NGUPING
Kopi tubruk hitam dan gula kuning
di dalam cangkir seng sudah siap diseduh oleh tangan keriput di sebelahku.
Mulut si tangan keriput itu sibuk komat-kamit merapalkan kalimat tahmid,
takbir, dan tasbih. Pangilannya Mbah Jaran. Air panas dari teko tua miliknya
sudah meluncurkan isinya, menundukkan gula kuning yang akhirnya larut
perlahan-lahan. Aroma kopi menguar ke seluruh penjuru warung kecil milik Mbah
Jaran. Aku asyik memandangi asap yang mengepul dari dalam cangkir. Membiarkan
pemandangan itu terhalang sejenak oleh tangan Mbah Jaran yang mengaduk-aduk
isinya.
Sumber gambar: pinterest.com |
“Mbah, minta singkong godok,” seorang pengunjung di meja
tengah mengacungkan tangannya. Mbah Jaran hanya menoleh sebentar, mengangguk,
lalu bergerak melakukan permintaan pengunjung tersebut.
“Bener, kok. Aku ndelok dewe.” Lelaki yang minta diambilkan singkong rebus tadi melanjutkan
obrolan dengan kawannya.
“Katanya enam orang?” kawannya menimpali. Mereka kemudian terlibat
percakapan seputar peristiwa kesurupan
masal di sebuah sekolah.
Mbah Jaran cukup pendiam. Meski
bisa bicara, ia lebih sering menggunakan bahasa tubuh saat menjawab permintaan
para pelanggan. Sikapnya cukup menyita perhatianku. Mbah Jaran ini unik
sekaligus misterius.
Tak berapa lama seorang pria
berpakaian perlente memasuki warung Mbah Jaran dan dalam sekejap menjadi pusat
perhatian semua pengunjung – aku di meja dekat dinding dan dua orang di meja
tengah – yang sedang menikmati sarapan. Ia melepas kacamata hitam yang tampak
kurang cocok dengan suasana pagi yang berkabut. Mbah Jaran kelihatan biasa saja
melihat pria berpenampilan mencolok itu. Wajah pria tadi menatap Mbah Jaran
dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia duduk di bangku kosong.
“Halo,” sapanya sambil
menyeringai, memperlihatkan giginya yang gingsul. Tangannya menepuk pundak
kedua lelaki yang duduk di meja tengah. Keduanya terlihat sungkan pada pria
perlente itu.
Mbah Jaran mendelik. “Masuk.”
Mbah Jaran memberi isyarat agar pria tadi masuk ke dalam rumah.
Dengan langkah santai ia
mengikuti Mbah Jaran lewat pintu samping. Sementara aku bengong menatap
kepergian Mbah Jaran dan pria muda tadi. Dua laki-laki di meja tengah
berbisik-bisik. Sepertinya membicarakan si pria perlente.
Aku memilih kembali menikmati
kopi yang sudah mulai hangat dan irisan pisang goreng. Meski di dalam pikiranku
banyak pertanyaan tentang siapa laki-laki perlente itu, apa hubungannya dengan
Mbah Jaran. Sepertinya ada hubungan yang dekat sampai-sampai Mbah Jaran
mengajaknya masuk ke dalam rumah sederhananya.
Sayup-sayup terdengar percakapan dari
ruang sebelah. Aku yang duduk di samping dinding papan yang menyekat warung
dengan ruangan tempat mereka bicara membuatku leluasa menguping pembicaraan.
“Ayolah, Pak. Mau sampai kapan
Bapak tinggal di sini? Rumahku luwih apik,
Pak. Lebih layak untuk kita.”
“Bapak di sini saja, Le.” Suara serak Mbah Jaran terdengar
tenang.
“Sampai kapan?” suara pria
perlente meninggi.
“Bapak ndak mau menyusahkanmu.”
Terdengar desahan napas berat
dari pria perlente. Ia kecewa. “Bapak ndak
seneng kalo aku kaya?” tanyanya
dengan nada lebih rendah.
“Kaya atau mlarat, kamu tetep anakku, Le.”
“Kalo Ibuk masih ada, mesti Bapak mau ikut demi kesehatan Ibuk.”
Hening.
Tak lama kemudian terdengar
langkah kaki keluar dari dalam rumah melewati warung. Pria perlente tadi sudah
mengenakan kacamata hitamnya sambil memutar-mutar kunci mobil dengan jari
telunjuknya. Wajahnya terlihat santai. Tidak ada sisa-sisa kecewa seperti kalimatnya
yang terakhir. Mbah Jaran mengikuti di belakangnya.
“Kayaknya warung ini harus
dirubuhkan, Pak, supaya ndak ada lagi
pemalas-pemalas yang kerjanya cuma ngopi sama ngutang.” Sejurus kalimat itu
meluncur saat pria perlente itu sudah tiba di mulut pintu.
Dua lelaki di meja tengah
tersedak kopi mereka sendiri mendengar kalimat itu, mengiringi langkah menjauh
pria perlente dari warung. Mbah Jaran tiba-tiba terkekeh sambil memandang Brio
hitam yang menjauh dari halaman gubugnya.
#30DWC #Day6 #OneDayOnePost
Orang tua begitu ya
BalasHapusSelalu cinta tanah kelahiran
tak pernah mau menyusahkan anak-anak
nah itu bener mba wid, dan saya suka nasihat akhirnya, cuma duduk-duduk ngopi dan ngutang, wkwk
Hapusromansa yg tak lekang waktu
BalasHapusNasihat di paragraf terakhirnya dalem bgt mba agil. Makin keren tulisannya.. (y)
BalasHapus“Kayaknya warung ini harus dirubuhkan, Pak, supaya ndak ada lagi pemalas-pemalas yang kerjanya cuma ngopi sama ngutang.”
BalasHapusMungkin begitu sebaiknya ya mbak 😷