RAHASIA (EPS. 5)


Lim membalikkan papan kecil yang menggantung di pintu masuk kafe. OPEN, begitu tulisan yang terlihat dari luar kafe. Tiga orang masuk. Aku mengenali mereka. Satu diantaranya adalah partner kerjaku di perusahaan advertising sebelum aku dan Preu membuat kafe ini. Kami bersalaman.

Pekerjaan dimulai. Setelah briefing selama tujuh menit, kami semua mulai melakukan tugas masing-masing. Aku membantu menghubungi bagian hiburan, seorang pendongeng, pesulap dan dua orang badut ulang tahun.

Pekerjaan kami berjalan lancar. Persiapan sudah tuntas, tinggal menunggu sang empunya hajat datang membawa kue ulang tahun.

Acara akan dimulai pukul dua siang. Separuh meja kursi kafe masih bisa digunakan untuk menampung pengunjung lain. Kami sudah membuat batas wilayah untuk acara ulang tahun, jadi pengunjung lain tidak akan terganggu.

Masih ada waktu dua jam lagi. Karyawanku kembali pada tugasnya masing-masing. Tim EO sedang berdiskusi di sebuah meja, sepertinya mereka sedang meeting membahas event lain yang sedang digarap.

Teringat saat dulu masih aktif di perusahaan advertising yang sama, aku juga membawahi sebuah tim EO. Perusahaan ini sering banjir orderan sehingga para staf dan karyawan tampak lebih sibuk dari pada karyawan perusahaan lain. Aku sendiri mengalami bagaimana tak pulang ke rumah selama satu minggu untuk mengerjakan tiga proyek sekaligus. Lembur dengan nilai fantastis untuk ukuran staf biasa. Tapi seminggu setelahnya aku terserang typus. Preu juga sempat protes karena waktuku lebih banyak di kantor.

Waktu itu adalah tahun ke dua usia pernikahan kami. Mungkin karena kelelahan, aku belum kunjung hamil. Akhirnya setelah sembuh, kuputuskan untuk resign. Beberapa atasanku menyayangkan hal tersebut karena karirku sedang bagus-bagusnya.

Aku sendiri sangat menikmati pekerjaan itu. Tapi di satu sisi, aku dan Preu menginginkan kehadiran anak dalam pernikahan kami. Begitulah, akhirnya aku benar-benar berhenti bekerja. Kami melakukan program kehamilan secara mandiri, berbekal ilmu yang kami dapatkan dari google dan buku-buku kehamilan.

Aku juga minum suplemen penyubur serta makanan tambahan yang kaya asam folat untuk menunjang program kehamilan.

Tapi kegiatan di rumah sangat membosankan. Rumah tak pernah berantakan karena Preu juga tipe lelaki yang rapi. Ia selalu menyimpan barang-barang di tempatnya jika sudah digunakan. Wanita lain mungkin akan senang sekali jika suaminya seperti Preu, karena sangat meringankan pekerjaan rumah. Tapi jadi membuatku tak bisa melakukan apa pun selain mencuci dan menyetrika.

Delapan bulan berlalu. Alat tes kehamilan tak kunjung menunjukkan dua garis. Aku mulai cemas.

"Kita ke dokter, ya." Ujar Preu menenangkan saat aku mengeluhkan keadaan itu.

Aku menurut.

Kami kemudian mengunjungi salah satu dokter spesialis kandungan. Berkonsultasi masalah yang kami alami. Setelah melakukan tanya-jawab, dokter memberikan saran agar melanjutkan program kehamilan yang sudah dijalani dan melakukan pemeriksaan di laboratorium.

Kami sepakat menjalani saran dari dokter. Tapi hasil pemeriksaan lab amat membuatku terpukul. Aku dinyatakan tidak subur. Sangat kecil kemungkinan untuk bisa hamil.

"Jadi saya mandul, Dok?" Aku memastikan. Separuh tak percaya.

"Saya tidak mengatakan Anda mandul, Bu. Masih ada kemungkinan hamil, hanya saja sangat kecil." Jawab dokter diplomatis.

Kalimat dokter itu, meski mengandung harapan, tetap tak mengurangi perasaan kecewaku. Perasaan sedih, malu, dan marah, tak pelak membungkus jiwaku. Saat itu juga aku disergap duka.

Aku diam sepanjang perjalanan pulang. Preu, entah apa yang pria itu pikirkan. Ada perasaan bersalah yang berkecamuk. Preu tak seharusnya ikut mengalami hal ini. Aku tak bisa membuatnya sempurna sebagai lelaki, tak bisa mewujudkan cita-citanya menjadi papa.

Preu tak banyak bicara hari itu. Aku dan dia terasa seperti orang asing di dalam rumah yang sama. Dunia serasa runtuh. Rumah tangga kami mungkin akan segera berakhir, pikirku. Aku sudah pasrah.

Aku memilih menyendiri di kamar tamu. Preu tak melarang. Entah berapa lama aku menangis. Paginya aku terjaga di karpet dengan selimut menutupi tubuh sampai bahu. Pasti Preu yang melakukannya.

Mataku sembap dan terasa berat. Aku bersandar ke kaki tempat tidur. Bayangan hasil lab kemarin masih bergelayut dalam benak. Lesu sekali tubuh ini. Aku menyeret tubuhku menuju kamar mandi. Mungkin air dingin bisa membasuh lesu dari tubuh ini.

Preu sudah tak ada di rumah, tapi ia meninggalkan pesan di pintu lemari pendingin.

"Aku kerja, Sayang. Sarapanlah.
Aku sudah buatkan telur dadar."
Love - Preu

Kata-kata cintanya hanya semakin membuatku merasa bersalah.

Mataku terasa panas.

"Sora," seorang wanita menyapaku.

Lamunanku buyar, cepat-cepat kuusap air mata yang sudah menggantung di pelupuk.

Wanita pucat itu sudah berdiri di depanku. Ia tersenyum.

"Kamu menangis?" Ia setengah membungkuk.

Aku cepat menggeleng, "hanya sedang bernostalgia." Jawabku. "Silakan duduk," senyumku mengembang.

Wanita itu segera mengambil posisi di hadapanku.

"Mau pesan apa?" Tanyaku sambil bersiap berdiri.

"Air mineral saja, ada?" Wanita itu masih tersenyum.

Aku mengangguk. Kakiku melangkah masuk. Setelah mengambil dua botol air mineral, aku meminta Lim membeli Choco Lava dan Pie Apel di toko kue seberang.

Aku kembali ke meja nomor tiga. Menyodorkan satu botol air mineral pada wanita pucat yang tampak sumringah itu.

"Bolehkah saya menemani Anda?"

Wanita itu mengangguk.

"Sepertinya Anda sedang senang?" Tebakku sambil membuka botol minuman.

"Panggil saja Gai," ucap wanita itu memperkenalkan diri.

"Oke, Gai. Apa yang membuatmu senang hari ini?" Aku mengulang pertanyaan.

"I'm pregnant," jawabnya setengah berbisik.

Berita bahagia itu seperti anak panah yang menghujam tepat ke hatiku. Tapi otakku tetap menurunkan perintah agar menerimanya sebagai bagian dari penyebab bibir menyunggingkan senyum.

"Selamat, ya," kataku pura-pura antusias.

Gai tersenyum menyambut ucapan selamat itu. Sedetik kemudian, Lim datang membawa kue-kue pesananku.

"Silakan," kataku sambil membuka bungkusan kertas putih yang membalut kue-kue itu.

"Aku nggak bisa mengatakan ini pada siapa pun, Sora." Wajah Gai berubah serius.

"Maksudmu?"

"Aku bahagia, tapi akan ada wanita lain yang terluka jika mereka mengetahuinya."

Ia seperti mengetahui isi hatiku.

"Siapa?"

Gai menggeleng, "bukan sesuatu yang harus kubahas dengan orang lain, Sora." Ia meneguk minumannya. "Aku hanya mau berbagi kebahagiaan. Hanya saja tidak tahu harus merayakannya dengan siapa." Lanjut Gai.

"Suamimu?" Tanyaku ragu-ragu.

"Suamiku..."

Aku mengangguk. Mata Gai meredup.

"Dia... bahagia." katanya patah-patah.

"Kamu beruntung sekali," ujarku.

Kami terdiam. Entah apa yang dipikirkan Gai. Wanita itu tampak sedikit gelisah. Aku sendiri pengap menghadapi perayaan aneh Gai. Jika ia memang perlu merayakannya, seharusnya paling tidak dilakukan bersama suami atau keluarganya. Tidakkah ia memiliki kerabat atau sahabat di kota ini?

Mungkin aku iri. Wanita lain dapat dengan mudah memiliki keturunan. Bahkan yang dilakukan dengan cara tidak sah, perselingkuhan, atau pernikahan diam-diam. Mengapa aku tidak bisa? Selubung perasaan kecewa pada diri sendiri perlahan terbuka. Meski Preu tidak berubah dalam mencintaiku, aku tahu hatinya pun kecewa.

Preu, pria gagah itu tak dapat merasakan bagaimana menjadi papa sungguhan. Aku iba, tapi tak dapat melakukan apa pun selain menanti takdir baik menghampiri. Aku dan Preu sudah mencoba banyak cara, tapi hasilnya tetap nihil. Sampai akhirnya aku hampir frustasi.

Preu mengusulkan agar aku kembali bekerja. Kami sepakat membuka sebuah kafe. Aku sebagai pengelolanya. Dengan begitu kepalaku tak terus menerus dipenuhi oleh masalah kehamilan. Cara ini cukup efektif mengusir penat. Otakku harus terus bekerja memikirkan banyak hal.

Suasana kaku membuatku tak ingin berlama-lama di meja inj. Aku pamit kembali ke dalam. Saat bersiap berdiri, mataku menangkap noda berwarna cokelat pucat di kerah pakaian Gai. Warnanya sama persis dengan noda di pakaian Preu.

Bedak cair, alas bedak, atau BB cream?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS