(tu)lisan

Oleh : Ragil Wyda Triana

Pernah suatu hari seorang sahabat saya mengeluhkan banyaknya "spam" di timeline akun media sosialnya. Status berisikan hujatan dan caci maki terhadap kubu lain yang tak sepaham. Yang lebih mengerikan lagi, ada pula caci maki tersebut ditujukan kepada umat agama yang berbeda. Duh, sudah masuk kawasan menyinggung SARA, kan ya.

Dan yang bikin miris, orang-orang itu nggak sedikit yang ilmu agamanya mumpuni. Subhanallah. Ya Allah, ternyata benar, ilmu itu jadi nggak berguna ketika akhlak baik tak mengiringinya.

Sahabat saya sampai tak selera melakukan kajian Islam gara-gara hal tersebut. Ia mogok menerima ilmu yang seharusnya bisa mencerahkan gegara melihat (tu)lisan-(tu)lisan yang tak beretika tersebut.

Apa kalian mau bilang dia lebay?

Saya rasa, nggak. Justru itu amat berbahaya. Karena jujur saja, saya pernah mengalaminya. Namanya "culture shock". Ini dialami ketika saya duduk di bangku SMA. Saat itu saya sering sekali melihat pemberitaan yang menjurus pada pembelokan akidah Islam. Berita yang berisikan perilaku brutal sejumlah oknum yang mengatasnamakan pembela Islam. Yang namanya usia remaja, masih labil, dengan gejolak emosi yang belum stabil, saya miris. Di kepala saya hanya ada kalimat: "seburuk itukah agama saya?". Dan itu berlangsung bertahun-tahun. Efek jangka panjang, lho sodara-sodara. Saya kemudian jadi umat Islam yang mengikuti ajaranNya separo-separo. Karena keyakinan saya terhadap agama secara tak langsung tsudah terganggu oleh media-media tak bertanggung jawab.

Alhamdulillah sekarang menerima hidayah melalui sejumlah kawan yang insyaallah akhlaknya manut Nabi Muhammad SAW. Termasuk pak suami yang nggak bosan mengingatkan. Benruntungnya saya.

Lagi-lagi, itulah media. Kita dengan mudah menyebar berita dan (tu)lisan yang bisa menjadi ladang perusak umat. Na'udzubillah.

Lalu kalau caci maki itu, opini-opini yang sengaja menyebabkan ketersinggungan itu sudah menyebar. Menyakiti hati orang lain, membawa dampak tak sehat, tercatat dalam catatan amal buruk, mau jawab apa kita (saya aja kaliii) kalau harus mempertanggung jawabkannya di hadapan Sang Khalik? Mau ngeles apa kalau yang nanya kita adalah Dia, Sang Maha Benar? Mau memperbaiki? Telaaat. Lha wong udah sampai di akhirat.

Itulah mengapa, lagi-lagi saya mengingatkan kita (terkhusus diri sendiri) agar senantiasa menjauhkan diri dari perkataan yang merugikan orang lain. Di dunia nyata, pun di dunia maya. Karena efeknya bisa berbuntut panjang, sepanjang jalan kenangan. Halaah...

Bermedsos-lah yang sehat, mengajak pada kebaikan, hindari kemunkaran dan perbuatan tidak menyenangkan, termasuk nanya kapan nikah ke orang yang masih jomblo, bisi ngamuk. Muehehehe...

Manusia diberi akal untuk berpikir, diberi hati untuk merasa. Jika di dalam pikiran (tu)lisan sudah terasa benar, maka pakailah perasaan untuk menilai akan berpengaruh seperti apa (tu)lisan ini terhadap perilaku orang lain.

Komentar

  1. Suka banget sama tulisannya Mbak sehingga saya sebarkan ke Facebook

    BalasHapus
  2. Keren teh Algin tulisannya. 😀

    BalasHapus
  3. Nah ini, Mbak. Saya juga sekarang mulai hati2 sama tulisan saya di medsos. Zaman sekarang, yang jadi harimau itu, jari kita sendiri. Kalo kita salah ngepost di medsos. Bisa2 kata2 kita sendiri yang nyakar diri kita. 😓

    BalasHapus
  4. Sepakat sama tulisan ini mbak... Itulah sebabnya, media sosial saya tidak pernah share apapun kecuali hanya tulisan saya sendiri saja... :-)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS