kecilku melangkah ke utara. Paling tidak aku berusaha agar tak kehilangan
harapan seperti manusia-manusia itu.
Maha Suci Tuhan Dengan
Segala KaruniaNya
#30DWC
#Day5
#OneDayOnePost
Makin keren tulisannya mba agil. Aku suka, ngikutin cara uncle, crita ttg hewan yg tersampul. Amanahnya juga sampai. lanjutkan mba 👌
BalasHapusMantap idenya
BalasHapusKeren nih tulisan mbak Agil
BalasHapuskeren, sukaaa :)
BalasHapussumpah keren mbeut mbak :D
BalasHapusSukaaa..
BalasHapusMbak Agil semakin melejit..