PERPISAHAN
Sinar redup dari lampu tidur yang sudah dipasang sejak tadi cukup membuatku dapat melihat wajahnya. Wajah yang sedikit berbintik bekas jerawat. Aku terlibat percakapan yang sebenarnya tidak pernah kami inginkan.
Kami saling mengaitkan jari-jemari. Seolah takut kehilangan. Pembicaraan kami terus menghantui pikiran. Perpisahan bukan hal yang mudah. Baik bagiku, pun baginya. Namun kami sama-sama tahu bahwa kami harus tetap melakukannya. Kami tidak bisa terus bersama tanpa restu.
Tiga tahun bersama, mencoba peruntungan dengan terus saling menguatkan. Berharap ada secercah pengakuan. Aku dan dia sama-sama melakukannya dengan tulus. Bolehlah jika mau dibilang bahwa kami memang ada maunya. Tapi salahkah jika yang kami ingin adalah restu?
Rasanya masih jelas saat mengenang pernikahan itu. Tak ada seorang pun sanak famili. Dengan pakaian serba putih, kupoles sendiri riasan wajah dan kurangkai sendiri mahkota sederhana di kepala. Juga dia yang mengenakan kemeja hitam terbaiknya. Hanya membawa sebuah cincin emas sebagai mahar. Tidak ada hantaran mewah dari keluarga besar.
Aku mengerti. Sungguh mengerti. Meski kesal membumbung saat tatapan mata mereka menghujam setiap sendi otot dan titik-titik darahku. Namun, wajah Arlo mampu menahan amarah yang akan meletup.
Seiring waktu ternyata itu hanya menggunung menjadi kebencian. Lalu cinta tak mampu membendungnya.
Sekarang di sinilah kami. Malam terakhir bersama setelah melewati hari-hari yang pahit. Bahkan seorang Arlo pun tidak kuasa membendung perpisahan ini.
Akan kuingat hari ini. Detik-detik perpisahan itu. Semoga Tuhan mengampuni kami.
#OneDayOnePost
#30DWC
#Day3
Kami saling mengaitkan jari-jemari. Seolah takut kehilangan. Pembicaraan kami terus menghantui pikiran. Perpisahan bukan hal yang mudah. Baik bagiku, pun baginya. Namun kami sama-sama tahu bahwa kami harus tetap melakukannya. Kami tidak bisa terus bersama tanpa restu.
Tiga tahun bersama, mencoba peruntungan dengan terus saling menguatkan. Berharap ada secercah pengakuan. Aku dan dia sama-sama melakukannya dengan tulus. Bolehlah jika mau dibilang bahwa kami memang ada maunya. Tapi salahkah jika yang kami ingin adalah restu?
Rasanya masih jelas saat mengenang pernikahan itu. Tak ada seorang pun sanak famili. Dengan pakaian serba putih, kupoles sendiri riasan wajah dan kurangkai sendiri mahkota sederhana di kepala. Juga dia yang mengenakan kemeja hitam terbaiknya. Hanya membawa sebuah cincin emas sebagai mahar. Tidak ada hantaran mewah dari keluarga besar.
Aku mengerti. Sungguh mengerti. Meski kesal membumbung saat tatapan mata mereka menghujam setiap sendi otot dan titik-titik darahku. Namun, wajah Arlo mampu menahan amarah yang akan meletup.
Seiring waktu ternyata itu hanya menggunung menjadi kebencian. Lalu cinta tak mampu membendungnya.
Sekarang di sinilah kami. Malam terakhir bersama setelah melewati hari-hari yang pahit. Bahkan seorang Arlo pun tidak kuasa membendung perpisahan ini.
Akan kuingat hari ini. Detik-detik perpisahan itu. Semoga Tuhan mengampuni kami.
#OneDayOnePost
#30DWC
#Day3
wow, sebuah pernikahan yg tdk direstui kah? sgt mengharukan.. :'(
BalasHapusTak direstui? huhuhu itu sakit, kecewa dan campur aduk banget ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapusSedih
BalasHapusAh sedih... Jadi ingat temanku mbak ðŸ˜
BalasHapusSebuah guncang permasalahan di dlam pernikahan.
BalasHapusSedih...
Restu pernikahan memang bukan sekedar formalitas yang harus dijalankan ya mbak. Ia menyumbang sekian persen pembangunan rumah tangga yg kokoh :')
BalasHapus