RAHASIA (EPS. 4)

"Hari ini perempuan yang itu datang lagi," kataku membuka obrolan. Preu rebah di sampingku sambil tangannya terlentang menjadi sandaran kepalaku.

"Oya? Dia masih suka lihat toko kue di seberang jalan?" Preu antusias.

Aku lalu menceritakan kejadian hari itu. Tentang kue yang membuat wanita pucat itu menangis.

"Mungkin dia punya rahasia di balik kue-kue itu," Preu menanggapi sambil menguap.

"Atau ada sesuatu dengan pemilik toko kue," aku memutar badan ke arah Preu.

Lelaki dengan jambang lebat itu mengangkat alis, "bisa jadi," tanggapnya. "Tapi kamu baik sekali mau traktir orang yang sama sekali nggak dikenal," ia mencubit hidungku.

"Cuma kasihan, Preu," aku menyeringai.

Rasa kantuk tak dapat kutahan lagi. Aku jatuh terlelap beralaskan lengan kekar suami yang amat kusayangi. Entah Preu masih terjaga atau tidak. Telingaku hanya menangkap samar suara komentator dan riuh penonton pertandingan sepak bola yang disiarkan di televisi.

***

Seperti biasa, Preu berangkat lebih dulu. Jam masuk kantor yang lebih pagi tak memungkinkan baginya untuk mengantarku ke kafe meski pun rutenya searah.

Setiap pagi aku harus menyiapkan sarapan berupa susu dan nasi goreng. Preu tidak mau sarapan yang lain. Makanya, aku juga terbawa kebiasaan ini setelah menikah.

Preu dan Ford Lasernya sudah menjauhi rumah. Tinggal aku yang masih harus membereskan beberapa pekerjaan harian. Meski aku memiliki bisnis, aku tetaplah seorang istri yang harus memegang kendali atas pekerjaan rumah.

Selesai merapikan meja makan dan dapur, kakiku gesit menuju ruang laundry. Memisahkan pakaian kotor yang memiliki noda bandel untuk dicuci dengan tangan, sisanya kumasukkan ke dalam mesin cuci. Setelah menekan beberapa tombol, aku sibuk mengucek beberapa pakaian yang terkena noda kopi, tinta, dan, lho, apa ini?

Warna cokelat pucat di pakaian Preu seperti noda kosmetik. Aku termangu sebentar. Tapi aku tak punya waktu lebih banyak untuk berdiam diri. Itu bisa dipikirkan nanti-nanti. Aku mempercepat gerakanku.

Setelah urusan mencuci pakaian selesai, kakiku segera melangkah ke kamar. Berganti pakaian, lalu sibuk memilih rias wajah yang tepat.

Foundation, bedak cair, atau BB cream?

Aku tercekat. Teringat kembali pada noda di pakaian Preu. Apakah benar itu noda kosmetik? Teman-teman wanita Preu di kantor pasti menggunakan make up sehari-hari. Tapi kalau menempel di pakaian Preu, itu artinya mereka melakukan kontak fisik.

Kesimpulanku berujung pada pertanyaan, apa yang mereka lakukan?

Perasaanku mulai tak tenang. Ah, aku mulai berprasangka yang bukan-bukan. Kuhirup udara dalam-dalam, lalu kuhembuskan perlahan. Aku tak boleh berpikiran buruk pada suami, tekadku.

Pilihanku satu-satunya di saat seperti ini adalah menghempaskan pikiran buruk demi berfokus pada operasional kafe hari ini. Ada booking perayaan ulang tahun anak pengusaha sandang. Tim EO yang bekerja sama dengan manajemen kafe sudah merancang acaranya sejak tiga hari yang lalu. Hari ini mereka tinggal menyusun venue. Aku harus bersiap segera agar tak ketinggalan briefing.

Meski sudah kufokuskan pikiran untuk pekerjaan yang sudah menantiku, noda itu masih menyisakan jejak tipis. Tetap berkelebat, menari-nari dengan segala kemungkinan yang keruh.

Aku tiba di kafe tepat pukul sembilan. Di sana semua karyawanku sudah datang. Mereka tengah sibuk dengan tugas masing-masing.

"Dari EO belum datang, Lim?" Tanyaku segera saat Lim tengah menyiapkan komputer kasir.

"Belum, Bu." Jawabnya singkat.

Begitu mendengar jawaban Lim, aku kemudian menghubungi penanggung jawab acara untuk memastikan kedatangan mereka agar bisa melakukan briefing dan persiapan. Setelah berbincang sebentar, aku menutup sambungan telepon.

Kafe masih sepi. Aku memutuskan berkeliling. Mengecek kursi dan meja serta peralatan pelengkap seperti tisu, nomor meja, dan vas kecil berisi dua tangkai bunga tiruan.

Semuanya dalam kondisi baik. Aku kemudian memeriksa bagian teras. Entah kenapa aku terpancing duduk di meja nomor tiga. Meja wanita pucat itu. Apakah hari ini dia akan datang lagi? Gumamku.

Dari sini aku bisa menangkap gerakan orang-orang yang ada di toko kue seberang jalan. Tampak Ibu Pilly yang sedang bergerak kesana-kemari membawa nampan-nampan kue.

Perempuan yang sudah hampir berusia setengah abad itu tetap bugar. Toko kuenya sudah berdiri lebih dulu sebelum kafe ini ada. Terakhir kali aku berkunjung ke tokonya adalah sekitar satu bulan lalu, memesan kue untuk hantaran ke rumah tanteku.

Sekilas sempat kulihat sebuah potret empat orang perempuan dengan bingkai kayu sederhana. Satu diantaranya adalah Ibu Pilly, tiga yang lainnya terlihat lebih muda, tapi aku tak mengenali ketiganya.

Ah, wanita pucat itu, sebenarnya apa yang ia lihat dari sini? Gumamku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS