TENTANG DERA
Sumber gambar: www.google.co.id |
Dera menarik napas lalu membuangnya dengan mendengus. Di
tangannya terdapat benda persegi panjang berukuran empat inci berwarna hitam
yang selalu dibawa ke mana pun pergi. Dari benda itu ia bisa melihat kehidupan
teman-temannya melalui media sosial. Macam-macam aplikasi media sosial ia pasang
dalam perangkat lunaknya.
Dilihat dari wajah Dera, ada hal yang mengganggu batinnya.
Gitu aja dipamerin.
Gerutunya dalam hati.
Gadis itu kemudian membuka lagi ponselnya. Ibu jarinya
mengusap layar ke atas berulang-ulang, berhenti sebentar, mengetikkan sesuatu,
lalu mengusap layar ke atas lagi. Begitu seterusnya.
"Ngeliatin apaan, sih?" Dengan rusuh Mia bergabung
melihat layar ponsel Dera yang masih menyala.
"Ih, apaan, sih! Sana, sana!" Sontak Dera
menjauhkan ponselnya dari mata Mia.
Mia terkikik melihat reaksi Dera. Adiknya itu mudah sekali
marah jika dijaili.
"Mau tau aja urusan orang." Gerutu Dera.
"Gitu aja sewot," timpal Mia sambil menyeringai.
"Lu buka-buka situs porno, ya," telunjuk Mia mengarah ke wajah Dera
yang langsung berubah merah.
"Enggak! Nih, liat aja!" Dera reflek menunjukkan
layar ponselnya ke arah Mia.
Mia terkekeh setelah menatap layar ponsel beberapa detik.
"Lu stalking facebook mantan lu,
Der? Lu masih suka sama dia?" Mia menghentikan tawanya.
Wajah Dera merah padam. "Enggak! Itu... nggak sengaja
kebuka." Ucap Dera terbata.
Mia tertawa. Ia tahu sekali tabiat adiknya yang cepat marah
dan tersinggung. Perempuan berjilbab itu tak ambil pusing. Nanti juga marahnya
hilang sendiri. Mia pamit, ada kegiatan bakti sosial di kawasan pemukiman
kumuh. Dera melirik sekilas. Punggung kakaknya menghilang di balik pintu.
Dera beringsut rebahan di sofa yang kini ditempatinya
sendiri. Napasnya berhembus lesu. Dipandanginya layar ponsel. Kakaknya benar,
ia sedang stalking akun facebook mantannya. Foto sang mantan
dengan pacar baru di atas motor besarnya. Perempuan di samping sang mantan
terlihat tersenyum sambil memejamkan mata. Kulit putih, dengan rambut sebahu,
dan wajah yang fotogenic membuat Dera
iri.
Dera menggigiti bibir bawahnya. Dia gampang banget ngelupain gue. Keluhnya.
***
Mia pulang membawa atas jinjing merah. Wajahnya masih
berseri-seri meski hampir tiga jam beraktivitas di luar rumah.
"Ya Allah, Ra. Mager?" Mia menatap adiknya sambil
melepas sepatu.
Dera menatap atas jinjing merah yang sudah tergeletak manis
di atas meja. "Apaan tuh?" Alis Dera naik.
"Oleh-oleh buat adik gue yang masih baper liat
mantannya." Jawab Mia jail. Ia berdiri hendak menyimpan sepatu di raknya.
"Sialan," Dera manyun. Tubuhnya sudah dalam posisi
duduk hendak meraih tas jinjing tadi.
"Udah solat belom?"
"Lagi em," tangan Dera sibuk melucuti kotak berisi
kue-kue basah.
"Em melulu. Emario?" Mia tertawa.
Dera tersenyum kecut mendengar nama mantannya yang diplesetkan
oleh Mia.
"Makanya nggak usah di-stalking-in mulu," tangan Mia mengambil satu risoles dari
dalam kotak.
"Penasaran gue," Dera menggigit kue pilihannya.
"Trus kapan move
on-nya kalo tiap hari lu sibuk mondar-mandir di timeline dia?"
Dera mengangkat bahu sambil melirik ke arah kakaknya.
"Besok ikut gue aja, yuk."
"Ke mana?"
"Car free day.
Cuci mata sambil bantuin gue."
Dera mengangkat bahu. "Liat besok, deh." Jawab
Dera malas.
***
Sebenarnya Dera tak terlalu tertarik dengan ajakan Mia. Tapi
dari pada ia sendirian di rumah, akhirnya ia ikut juga.
Car free day
setiap hari Minggu menjadi ajang hiburan tersendiri untuk segala kalangan.
Kegiatan yang bertempat di salah satu jalan protokol tersebut selalu ramai
dengan lapak-lapak pedagang, tukang odong-odong, promo belanja hemat dari
supermarket ternama, panggung-panggung senam, dan tak lupa juga para pengunjung
yang memadati setiap jengkal area car
free day.
Dera tak terlalu suka keramaian, tapi melihat
gerakan-gerakan senam disertai teriakan semangat dari seorang instruktur senam
yang sudah berumur jauh lebih tua darinya membuat Dera terhibur.
Udah tua gitu masih
semangat aja. Gumamnya dalam hati. Dera lalu senyum-senyum sendiri.
"Heh! Napa, lu?" Mia menjawil lengan adiknya.
"Nggak pa-pa," Dera salah tingkah.
"Dih, ngeliatin siapa hayo?" Telunjuk Mia menekan
pipi Dera beberapa kali.
"Enggak!" Dera menghindari tangan jail Mia. Mia
tergelak.
Lapak jilbab instan tempat mereka jualan cukup diminati
banyak orang. Ada yang mampir hanya untuk melihat-lihat, bertanya bahan dan
harga, sampai memborong beberapa jenis jilbab. Dera membantu Mia melipat
jilbab-jilbab yang tidak jadi dibeli, membungkus jilbab yang sudah dibayar,
serta melayani pertanyaan-pertanyaan dari beberapa orang yang mampir.
"Mbaknya yang jualan, kok nggak pakai jilbab?"
Celetuk seorang ibu-ibu sambil mencoba jilbab berwarna ungu.
Mendengarnya Dera salah tingkah. Urusan gue kali! Gerutunya dalam hati.
"Hidayahnya belum nyampe. Doain aja, ya, Bu." Mia
menanggapi santai. "Jadi ambil lima, ya, Bu." Lanjut Mia, membuat
ibu-ibu tadi tersenyum kecut.
"Ogah, ah. Nggak dapet diskon," si ibu pura-pura
merajuk. Mia tertawa sambil terus merayu ibu tadi.
Si ibu menyerah, kemudian mengambil tiga potong jilbab
dengan warna berbeda. "Tiga aja, deh. Buat si kakak." Ujarnya sambil
merogoh dompet.
"Nggak lima, Bu?" Mia tersenyum menerima uang
pecahan seratus ribu dan dua lembar sepuluh ribuan.
"Nanti lagi kalo dapet arisan." Ujar si ibu sambil
menerima jilbab pilihannya yang sudah dibungkus tas plastik. Ia meninggalkan
lapak setelah Mia mengucapkan terima kasih.
Dera menatap lamat-lamat kakaknya. Si sulung itu pandai
sekali bergaul, membuat suasana hangat, dan menghibur. Amat berbeda dengan
dirinya yang kaku dan pemarah, mudah baper
serta sulit move on. Mia juga sangat
percaya diri dalam segala suasana.
Kenapa gue beda banget
sama Mia? Batinnya.
Gadis itu masih takjub dengan segala kelebihan yang dimiliki
kakaknya. Meski sering jail, Mia sebenarnya sangat baik. Buktinya Mia selalu
berbagi segala sesuatu miliknya pada Dera. Pakaian, sepatu, aksesoris, pulsa,
makanan, dan masih banyak lagi. Bahkan bagi Dera, Mia adalah sosok pahlawan. Dera amat menyayangi
sekaligus iri padanya.
"Napa, Ra?" Mia menatap Dera yang sedang bengong
memandanginya.
Dera gelagapan setelah kepergok. Ia mencoba mencari-cari
alasan, tapi bibirnya terkunci. Mia malah tertawa melihat tampang Dera yang
jadi kelihatan pilon. Wajahnya bersemu dan mendadak kikuk.
Tiba-tiba wajah Mia berubah. “Ra, mantan lu, Ra,” tangannya
menggoyang lengan Dera.
Sontak Dera memutar kepalanya. Mencari-cari sosok Mario di
keramaian. Tapi tak juga ia temukan. Dera masih tak mengerti sampai kepalanya
kembali ke posisi semula. “Mana, sih?” Dera kembali menatap Mia yang sudah
cekikikan. “Ck. Sialan, lu!” Dera menggelitiki pinggang Mia yang tawanya makin
kencang.
**
Dua bersaudara
itu mengemas barang dagangan ke dalam dus bekas minuman. Ada tiga dus saat
mereka berangkat. Tetapi karena hari itu banyak yang membeli, barang dagangan
berkurang sebanyak satu dus. Cukup meringankan langkah untuk pulang.
“Gue mau ke toilet dulu, ya.” Dera menaruh jilbab terakhir
ke dalam dus.
“Iya. Gue tunggu di sini, ya,” tangan Mia sibuk melipat
tikar kecil mereka.
Dera melangkah cepat-cepat menuju toilet umum di ujung jalan
pusat kuliner alun-alun. Banyak makanan tradisional yang dijajakan di sana. Pengunjung
sudah berkurang banyak. Tubuhnya dapat bergerak dengan lincah melewati pejalan
kaki lainnya. Tak berapa lama ia sampai di toilet umum. Sepi, tapi bukan
masalah baginya. Dera memilih bilik kamar mandi nomor dua untuk melakukan aktivitas
pribadinya. Selesai buang air kecil, Dera mencuci tangannya di wastafel.
Sekilas Dera mendengar rintihan seseorang. Entah suara dari
mana, tapi Dera merasakan sesuatu yang tidak beres di sekitarnya. Rasa penasaran
menyergapnya. Ia memeriksa lima kamar mandi yang ada. Kosong. Dera memasang
telinga. Ada suara gesekan pakaian dengan dinding terjadi berulang-ulang. Sepertinya
ia harus memeriksa kamar mandi pria yang ada di sebelah.
Masa gue masuk ke
kamar mandi laki-laki. Keluhnya.
Tapi demi rasa penasaran yang tidak tertahan, Dera
merapatkan tubuh ke pintu toilet pria. Ia memeriksa perlahan. Sekilas ada
bayangan besar berkelebat di cermin. Suara gesekan itu terdengar lagi. Kali ini
lebih keras. Bulu kuduk Dera berdiri. Sontak ia merinding melihat bayangan
tadi.
Eh, apa tuh?
Matanya menangkap sesuatu yang lain dari pantulan cermin. Bayangan
lain. Lebih kecil dan bergerak-gerak juga menimbulkan suara seperti sepatu high heels. Dera mengangkat sebelah
bibirnya. Sepertinya ia tahu sesuatu yang ada di sana.
Dera langsung meraih gagang pel di depan kamar mandi. Dengan
gerakan cepat ia melangkah ke dalam salah satu bilik kamar mandi. Mengarahkan
gagang pel dengan kasar ke arah pria besar yang sedang membekap seorang wanita
di dalam bilik kamar mandi.
“Lari! Panggil security!”
Dera berteriak pada wanita tadi. Tangannya masih sibuk menghujani si pria dengan
sulur-sulur pel yang bau. “Rasain, lu!” Dera mendengus.
Si pria berhasil dilumpuhkan ketika beberapa orang dan
petugas keamanan datang. Tanpa perlawanan pria itu kemudian diringkus petugas.
**
Dera sudah tertidur lelap. Tangannya masih menggenggam
ponsel kesayangan. Pintu kamar yang terbuka membuat Mia bisa menatap sang adik
dari ruang tengah yang mungil. Buku harian birunya terbuka. Sambil tersenyum ia
mulai menuliskan kisah hari itu. Kisah tentang Dera. Satu hal yang tidak pernah
Dera tahu, hampir semua yang di tulis sang kakak di buku hariannya adalah
tentang Dera.
#30DWC
#Day2
#OneDayOnePost
Mia, sayang banget sama adeknya ya
BalasHapus