Pelarian

Sekarang aku tahu, duniaku hanya disini. Kamar nomor 21 di ujung lorong ini.
Aku memulai hidupku disini saat berusia 22. Aku meninggalkan keluargaku, meninggalkan segala yang aku punya untuk memulai hidupku disini. Temanku hanya satu, namanya Nama. Nama hanya tanaman hias yang tak kutahu pasti jenisnya. Dia teman yang tak pernah meninggalkanku disaat apapun. Nama kusimpan di kusen jendela kamar saat pagi dan sore. Dia senang berjemur di waktu-waktu itu. selebihnya kusimpan di atas meja kecil di samping tempat tidurku.
Aku pernah membayangkan kalau aku ini sebatang kara di saat aku masih berada di tengah-tengah keluarga. Kenyataannya, kini kuwujudkan bayanganku itu. Aku saat ini sebatang kara. Sendiri menikmati musik dan hari libur. Nama yang menemaniku.
Dulu aku tak pernah memikirkan akan melakukan ini. Sampai pada waktu dimana aku sudah merasa muak hidup bergantung terus menerus pada kedua orang tuaku. Status pengangguran membuat aku frustasi dan sering sakit kepala. Ratusan lamaran pekerjaan yang kukirim tak berbuah panggilan atau semacamnya. Aku jadi membenci diriku sendiri. Habis akalku. Aku masih tetap mencoba mengirimkan lamaran ke berbagai perusahaan, tapi masih nihil. Aku tak berani protes dan mengeluh pada siapapun. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya supaya aku tak lagi jadi beban kedua orang tuaku. Aku benar-benar membenci diriku sendiri. Sering aku merasa penat. Ingin mengeluh, tapi tak pernah berani pada siapapun. Aku menahan semuanya. Memeluk semua bersama diriku sendiri. Mencoba menaklukan sedihku sendiri. Menahan marah dan resah yang entah sejak kapan bersarang.
Dunia terasa memojokkanku.
Lalu aku memutuskan untuk pergi dengan hanya tiga lembar seratus ribuan, dan beberapa helai baju di tas ransel. Aku pergi tanpa pamit sore itu, saat semua orang sedang asik berbincang di lantai dua.
Semua nomor ponsel kumatikan. Aku tak tahu apakah ada yang menghubungiku atau tidak. Aku berjalan kaki sampai jalan raya. Disana masih ramai dengan kendaraan-kendaraan besar yang dapat membawaku ke berbagai kota. Aku sempat bimbang dengan keputusanku. Tapi pada akhirnya langkah berikutnya telah membawaku ke tempat ini.

Dan aku tahu kini duniaku ada disini. Bersama Nama.
Aku menulis. Menulis apa saja yang kubisa. Sambil kukerjakan pekerjaan sambilan, cuci piring, kurir, buang sampah, dan sebagainya. Paruh waktu kulakukan untuk menyambung hidup. Sebagian waktu lainnya kugunakan untuk menulis, memenuhi dunia yang sempat kosong karena surat-surat lamaran sampah itu. Nama yang menemaniku. Dia yang melihat luka-lukaku sejak tinggal disini. Luka yang tak terlihat oleh mata manusia.
Menurut kalian, apakah aku masih dicari? Aku sendiri tak tahu jawabannya. Lantas buat apa mereka mencariku? Aku sudah terlalu durhaka untuk dijadikan anak. Aku terlanjur membenci kehidupan dengan amarah terpendam. Mencariku hanya hal yang sia-sia. Karena mereka hanya akan menemukan aku dengan tubuh kurus dan baju compang-camping.
Menurut kalian, apakah mereka mencintai aku? Menurut teori, seharusnya ya. Tapi aku sudah terlalu durhaka untuk dicintai sebagai anak. Aku terlalu terbalut benci, sampai aku kebal menerima kasih sayang. Mencintaiku hanya hal yang sia-sia. Karena mereka hanya melihat wajahku yang galak dan bibir yang tersungging manyun.

Entah kapan rasa sesak itu pergi, sejak 'ketiadaan' ku di rumah.
Jika tak bisa memuntahkan segala perasaan pada siapapun, bagian mana yang bisa membahagiakanmu saat bercengkrama bersama banyak orang?
Aku pergi untuk menghindari lebih banyak konflik yang sewaktu-waktu bisa terjadi lagi. Inilah bagian yang paling aku benci. Karena bagi mereka, diam adalah perang. Maka bagiku, diam adalah ungkapan sentimentil yang artinya sangat luas. Yang membahana dalam kebisingan dan tajam seperti dentuman. Yang tak perlu dijadikan perkara. Karena itu hanya diam, bukan tanda kebencian. Tapi bagi mereka adalah sebaliknya. Maka aku menjadi benar-benar diam. Lalu diam-diam pergi karena muak dengan perkara ini.

Kulantunkan ucapan selamat tidur pada mereka. Kubisikkan kata-kata maaf dan cinta pada mereka. Kuberi tanda bertambahnya malam-malamku tanpa mereka. Kusimpan nama-nama mereka di tempat yang telah lama ada. Karena mereka tak sepenuhnya kutinggalkan. Kamar ini menjadi saksinya. Ia tahu saat aku merindukan mereka, saat aku mengharapkan mereka, dan saat aku berdoa untuk mereka. Kamar ini tahu saat aku membeku dan mencoreti dinding-dindingnya dengan coretan-coretan luka.
Tapi terlambat untuk pulang.
Aku terlalu takut dengan konflik yang akan kubawa lagi dan lagi. Terlalu banyak membawa luka untuk mereka. Lalu kemudian aku akan membenci diriku sendiri. Sudah cukup buatku. Aku tak ingin menjadi penyebab segala luka bagi mereka. Disini saja sudah cukup buatku. Memejamkan mata sambil berdoa untuk mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS