RAHASIA (EPS. 3)


Setelah memakan Pie Apel, Choco Lava, dan Banana Sponge dari toko kue di seberang, wanita itu pulang lebih cepat dari biasanya. Matanya sembap, dan hidungnya merah. Aku menggratiskan makanan dan minumannya hari itu.

Sebelum pulang ia mendatangiku.

Sambil menjabat tanganku, "terima kasih, ...?" Wanita itu mencari sebutan yang pas untukku.

"Sora, panggil aku Sora," selaku sembarangan.

Wanita itu tersenyum, "terima kasih, Sora," ulangnya.

"Sama-sama," jawabku ikut tersenyum.

Wanita itu melangkah keluar. Meski masih penuh rahasia, setidaknya hari itu mungkin saja menjadi hari spesial baginya karena sudah di traktir oleh orang yang baru ia ketahui namanya saat makanan dan minumannya sudah habis.

***

Pendar cahaya lampu sempurna menyala pukul lima sore. Kafe dipenuhi karyawan-karyawan kantor yang baru pulang kerja. Sebagian memilih mampir ke sini untuk menunggu jalanan lebih lengang. Merebahkan diri di atas kursi sofa yang terpasang di beberapa bagian kafe. Cukup nyaman untuk melepas lelah setelah bekerja seharian. Mereka biasanya datang berkelompok.

Aku asyik membalas sapaan dari beberapa orang yang datang sambil berbalas pesan dengan Preu. Malam ini kami akan dinner di sebuah kedai tenda langganan untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ke tujuh.

"Aku jemput jam 7 ya, Sayang 😘"

Preu mengakhiri pesannya.

"Oke 😘"

Aku mengunci layar ponsel dan menyimpannya kembali ke saku celana.

Menyenangkan melihat pengunjung kafe yang ramai sambil membayangkan dinner nanti malam. Setiap tahun aku dan Preu selalu merayakan ulang tahun pernikahan di tempat yang sama. Bernostalgia di tempat pertama kali kami bertemu sungguh perayaan yang menyenangkan. Akan ada hal-hal lucu yang bisa kami bahas.

Preu juga tidak akan lupa kejutan kecil di hari spesial ini. Senyumku mengembang saat menebak kejutan yang akan kuterima. Aku sendiri telah menyiapkan kado untuk Preu.

***

Aku berkali-kali melirik jam dinding di kafe, berharap yang kulihat salah. Tapi nyatanya mataku tak salah lihat. Jam menunjukkan pukul delapan. Sudah satu jam sejak waktu yang dijanjikan, tapi Preu sama sekali belum datang.

Ponselnya tidak aktif. Akhirnya kuputuskan untuk pergi sendiri ke kedai tenda yang kami maksud. Mungkin Preu sudah menunggu di sana. Sebelum pergi aku sudah menitipkan pesan pada Lim jika Preu datang ke kafe.

Sepanjang perjalanan ke kedai, mataku berkali-kali menatap layar ponsel. Mencoba menghubungi Preu dan mengirim pesan padanya. Tapi sampai di tempat tujuan, tak satu pun usahaku berhasil.

Di kedai tenda langganan sudah ada beberapa pelanggan yang duduk di bangku-bangku plastik. Aku memilih duduk di bangku pojok. Sengaja tak memesan makanan sebelum Preu datang. Aku hanya minta dibuatkan segelas teh hangat.

Preu seolah menghilang saat itu juga. Kecemasanku melambung kala tak satu pun pesan terkirim padanya. Tampaknya ponsel Preu mati total. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu.

Sudah tiga kali pelayan kedai menawariku untuk membuatkan sesuatu. Semuanya kutolak.

Satu setengah jam sudah aku menghabiskan waktu di kedai sendirian. Preu belum juga tampak. Tubuhku mulai menunjukkan tanda-tanda lelah dengan menguap berkali-kali. Akhirnya kuputuskan untuk pulang.

"Maaf, ya. Saya nggak pesan apa pun sejak tadi. Suami saya sulit sekali dihubungi," kataku sebelum pulang kepada pemilik kedai.

"Nggak apa-apa, Bu. Silakan mampir lain waktu," pria berkumis tipis itu tersenyum.

Aku mengerti perasaan pemilik kedai ini ketika ada orang yang menghabiskan waktu berjam-jam di tempatnya berjualan dan hanya pesan minuman paling murah. Seperti perasaan yang patah hati karena cintanya ditolak. Makanya aku ungkapkan alasan itu. Jadi si pemilik kedai tidak berpikiran yang aneh-aneh terhadapku.

Keluar dari kedai, aku masih sempat menengok ke kanan dan kiri. Siapa tahu sosok Preu muncul. Tapi lagi-lagi nihil. Aku sungguh kecewa. Kakiku melangkah gontai, pulang.

"Preu, aku sudah siap."
"Sayang, kena macetkah?"
"Ada dimana sekarang?"
"Preu?"
"Kamu nggak lupa kita ada janji, kan?"
"Kita langsung ketemu di kedai saja, ya."
"Preu, aku on the way."
"Please check ur inbox, Preu!"
"I'm waiting..."
"Tik tok tik tok..."
"Preu..."
"Kamu dimana?"
"Hellooo"
"Preu, apa kamu baik-baik saja?"
"Preu, kamu pingsan?"
"Aku pulang."

Pesan-pesan singkat yang kukirimkan pada Preu berkelebatan di benakku. Perasaan kecewa dan cemas bercampur dalam batin. Tak biasanya ponsel Preu mendadak non-aktif. Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran buruk yang membuat suasana hatiku makin kacau. Meski kecewa, tetap banyak hal yang belum kuketahui kebenarannya.

***

Rumah masih kosong. Kondisinya masih sama seperti ketika pagi tadi kutinggalkan. Sepi.

Pukul sepuluh tepat, aku sudah mandi dan berganti pakaian. Kurebahkan tubuh di atas sofa. Televisi yang menyala menampilkan berita malam dengan topik yang tak jauh dari perkara korupsi dan kisah bejat pejabat pemerintahan. Aku tak tertarik sedikit pun. Tanganku kembali sibuk memeriksa ponsel, mencoba menghubungi Preu kembali.

Tiba-tiba terdengar deru kendaraan berhenti di garasi rumah. Preu!

Aku melompat turun dari sofa. Mengintip dari balik tirai jendela. Sosok Preu turun dari mobil. Wajahnya kelihatan lelah. Kasihan. Spontan kubuka pintu untuk menyambutnya.

"Oh, syukurlah kamu sudah pulang," Preu merentangkan tangannya. Aku menerima pelukan hangat Preu.

"Kamu kemana saja, Preu?" Tanyaku dengan wajah kecewa.

Preu membimbingku duduk di sofa, "maaf, Sayang. Tiba-tiba orang dari kantor pusat memintaku mengerjakan..." dan mengalirlah cerita dari bibir Preu.

Aku hanya mendengarkan. Preu memang memiliki reputasi yang bagus di perusahaan tempatnya bekerja. Aku sangat tahu karena aku sudah mendampingi Preu sejak pekerjaannya masih berada di level bawah. Tak salah jika staf di kantor pusat dan para petinggi perusahaan banyak memberikan tugas penting. Termasuk tugas mendadak yang membuatnya tidak bisa menghubungiku.

"Staf yang satu itu terlalu ngotot, makanya aku tidak bisa menolak," Preu menutup ceritanya. "Maaf, ya, Sayang." Tangan Preu mengusap pelipisku.

Aku mengangguk, "tapi lain kali kamu harus sempat kabari aku." Ujarku masih pura-pura ngambek.

Preu tersenyum menjawil hidungku, "I promise." Lalu kecupannya mendarat di dahiku.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS