RAHASIA (EPS. 2)


Aku sudah duduk di kursi pengawas. Karyawanku menyebutnya 'kursi Ibu' karena hanya aku yang duduk di sana. Dari tempatku duduk, aku bisa menyapa pelanggan yang baru masuk dan mengawasi setiap sudut kafe. Biasanya di sana aku memperhatikan kinerja karyawan dan tingkah para pelanggan. Termasuk pelanggan wanita yang tidak pernah absen duduk di meja nomor tiga selama tiga bulan ini.

Tepat pukul dua siang, mataku menangkap tubuh langsing berjalan memasuki area teras kafe. Segera kutahan gerakan Lim yang akan menunaikan tugas, mencatat order menu wanita itu. Dengan sedikit komando, buku menu, buku catatan dan pulpen di tangan Lim sudah berpindah padaku. Aku mendekat ke meja nomor tiga.

"Selamat siang, udara cukup panas, apakah Anda mau pindah ke dalam?" Sapaku dengan antusias. Wanita itu menggeleng sambil menerima buku menu yang kusodorkan. Hanya lima detik, ia sudah menyerahkan kembali buku tipis itu padaku.

"Mau pesan apa?" Tanyaku lagi.

"Menu nomor lima." Ucapnya dingin. Matanya sama sekali tak memperhatikanku.

"Potato chips and pinaple milkshake," kataku mengulang nama menunya sembarangan.

"Menu nomor lima? Bukankah disitu tertulis green choco milk?" Wanita itu memandangku. Ternyata ia masih fokus pada keadaan sekitar, termasuk kesengajaanku menyebutkan menu yang salah.

Aku menyeringai, "sorry, Ma'am. A cup of green choco milk for lonely women?" Ucapku.

Wanita itu hanya melirik sekilas.

"Ada lagi?" Tanyaku lagi.

Wanita itu menggeleng. Aku kemudian undur diri.

Wajah wanita itu sepertinya amat kukenal. Alis matanya yang lebat dan bulu mata yang lentik membuat wajahnya cantik alami meski tanpa pulasan make up. Walau kelihatan pucat, sepertinya ia tak tertarik meski hanya menggunakan lip balm untuk melembapkan bibirnya yang pucat.

Aku mengantarkan pesanan wanita tadi. Ia hanya melirik sekilas tanpa mengucapkan terima kasih.

"Toko kue itu milik Ibu Pilly. Anda sudah pernah mencoba kuenya?"

Mata tajam wanita itu langsung memandangku.

Aku mendadak kikuk.

"Apa lagi yang kamu tahu?" Tanyanya lebih antusias.

Tubuhku bergeser ke bangku di depan wanita itu.

"Aku tak tahu banyak soal toko kue itu, tapi setidaknya aku kenal pemilik dan sudah pernah masuk ke dalam toko." Ujarku memulai perbincangan. "Tokonya klasik, dan hanya punya satu karyawan di sana. Kasihan, sepertinya dia tak punya anak atau suami." Tuturku kemudian.

Mataku ikut memandangi toko kue di seberang jalan. Wanita itu menggigit bibir lalu mengaduk minumannya.

"Apa Anda mau mencoba kuenya?" Tawarku.

Wanita itu setengah kaget. Kaku untuk bereaksi.

"Aku bisa panggil karyawan untuk membelikan beberapa kue di sana. Anda harus mencobanya." Lanjutku sambil memanggil Lim.

Wanita itu tak bisa mencegahku. Matanya hanya bisa memperhatikan punggung Lim yang pergi menjauh menuju toko kue di seberang.

Selama menunggu, wanita itu diam. Matanya tak lepas dari toko kue tersebut. Seperti tak sabar menanti kue-kue yang akan dibawa Lim.

Lim datang membawa bungkusan kecil berisi kue-kue mini. Pie Apel, Choco Lava, dan Banana Sponge.

"My favourite!" Spontan aku mencomot satu Choco Lava yang masih hangat dari bungkusan. Menikmatinya begitu saja.

Wanita itu memperhatikan gerakanku.

"Ayo, silakan. Jangan melewatkan Pie Apel dan Choco Lava yang masih hangat." Saranku cepat. Mulutku sudah sibuk mengunyah gigitan pertama Choco Lava di tangan.

Wanita itu menimbang-nimbang kue yang akan disantapnya. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Lalu tangannya perlahan maju mengambil Pie Apel dan menggigit ujungnya. Perlahan tapi pasti mulutnya bergerak melumat kue berbahan dasar apel itu.

Aku ragu, tapi kulihat genangan air mata di pelupuk matanya. Wanita itu menunduk, berusaha menyamarkan air mata yang sudah bersiap jatuh.

Mungkin ada hal emosional yang tengah dirasakannya. Aku tak ingin mengganggu.

"Sorry, aku harus kembali bertugas. Sepertinya karyawanku membuat masalah di dapur." Ucapku berusaha sewajar mungkin. Tanpa menunggu jawaban dari wanita itu, aku melesat kembali ke kursi Ibu.

Dari tempatku, wanita itu terlihat menyeka pipi dan matanya berkali-kali. Sepertinya ia menyimpan sesuatu yang membuat hatinya sedih, marah, cemas atau sejenisnya. Bersama tangisan, ia tetap melahap kue Pie Apel tadi. Aih, apa rasanya makan kue sambil menangis begitu, batinku.

Aku menghabiskan sisa Choco Lava sambil memperhatikan wanita itu. Sebegitu menggugahnya rasa kue buatan Ibu Pilly sampai membuat wanita itu menangis, batinku penasaran.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS