Seperti Malam-Malam Sebelumnya

Aku tak mendengar apapun tentang kau sejak itu. Ketika matahari turun dan digantikan cahaya-cahaya bohlam. Aku hanya meringkuk di dalam kamar. Sepi. Lalu bulan yang sudah tua berganti, kemudian aku tak pernah lagi mendengar sayup-sayupmu. Semua orang sudah melupakannya. Seolah ingin menggantinya dengan hingar bingar lagi. Dengan dentuman suara-suara. Tapi aku tidak. Aku masih terduduk di tempat yang sama sampai detik ini. Aku hanya ingin mendengar kau kembali merayuku dengan candamu. Kau wanita yang selalu berhasil membuatku luluh. Senyummu selalu hadir dan menyapa setiap pagi. Tanpa lelah. Tanpa tangis. Entah berapa banyak harga yang harus kubayar agar kau kembali. Agaknya itu hanya sebuah gurauan yang didengungkan untuk membuatku putus asa. Setiap malam aku hanya duduk menemui bayanganmu. Ya, hanya bayangmu. Tanpa apa-apa. Hanya bayangmu. Sampai aku tertidur di atas sofa hangatmu. Sofa hijau yang penuh kehangatanmu dan aroma parfum yang lembut. Setiap malam aku buka lagi halaman-halaman kumal tentang kita. Menyemai senyum yang getir. Lalu ditutup dengan tangis sendu yang kusimpan dalam-dalam. Aku tahu kau pergi. Karena itu aku menyimpan tangisku. Karena hanya kau yang bisa menelannya.
Suatu malam setelah malam-malam panjang lainnya, aku lelah. Aku duduk di atas sofa hijaumu. Meramu kembali perjamuan kita yang sudah lama mengendap. Hanya aku, cahaya redup, dan bayanganmu. Aku terpekur. Menantikan malam bisa seromantis dulu. Ketika cerita-cerita mengalir dan mengantarkanku dalam mimpi-mimpi yang kau isyaratkan untuk kubangun. Bahkan bintang-bintang dan bulan menjadi iri karena ceritamu lebih indah. Bunga-bunga di padang rumput tak secantik irama suaramu. Kau ramu hari-hari yang begitu sejuk seperti air gunung yang mengalir di ceruk-ceruk kecil. Tapi aku lelah. Aku ingin libur sehari, tanpa bayangmu. Jika kau tahu, akan membuatmu sedih. Diam-diam aku masih juga memikirkanmu. Sampai suatu malam seseorang membuyarkan perjamuan kita. Perempuan berkemeja biru itu menyeruak ke dalam ruangan.
Perempuan: apa tak sebaiknya kau keluar dengan kami?
Aku: (diam)
Perempuan itu bergerak mendekat. Ia berdiri disampingku menghadap ke jendela.
Perempuan: sebaiknya kau ikut.
Aku: (masih diam)
Perempuan: (menghela napas) orang-orang menunggumu. Sebaiknya kau bergegas. (menyilangkan tangan)
Aku menoleh ke arah perempuan itu. Beberapa detik kemudian kembali pada posisi semula.
Aku: (menghela napas)
Perempuan: sudah hampir tiga tahun kau begini. Mau sampai kapan? Aku bahkan sudah bosan melihat kelakuanmu yang seperti orang gila. Hanya diam seperti batu.
Aku: aku bisa menyusulnya kalau kau mau...
Perempuan: kemana? (menoleh ke arahku)
Perempuan itu menghujamkan tatapan matanya yang tajam. Aku kesal karena dia punya mata yang sama persis dengan matamu. Tapi matamu bersinar lembut. Perempuan ini tidak. Ia lebih sering menghujamkan tatapan mata seperti saat ini. Menusuk.
Aku: entahlah. Tak ada yang membuatku senang. Hanya dia yang bisa.
Perempuan: (menatap tajam ke arahku) dia pergi! Apa kau tak lihat! Dia sudah pergi! Dia bahkan tak memberi tahu kenapa dia pergi, kemana, dan apa yang sudah terjadi dengan dirinya.
Aku: (aku gelisah)
Perempuan itu lalu bergerak pergi. Ruangan kembali sepi. Aku tak tahu kenapa begitu banyak yang berusaha membuatku meninggalkanmu. Bahkan di saat seperti ini. Di saat kau hanya bayangan. Aku tercenung lagi. Kembali menata perjamuan kita yang sempat jeda.
Pintu terbuka. Tak banyak suara langkah. Bau parfum Georgia yang menyengat.
Orang dengan parfum menyengat: kenapa?
Aku: (sedikit menoleh ke belakang) kenapa?
Orang dengan parfum menyengat: lupakanlah sebentar saja. Kami tak memintamu untuk melupakan dia selamanya. Hanya beberapa saat saja. Apa itu mengganggumu?
Aku: ya. Tinggalkan saja telur dadarnya di meja makan. Aku tak apa-apa.
Orang dengan parfum menyengat: hei, dengar kawan. (bergerak mendekat) kau tahu yang tak dia sukai? (diam beberapa saat) malam yang panjang dengan kesendirian.
Aku: dia tak pernah sendirian. Aku selalu menemaninya. Sekarang pun... (terdiam).
Orang dengan parfum menyengat: (memotong kalimatku) dia yang menemanimu kawan. Selama ini dia yang menemanimu, menemaniku, dan menemani malam-malam yang lain. Malam tak hanya milik kalian Leo.
Aku terdiam.
Orang dengan parfum menyengat: dan malam menjadi sendu saat dia menghilang. Malamku, malammu, dan malam-malam yang lain. Dia sangat romantis, kan. Sampai membuat kita depresi.
Aku menunduk.
Orang dengan parfum menyengat: jadi apakah tak sebaiknya kau ikut?
Aku: (bersuara lirih) tinggalkan saja telur dadarnya di meja makan. Aku baik-baik saja.
Terdengar langkah orang dengan parfum menyengat itu perlahan menjauh, keluar dari ruangan.
Kau memang penari dengan cinta yang membuncah. Bukan hanya untukku, juga untuk yang lain. Ah, aku begitu menyayangimu ibu. Sampai aku dan semuanya depresi.
Ruangan sunyi ini akan membawaku ke alam mimpi di atas sofa hangatmu seperti malam-malam sebelumnya.
Bandung, 12 September 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS