AMNESIA

Semburat cahaya matahari memenuhi ruangan ini. Menembus ke beberapa lorong di luarnya melalui lubang di bawah pintu. Kesiur angin berhembus pelan melalui jendela besar yang dibiarkan terbuka. Membiarkan kesejukan memenuhi seluruh ruangan.

Haja duduk di tepi salah satu jendela. Memandangi daun-daun akasia yang bergoyang tertiup angin. Rasanya pemandangan ini mengingatkan pada momen indah di Dermaga Merah. Peristiwa yang sudah berlalu sepuluh tahun lalu, tapi masih setia diingatnya, karena hanya ingatan itulah yang tersisa di memorinya. Yang lain terbunuh amnesia.

Seseorang masuk ke dalam ruangan. Menunduk takzim saat Haja menoleh. Balu mengantarkan minuman. Haja membuang pandangan ke luar. Setelah menaruh minuman di atas meja bundar, Balu segera keluar dari ruangan. Meja bundar itu selalu disebut sebagai sudut baca Haja.

Tak lama, seorang perempuan seusia Haja masuk.

"Hai, Haj," tangan perempuan itu melambai. Sejak diserang amnesia, hanya gadis ini yang mau Haja ajak bicara.

Haja tersenyum. Gadis yang serupa dengannya. Ini menakjubkan bagi Haja yang 'baru'.

"Hai, Daj," balas Haja. Mereka berdua tertawa. Lebih tepatnya mentertawakan nama mereka.

Gadis bernama Daja ikut duduk di tepi lain dari jendela tempat Haja duduk. Haja memandangi Daja seperti sedang bercermin. Meski enam bulan terakhir Daja selalu menemaninya duduk di tepi jendela ini, Haja tak pernah absen takjub dengan fisik Daja yang sama dengannya.

"Cuaca lagi bagus, ikut aku ke Taman Buku, yuk," tangan Daja merapikan anak rambut yang tertiup angin, membuat wajahnya geli.

Haja menatap Daja ragu-ragu. Ia lalu menoleh ke papan kecil di samping lemari.

"Ada jadwal terapi hari ini," Haja menunjuk papan.

Daja menghembuskan napas sebal. "Sebelum dan sesudah amnesia, kamu tetap sama. Selalu taat aturan," ujar Daja.

Haja tersenyum. "Benarkah?" Tanya Haja memastikan.

Daja mengangguk sambil membuang pandangan ke area rerumputan.

"Kamu beneran nggak ingat apa-apa tentang kita, Haj? Maksudku, ingatan waktu kita pernah lomba makan ramen di restoran masakan Korea, atau latihan teater bersama?" Daja mengayun-ayun satu kakinya.

Haja menggeleng, "cuma Dermaga Merah, Daj. Itu pun aku nggak tahu siapa lelaki yang ada disana." Haja merapatkan sweaternya.

Lengang. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Daja tahu siapa lelaki di Dermaga Merah yang bersama Haja sepuluh tahun silam. Lelaki yang kini sudah tiada. Cinta pertama mereka berdua. Namanya Batja. Di dermaga itulah terakhir kalinya mereka berdua melihat Batja. Hari yang memang indah sampai tak bisa Haja lupakan.

Dermaga Merah sudah sepakat kami lupakan. Tempat itu telah membawa luka bagi kami. Tapi kecelakaan enam bulan lalu, yang membuat Haja amnesia, malah membawanya mengingat momen indah di Dermaga Merah bersama lelaki itu. Batja.

Daja tak pernah ingin memberitahukan siapa lelaki itu. Biar Batja jadi masa lalu mereka. Tak ada yang boleh melukai satu sama lain dengan menyukai lelaki yang sama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS