PERNYATAAN CINTA ERO

Pus menghela napas. Matanya mengerjap. Ia sedang membayangkan peristiwa yang baru setengah jam lalu dialaminya. Sebuah pernyataan cinta dari seorang kakak tingkat di kampusnya.

Ia masih belum percaya ada seorang manusia yang dengan percaya diri membawa-bawa pengeras suara ke depan gedung fakultas, meneriakkan namanya, dan menyatakan cinta saat itu juga. Pus malu. Dadanya bergemuruh hebat. Sekonyong-konyong ia lari lewat pintu darurat setelah menyadari apa yang terjadi tanpa menemui lelaki yang menjadi sumber keributan di depan gedung fakultas.

"PUSPA PUSAKA PUSPITA! SAYA MENCINTAIMU! MAUKAH KAMU MENJADI PELENGKAP HIDUPKU HARI INI DAN DI MASA DEPAN?"

Kalimat lelaki berkuncir itu terdengar jernih di telinga Pus. Kalimat yang mampu menghentikan sebagian besar kegiatan di gedung fakultas Pus. Semua mencari sumber suara. Kalimat itu beberapa kali diucapkan dengan berapi-api.

Pus sadar akan ada banyak orang di kampus yang menjadikan kejadian hari ini sebagai bahan pembicaraan mereka selama beberapa hari atau beberapa minggu ke depan. Tapi bukan itu permasalahannya saat ini, tapi tentang Ero.

Gadis bermata bulat itu masih berdebar-debar. Ia berulang kali mengusap-usap wajah dengan kedua tangannya. Masih tidak percaya pada kejadian hari ini. Ero, pemuda pecinta alam yang banyak dikagumi gadis-gadis kampusnya ternyata menaruh hati padanya.

Lama ia berpikir. Pus mematut diri di depan cermin. Melihat wajah sampai ujung kakinya. Berpikir apa yang harus dilakukannya. Mungkin ia harus menemui Ero, tapi seharusnya Ero yang menemuinya duluan. Pus mengangguk, ia tidak akan menemui Ero duluan.

Dua hari berlalu. Kasak-kusuk kejadian itu masih berhembus kencang. Pus terpaksa memasang wajah pura-pura tak tahu atau pura-pura tak mendengar. Beberapa teman sekelas sibuk meledek di kelas. Pus hanya memasang senyum kecut. Dua hari itu ia enggan berlama-lama di kampus. Selesai kuliah lebih memilih pulang ke kosan. Topi hitam yang jarang dikenakannya, dipilih sebagai penutup kepala sekaligus menyamarkan wajahnya. Pus kurang nyaman dengan situasi seperti ini, tapi tak punya pilihan untuk menghindar.

Sore itu Pus pulang sendiri ke kosan. Tak ada perasaan apa-apa ketika akhirnya di perempatan jalan, seseorang menghalangi langkahnya. Tangannya dengan cepat mengambil topi yang dikenakan Pus, memasangkan di kepalanya. Setelah Pus menyadari siapa yang sudah mengganggu jalannya, wajah putih Pus seketika memerah. Mulutnya terkunci. Ia hanya bisa menelan ludah.

"Topinya bagus," sapa lelaki di hadapannya.

Pus mengaduh dalam hati. Lelaki itu ada di hadapannya sekarang. Memandang Pus di jarak kurang dari empat meter. Pus merasa terjebak.

"Kamu kenapa pergi waktu itu?" Ero menatap Pus tajam.

Pus menghembuskan napas. "Aku malu," jawaban itu meluncur begitu saja dari bibir mungil Pus.

Mendengarnya Ero malah tersenyum. "Kalau gitu sekarang bisa kamu kasih jawabannya ke saya?"

"Eh, jawaban apa?" Pus salah tingkah.

"Pertanyaan dua hari yang lalu, di kampus," tangan Ero mengusap-usap hidung yang tak gatal. "Kamu dengar, kan?" Ero memastikan.

"Iya, saya dengar," Pus menelan ludah. "Nekat banget kamu tempo hari. Kenapa ngelakuin itu?" Pus mendadak bertanya.

Ero mengangkat bahu. Matanya memandang ke ranting-ranting pohon yang bergoyang pelan tertiup angin. Lelaki itu menghirup napas panjang.

Sisa perjalanan Pus menuju kosan dihabiskan bersama Ero. Lelaki berjenggot tipis itu mengantarnya sampai gerbang kosan. Tidak ada obrolan sepanjang jalan. Mereka sibuk memikirkan apa yang ingin dibicarakan, tapi gagal saling memulai. Sampai akhirnya gerbang kosan Pus kelihatan. Pus lega melihat pagar merah jambu di depannya. Tapi ada penyesalan di wajah Ero.

Keduanya berhenti di depan pintu pagar.

"Ero," suara Pus samar-samar. "Maaf, saya nggak bisa jadi pelengkap hidupmu."

Ero tertegun. "Kamu nolak saya?" Kata Ero sedetik kemudian.

Pus tersenyum. "Perempuan itu maunya jadi menu utama, diistimewakan. Bukan hanya pelengkap seperti kerupuk." Jawab Pus lembut.

Mata Ero meredup. "Apa sudah ada yang menjadikan kamu sebagai menu utamanya?"

Pus menggeleng. "Kamu boleh kembali ketika sudah siap," ujar gadis berambut panjang ini.

Ero mengangkat wajahnya. Ada guratan kecewa di sana, tapi lelaki berlesung pipit itu segera mengerti arti kalimat Pus. Ia mengangguk, lalu pamit. Pus memandangi punggung Ero sampai hilang di belokan. Jaket parasut biru yang dikenakannya hari itu adalah jaket yang sama ketika mereka berkenalan dalam sebuah acara ospek kampus.

***

Tapi Ero tak pernah kembali. Pus tak pernah tahu seberapa serius pernyataan cinta Ero. Semuanya berakhir saat Ero baru memulai tekadnya. Tidak ada kebersamaan khusus antara mereka.

Pus memang menyayangkannya. Tapi ia tak punya kuasa apa pun atas takdir Tuhan. Pus sudah merelakan Ero sebelum lelaki itu benar-benar pergi.

Langit sore berwarna jingga menjadi pemandangan indah di mata Pus. Suasana teduh menyelimuti cuaca hari itu. Angin bertiup pelan. Suasana ini menyempurnakan nostalgianya mengenang Ero.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS