NOMOR ANTREAN

Kertas bertuliskan angka 153 kusisipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah. Masih lama, batinku. Antrean dokter umum hari ini panjang sekali. Seorang lelaki paruh baya di samping kananku bahkan memegang nomor antrean ke 170. Sama-sama angka besar, keluhku.

Di sebelah kiriku duduk seorang ibu muda. Anaknya yang masih terhitung usia bulanan tidur pulas di pangkuannya. Iseng aku bertanya nomor antreannya.

"Dapat nomor berapa, Bu?"

"88," jawabnya sambil menunjukkan kertas nomornya.

Glek.

Ingin rasanya menukar kertas antreanku. Tapi tentu saja tak tega melihat bayi yang di gendong ibu muda itu berlama-lama ada di antara pasien-pasien penyakitan seperti kami.

Aku terbatuk pelan. Tanganku refleks menghalangi mulut yang sebetulnya sudah tertutup masker. Kupijat sedikit dahi yang terasa sakit karena terbatuk.

Ibu muda tadi bergeser sedikit menjauhiku. Duh, ia pasti takut anaknya tertular. Tapi seharusnya ia tak membawa bayi ke tempat berobat seperti ini. Aku membela diri dalam hati.

Monitor panggilan antrean di depan kami menayangkan angka 53. Masih seratus orang lagi, gumamku.

Pria paruh baya di sebelahku tampak terkantuk-kantuk. Kepalanya mengangguk-angguk pelan. Samar-samar terdengar dengkur halus. Eh, tiba-tiba tubuhnya jatuh ke bahuku. Beberapa orang menoleh, lalu acuh, kembali pada kesibukan masing-masing. Menunggu.

Pria itu dengan nyaman melanjutkan tidurnya dengan kepala bersandar di bahuku. Sungguh tak nyaman. Tapi tak tega aku membangunkan pria yang sepertinya tampak kelelahan itu. Dengkur halusnya mengisi gendang telingaku.

Hidungku yang mampat tidak bisa menerka apakah tubuh pria ini terpapar parfum atau tidak. Dari penampilannya, ia sama sekali jauh dari kata lusuh atau berantakan. Tapi siapa yang menjamin kalau ia tak bau badan.

Duh, bahuku pegal. Aku sedikit menggeser tubuhku. Sekedar meregangkan otot yang kaku karena tak bisa bergerak. Aku harap sedikit gerakanku akan mengusik tidurnya bapak-bapak ini. Tapi, hey, ia sama sekali tak terganggu, terlihat nyaman-nyaman saja dengan tidurnya.

Uh, luar biasa pria ini. Desahku kecewa.

Monitor panggilan nomor antrean sudah menunjukkan angka 80. Kutangkap ekspresi lega ibu muda di sampingku. Diam-diam aku juga lega. Setidaknya bayi mungil di dekapannya tak akan berlama-lama berada di sini.

Tiba-tiba di ujung kursi antrean, seorang ibu tua menangis tersedu. Menyita perhatian para pasien lain. Termasuk pria yang asyik mendengkur di pundakku. Ia gelagapan mencari sumber suara.

Wajah ibu tua itu pucat. Di sebelahnya ada seorang pemuda yang mengantarnya berobat.

"Kenapa nomornya besar sekali?! Aduuuh... nggak tahan ini! Sakit sekali!" Raungnya.

"Sabar, Bu. Di sini harus antre," sang pemuda mencoba menenangkan. "Istighfar, Bu," tangannya mendekap sang ibu.

Tangis ibu tua belum reda. Aku tak tahu apa sakit yang diderita ibu tua tersebut. Yang lain sepertinya enggan membantu karena sama-sama ingin dilayani secepatnya. Sepertinya semua yang menunggu panggilan sedang merasa menderita sehingga nurani tak bergeming untuk membantu.

Sudut mataku yang lain menangkap perasaan gamang si ibu muda. Ia meremas kertas antreannya.

Ibu tua ini mengingatkanku pada Emak di kampung halaman. Tak tega rasanya membiarkan orang tua itu terus menangis kesakitan. Aku akhirnya bergerak mendekati ibu tua dan pemuda tadi.

"Nomor antreannya berapa, Mas?" Tanyaku sambil setengah berjongkok.

Pemuda itu merogoh sakunya, lalu menunjukkan nomor antreannya, "152, Mas."

Duh, aku tak bisa membantu. Nomor antreanku saja lebih besar. Setelah minta maaf karena tak dapat membantu mereka, aku kembali duduk di tempatku. Monitor menunjukkan angka 87. Sebentar lagi giliran ibu muda itu yang mendapat panggilan masuk.

Tapi wajahnya kelihatan bingung. Sesekali ia menoleh pada ibu tua tadi. Sepertinya ibu muda ini merasa iba, tapi juga ingat bayinya yang tak bisa berlama-lama di tempat seperti ini.

***

Monitor di depan kami sudah menunjukkan angka 152.

Ibu muda di sampingku tersenyum, "duluan, Mas."

Aku hanya mengangguk. Ibu muda itu berjalan agak pincang masuk ke dalam ruang praktek dokter.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS