PERJODOHAN

Gadis berjilbab itu duduk diam. Wajahnya dingin, tak ada senyum tersungging di bibirnya. Tatapannya sama sekali tak ramah. Ini kali pertama Saga bertemu dengannya. Di sebuah restoran kecil yang terletak di pinggiran kota. Tempat ini jauh dari ramai. Hanya satu dua yang datang, memesan makanan untuk dibawa pulang.

"Jadi apa maumu?" Saga menelan ludah.

"Saya nggak suka kamu, tapi saya juga nggak bisa menolak permintaan Bapak," gadis berjilbab itu menjawab tegas. Ekspresinya masih dingin.

Saga menggeleng kecewa. Ia menopang wajahnya dengan satu tangan, mendekatkan tubuhnya ke wajah gadis itu. Refleks tubuh gadis itu mundur. Wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia kaget dengan gerakan Saga.

Mata Saga dan matanya bertemu. Dua detik berlalu tanpa bisa menghindari peristiwa itu. Gadis itu menoleh ke jendela, mengalihkan pandangan. Wajahnya bersemu.

Saga mengangkat sebelah alisnya. Ia terkekeh.

"Saya kira kamu nggak sungguh-sungguh bilang nggak suka sama saya," matanya mengerjap.

"Kalau kamu mau ketemu saya cuma untuk melakukan hal seperti ini, saya sebaiknya pergi," gadis itu menyampirkan tas ke pundaknya bersiap meninggalkan meja mereka.

"Hei, oke, oke. Maaf," Saga berdiri. "Saya mau kamu menolak perjodohan ini, please," kali ini nada bicara Saga lebih serius. Saga terpaksa memohon.

Gadis itu diam. Matanya memandangi pohon kamboja yang tumbuh rimbun di halaman restoran. Ia tidak tahu harus berkata apa. Lelaki di hadapannya cuma bisa menyilangkan tangan. Duduk sejauh mungkin.

"Apa, sih alasan kamu menerima perjodohan kita?" Suara Saga kembali memenuhi gendang telinga gadis berjilbab hitam itu.

Pikirannya mendarat pada masa lalu. Saat ibunya sekarat di ruang ICU, ada pesan terakhir yang dibisikkannya pada gadis itu.

"Ubit... namamu Mukhbit... patuh... patuhlah pada... Bapak..." suara serak itu bergetar. Terpatah-patah mengucapkannya. Ubit paham. Ia mengangguk. Air matanya deras beruraian di pipi.

Ubit mengusap pelipis. Entah apa yang harus dijelaskan pada lelaki tengil di hadapannya.

"Bicara sama kamu lama-lama menyebalkan, ya. Pantas saja nggak ada laki-laki yang suka sama kamu," Saga tampak tak sabaran melihat Ubit hanya diam dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

Gadis itu tak peduli pada kalimat Saga barusan. Ekor matanya menangkap ekspresi kecewa pada lawan bicaranya ini. Saga membuang pandangan ke halaman restoran.

"Saya nggak bisa menolak perjodohan ini karena sudah janji pada Mama," suara Ubit pelan.

"Mama kamu bukannya udah meninggal?" Alis Saga naik sebelah.

"Bukan janji untuk nerima perjodohannya, Ga." jawab Ubit cepat.

"Lalu?"

"Janji untuk patuh pada Bapak," Ubit menggigit bibirnya.

Saga meremas dagunya. Ia seperti kehilangan cara untuk membujuk gadis itu. Yang ada di pikirannya hanya membatalkan perjodohan mereka, bagaimana pun caranya.

"Saya harus kembali ke toko," Ubit kembali mengenakan tasnya. Saga mendongak, hendak mencegah gadis itu pergi. Tapi tampaknya pembicaraan mereka akan tetap buntu. Maka ia membiarkan Ubit pamit, berjalan buru-buru meninggalkan meja nomor 13 itu.

Saga hanya bisa memandangi gadis itu dari belakang. Tak terlihat sedikit pun lekuk tubuhnya. Sangat berbeda dengan Zaa, kekasihnya saat ini. Entah apa yang harus membuatnya tertarik pada Ubit. Saga terus berpikir dan berpikir. Ah, jika Saga tahu sedikit saja apa yang Ubit miliki di balik sikap dinginnya, tak akan sedetik pun ia akan berpaling dari sosok Ubit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS