HAH? JADI?!

Air jengah menatap daftar nama kelompok praktik di papan pengumuman. Sorot matanya tiba-tiba meredup. Dia lagi, keluhnya.

Air tak punya alasan untuk menghindarinya kali ini. Api, sosok yang lama ia acuhkan sebagai pelampiasan karena telah mempermainkan perasaannya. Untuk urusan lain, Air bisa menghindar. Tapi kali ini tugas praktik lapangan tidak bisa terhindarkan. Jika ia memilih untuk membatalkan praktik di semester ini, resikonya harus menunggu satu tahun lagi.

Helaan napas sesal Air kini sudah menjauh dari papan berukuran tiga kali satu setengah meter yang sejak tadi bisu.

***

Api menatap daftar nama kelompok praktik di papan pengumuman. Ia resah membayangkan seperti apa reaksi gadis itu jika satu kelompok dengannya. Api tahu bagaimana sikap gadis yang pernah dekat dengannya seketika menjadi acuh saat ia merasa tersakiti.

Sebetulnya Air bukan gadis sembarangan. Ia teramat spesial di hati Api. Bahkan sampai hari ini. Api terlalu kecut untuk kembali mendekati Air.

Jika Air mengundurkan diri dalam praktik semester ini, Api tak punya lagi kesempatan untuk mendekati Air hingga lulus.

***

Air tercenung. Bengong di sudut perpustakaan. Matanya sibuk memandangi langit dari jendela besar perpustakaan. Sedang satu jari tangannya menggaruk halaman buku yang tak dibaca, ke kanan dan kiri. Berulang-ulang.

Dua tahun lalu, Api yang setia menemaninya di meja ini membaca. Atau membuat catatan ulang materi perkuliahan. Sedangkan Api akan mengisi kertas kosongnya dengan garis-garis halus, mengukir wajah Air dalam bingkai A5.

Api hanya menemani, tak pernah mengganggu dengan kata-kata gombal atau rayuan. Jejaka yang hanya bicara seperlunya. Air suka.

Dalam benak Air masih ada Api yang membara meski ia acuh. Langit siang itu membawa cerita masa lalu mereka kembali berputar dari proyektor imajinasi Air.

Hari itu, di sore yang cerah, Air menemukan Api tengah joging di stadion kampus. Air duduk di bangku penonton paling depan, mengamati Api yang terengah. Kulit sawo matang dengan peluh mengucur deras yang tertimpa cahaya senja membuat Api terlihat begitu eksotis. Air masih menikmati pemandangan itu. Sampai sedetik kemudian Api tiba-tiba jatuh tersungkur. Air menjerit pelan. Tubuhnya refleks berlari mendekati Api yang mulai dikerubungi beberapa mahasiswa lain yang juga tengah berolah raga.

Tubuh Api dipapah ke tepi lapangan. Ia memegangi dada sebelah kirinya. Bibirnya berulang menyebut nama Tuhan. Napasnya yang tersengal berangsur tenang. Air memberikan botol air mineral. Api meneguknya perlahan.

"Gimana? Udah enakan?" Tanya Air cemas. Wajahnya tak bisa menyembunyikan itu.

Api hanya menggeleng.

"Sekarang apa yang dirasa?" Air kembali bertanya.

"Yang aku rasain," Api menarik napas, "aku suka sama kamu," lanjutnya.

Air terbelalak. Bibirnya menyungging senyum yang sulit disembunyikan. Pipinya tiba-tiba merona. Hatinya serasa terbang ke awan.

***

Sebuah mobil travel berhenti di depan kosan Api. Dari dalam mobil itu turun seorang penumpang perempuan dengan ransel berisi penuh di punggungnya. Api menyambut kedatangannya. Mereka sempat berpelukan sejenak, melepas rindu. Tak lama mereka memasuki area kosan Api sambil berbincang akrab. Tangan sang gadis merangkul lengan Api mesra.

Pemandangan itu membuat Air geram. Tangannya refleks mengepal kuat. Matanya meredup, menahan bulir air mata yang menggenang di pelupuk mata.

Sejak itulah Air menganggap semuanya sudah selesai. Tidak boleh ada lagi Api dalam hidup, pikiran, dan hatinya. Janjinya dalam hati.

***

Satu tahun Air menepati janjinya. Tapi batinnya tersiksa. Perasaannya sepi. Seperti ada yang kurang pada kehidupannya.

Namun apa yang dilakukan Api di depan matanya membuat Air menahan pedihnya. Menjaga janjinya untuk tetap diam. Ia tak membutuhkan penjelasan apa pun dari lelaki itu. Cukup matanya yang menjadi saksi dari kelakuan Api. Meski banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepala Air, gadis ini bersikukuh membuat benteng pertahanan untuk menolak kehadiran Api.

***

Waktu pertemuan kelompok tinggal lima menit lagi. Api sengaja datang lebih awal, berharap Air juga melakukan hal yang sama, lalu ia bisa memulai percakapan. Mencairkan hubungan yang sudah lama beku. Setidaknya Api bisa bertanya kabar pada gadis keras kepala itu.

Nyatanya Air malah datang terlambat. Ia hanya memperkenalkan diri sekenanya dan mencatat nomor kontak empat teman kelompok yang lain. Kemudian tak banyak bicara dalam forum kecil itu. Tak sedikit pun matanya tertarik pada sosok Api.

Setelah perkenalan dan pembagian tugas rampung, Air tergesa undur diri. Beralasan ada acara penting. Api memperhatikan punggung Air sampai menghilang di pintu masuk kantin.

Api mengeluh dalam hati. Merasa tak nyaman dengan sikap Air. Ia masih mencari ide tentang apa yang menyebabkan sikap Air acuh satu tahun belakangan, apa yang harus ia lakukan untuk membuat gadis itu kembali menoleh padanya.

***

Air duduk di bangku penonton paling belakang. Matanya menyipit memandangi rumput hijau di tengah stadion. Menyamarkan air mata yang terus disapu punggung tangannya sejak awal jatuh dari pelupuk.

Pertemuan dengan Api dalam forum kecil tadi membuka perasaan rindu yang terkubur di hatinya. Air kembali merasakan candu akan kehadiran lelaki itu. Gadis berwajah oval ini tahu bahwa mata tajam Api terus memperhatikannya sejak ia datang. Seperti ingin menembus pertahanan Air.

Otaknya sama sekali menolak. Tapi tidak dengan hatinya. Meski peristiwa saat melihat Api bermesraan dengan gadis lain masih jelas terbayang, sama sekali tidak membuat perasaan candu Air kepada Api berubah.

"Air," panggil sebuah suara.

Tubuh Air mendadak mendapat sinyal kurang bagus. Tapi ia terlambat menghindari suara itu. Pemilik suara sekarang sudah duduk di belakang Air.

"Maaf aku mengganggu acara pentingmu," suara itu kembali terdengar.

Air diam. Mendengarkan suara itu dengan seksama. Suara yang ia rindukan tapi teramat gengsi untuk menyapa lebih dulu.

"Tapi ada hal yang harus aku tahu dari kamu secara langsung," lanjut suara itu. "Kamu kenapa?" Tanyanya dengan nada memohon.

Seketika mata air gadis itu tumpah mendengar pertanyaan bodoh Api. Kenapa sampai sekarang ia masih pura-pura tak mengerti, keluh Air dalam hati.

"Karena kamu mempermainkan aku, Ap! Kamu bilang suka aku, tapi bisa-bisanya kamu pelukan sama perempuan lain dan bawa dia masuk ke dalam kosan kamu!" Air setengah berteriak. Ia tak tahan lagi meluapkannya. Kini tangisnya berubah menjadi sebuah raungan.

Api berpikir cepat mendengar itu. Perempuan lain? Pelukan? Kosan? Api mendadak memahami kalimat Air. Ia loncat dari bangkunya, berlutut di samping tempat Air duduk. Tangannya cekatan membuka ponsel, mencari sesuatu.

"Air," Api siap menunjukkan sebuah gambar kepada Air. "Di dunia ini hanya ada dua perempuan yang boleh kupeluk sebelum aku menikah," lanjut Api.

Air menoleh memandang potret Api dengan dua perempuan mengapit dirinya. Seketika tangisnya berhenti digantikan rasa terkejutnya. Salah satu perempuan yang dilihatnya ada di dalam foto.

"Mama dan Pelangi, adikku," lanjut Api tegas. Mata tajamnya menatap Air penuh keyakinan.

Hah? Jadi?!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS