CEMBURU

Mama menikah lagi. Setelah delapan tahun papa pergi karena kanker, Mama seperti anak muda, kasmaran pada seorang pria. Pria itu baik, bahkan terlampau memanjakan. Ia seorang duda. Istrinya juga meninggal karena kanker. Mungkin karena merasa memiliki nasib yang mirip, akhirnya mereka nyambung dan merasa nyaman satu sama lain.

Aku merestui mereka, sungguh. Tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Mama banyak tersenyum dan tertawa. Mama mengenalkannya padaku sebagai Om Rudi. Ia membawa seorang anak perempuan yang hampir sepantaran denganku. CalonMama menikah lagi. Setelah delapan tahun papa pergi karena kanker, Mama seperti anak muda, kasmaran pada seorang pria. Pria itu baik, bahkan terlampau memanjakan. Ia seorang duda. Istrinya juga meninggal karena kanker. Mungkin karena merasa memiliki nasib yang mirip, akhirnya mereka nyambung dan merasa nyaman satu sama lain.

Aku merestui mereka, sungguh. Tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Mama banyak tersenyum dan tertawa. Mama mengenalkannya padaku sebagai Om Rudi. Ia membawa seorang anak perempuan yang hampir sepantaran denganku. Calon saudara tiri. Gumamku. Perkenalan itu berjalan hangat. Om Rudi banyak bertanya tentang musik, hobi, sekolah, dan banyak hal tentang keseharianku. Dia orang yang terbuka dan humoris.

Mereka menikah beberapa bulan kemudian. Kami menjalani babak baru kehidupan keluarga. Awalnya manis, tapi tahun-tahun berikutnya ada hal yang membuatku terusik oleh perilaku saudara tiriku, Fafa. Belakangan kulihat Mama sangat memanjakan Fafa. Dalam banyak urusan, Fafa minta diperhatikan lebih banyak. Termasuk dalam urusan mengambil makan dan minum. Seharusnya urusan sekecil itu tak perlu sampai meminta Mama melakukannya, kan?

Awalnya aku tak keberatan. Mama pernah bilang Fafa tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ibu karena ibunya sudah meninggal sejak ia kecil. Kurasa ada benarnya. Tapi lama-kelamaan urusan ini membuatku ingin protes. Pernah suatu ketika Mama baru saja beristirahat, tiba-tiba Fafa membangunkannya hanya untuk minta dibuatkan mie instan. Hei, gadis usia 12 tahun saja bisa melakukannya sendiri! Aku hendak protes. Tapi Mama, untuk kesekian kalinya memandangku agar tidak melakukan itu.

"Dia bukan anak kecil atau ABG lagi, Ma." Aku mendengus. Bahkan aku sudah terbiasa masak sendiri sejak usiaku sepuluh tahun.

Mama tersenyum, "itu hanya pekerjaan kecil, Zam. Mama nggak repot, kok." Bela Mama.

Sejak awal Mama memang selalu membelanya. Meski lama-lama aku tak setuju, aku hanya bisa menahan diri.

***

"Ma, besok masakin rendang, ya." Pinta Fafa sambil menggelayuti lengan Mama.

Mama tersenyum, "boleh," jawab Mama ringan. "Kamu mau dimasakin apa, Zam?" Mama menatapku.

Aku melirik sebentar, "apa aja," jawabku singkat tanpa mengalihkan pandangan pada halaman buku yang kubaca.

Aku heran kenapa Mama menurut saja dengan permintaan itu. Padahal aku tahu betul Mama belum pernah masak rendang.

"Nggak apa-apa, Zam. Sekalian nyobain. Siapa tau Mama berbakat masak rendang." Mama tertawa kecil.

Esoknya, aku menatap kesibukan Mama di dapur. Mama hanya sendirian. Mana anak itu? Seharusnya dia ikut membantu, kan.

Aku menemukannya sedang tiduran di sofa sambil menonton kartun. Persis seperti pemalas yang manja.

"Nggak bisa, ya kamu bantu Mama di dapur?" Suaraku tertahan supaya tak menimbulkan kegaduhan.

Gadis itu menoleh. Sepertinya ia kaget melihat kedatanganku.

"Lho, kenapa nggak kamu yang bantuin Mama?" Telunjuknya teracung. Posisinya sudah santai kembali.

"Dari pagi aku udah beres-beres. Paling nggak kamulah yang harusnya bantu-bantu di dapur." Suaraku meninggi.

"Mama yang nggak mau dibantu. Aku, sih udah nawarin bantuan." Jawabnya tanpa mengalihkan mata dari layar televisi.

"Aku baru tau ada gadis pemalas kayak kamu." Sungutku.

"Kamu nggak dengar, ya? Aku, kan udah nawarin bantuan." Fafa membela diri sambil melirikku.

Aku berlalu. Tak peduli. Dasar anak manja! Gerutuku dalam hati.

***

"Kamu cemburu, Zam?" Mama membelai kepalaku lembut.

Wajahku datar-datar saja sejak tadi. Tapi rupanya Mama melihat ada hal lain yang kurasakan. Sejak kecil aku sangat dekat dengan Mama. Apalagi sejak papa meninggal. Kami hanya tinggal berdua. Jelas saja Mama sangat mengenal setiap jengkal perubahan yang terjadi padaku. Mama adalah seorang pemerhati.

"Gini, Zam, Mama nggak mau dianggap pilih kasih. Kamu dan Fafa sama-sama anak Mama. Kalian sama-sama anak baik." Mama menghela napas untuk melanjutkan kalimatnya. "Zam, kalau kamu tahu bagaimana Fafa tumbuh, kamu pasti akan ngerti kenapa Mama selalu nurutin semua permintaannya. Fafa sejak kecil sudah ditinggal ibunya. Ia dititipkan pada tantenya karena papanya harus kerja. Selama bertahun-tahun, begitu terus. Sampai suatu hari papanya memergoki Fafa disiksa oleh tantenya. Itu pukulan yang berat buat mereka, khususnya Fafa. Dia nggak berani ngadu karena terus diancam tantenya." Mama menghembuskan napas.

Aku memandang wajah Mama yang memandangi langit-langit. Wajahnya menunjukkan keprihatinan.

"Fafa sebenarnya anak yang ceria. Tapi gara-gara kejadian itu dia jadi pendiam dan pemurung. Setelah kejadian itu dia harus menjalani terapi yang nggak sebentar. Memulihkan perasaan dan rasa percaya dari dirinya kepada orang lain. Sekarang Mama adalah mamanya. Mama punya tanggung jawab menjaga dan membersamai Fafa dalam keadaan apa pun, Zam. Sama seperti Mama mengurus dan menyayangi kamu selama ini. Mama bersyukur kamu nggak pernah merasakan hal itu karena amat sangat menyakitkan, Zam."

Aku menelan ludah.

"Mama ingin Fafa percaya pada Mama bahwa di sini nggak akan ada yang menyakitinya. Mama harus membuktikan kalau Mama bisa jadi orang tua yang baik dan bisa dipercaya buat dia." Mama mengakhiri penjelasannya.

Pikiranku melayang. Entah bagaimana aku bisa menghadapi apa yang pernah dirasakan oleh Fafa.

***

Tanpa kami ketahui, di depan kamarku ternyata Fafa menguping pembicaraan itu. Air mata meleleh di ujung mata bulatnya. Haru. saudara tiri. Gumamku. Perkenalan itu berjalan hangat. Om Rudi banyak bertanya tentang musik, hobi, sekolah, dan banyak hal tentang keseharianku. Dia orang yang terbuka dan humoris.

Mereka menikah beberapa bulan kemudian. Kami menjalani babak baru kehidupan keluarga. Awalnya manis, tapi tahun-tahun berikutnya ada hal yang membuatku terusik oleh perilaku saudara tiriku, Fafa. Belakangan kulihat Mama sangat memanjakan Fafa. Dalam banyak urusan, Fafa minta diperhatikan lebih banyak. Termasuk dalam urusan mengambil makan dan minum. Seharusnya urusan sekecil itu tak perlu sampai meminta Mama melakukannya, kan?

Awalnya aku tak keberatan. Mama pernah bilang Fafa tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ibu karena ibunya sudah meninggal sejak ia kecil. Kurasa ada benarnya. Tapi lama-kelamaan urusan ini membuatku ingin protes. Pernah suatu ketika Mama baru saja beristirahat, tiba-tiba Fafa membangunkannya hanya untuk minta dibuatkan mie instan. Hei, gadis usia 12 tahun saja bisa melakukannya sendiri! Aku hendak protes. Tapi Mama, untuk kesekian kalinya memandangku agar tidak melakukan itu.

"Dia bukan anak kecil atau ABG lagi, Ma." Aku mendengus. Bahkan aku sudah terbiasa masak sendiri sejak usiaku sepuluh tahun.

Mama tersenyum, "itu hanya pekerjaan kecil, Zam. Mama nggak repot, kok." Bela Mama.

Sejak awal Mama memang selalu membelanya. Meski lama-lama aku tak setuju, aku hanya bisa menahan diri.

***

"Ma, besok masakin rendang, ya." Pinta Fafa sambil menggelayuti lengan Mama.

Mama tersenyum, "boleh," jawab Mama ringan. "Kamu mau dimasakin apa, Zam?" Mama menatapku.

Aku melirik sebentar, "apa aja," jawabku singkat tanpa mengalihkan pandangan pada halaman buku yang kubaca.

Aku heran kenapa Mama menurut saja dengan permintaan itu. Padahal aku tahu betul Mama belum pernah masak rendang.

"Nggak apa-apa, Zam. Sekalian nyobain. Siapa tau Mama berbakat masak rendang." Mama tertawa kecil.

Esoknya, aku menatap kesibukan Mama di dapur. Mama hanya sendirian. Mana anak itu? Seharusnya dia ikut membantu, kan.

Aku menemukannya sedang tiduran di sofa sambil menonton kartun. Persis seperti pemalas yang manja.

"Nggak bisa, ya kamu bantu Mama di dapur?" Suaraku tertahan supaya tak menimbulkan kegaduhan.

Gadis itu menoleh. Sepertinya ia kaget melihat kedatanganku.

"Lho, kenapa nggak kamu yang bantuin Mama?" Telunjuknya teracung. Posisinya sudah santai kembali.

"Dari pagi aku udah beres-beres. Paling nggak kamulah yang harusnya bantu-bantu di dapur." Suaraku meninggi.

"Mama yang nggak mau dibantu. Aku, sih udah nawarin bantuan." Jawabnya tanpa mengalihkan mata dari layar televisi.

"Aku baru tau ada gadis pemalas kayak kamu." Sungutku.

"Kamu nggak dengar, ya? Aku, kan udah nawarin bantuan." Fafa membela diri sambil melirikku.

Aku berlalu. Tak peduli. Dasar anak manja! Gerutuku dalam hati.

***

"Kamu cemburu, Zam?" Mama membelai kepalaku lembut.

Wajahku datar-datar saja sejak tadi. Tapi rupanya Mama melihat ada hal lain yang kurasakan. Sejak kecil aku sangat dekat dengan Mama. Apalagi sejak papa meninggal. Kami hanya tinggal berdua. Jelas saja Mama sangat mengenal setiap jengkal perubahan yang terjadi padaku. Mama adalah seorang pemerhati.

"Gini, Zam, Mama nggak mau dianggap pilih kasih. Kamu dan Fafa sama-sama anak Mama. Kalian sama-sama anak baik." Mama menghela napas untuk melanjutkan kalimatnya. "Zam, kalau kamu tahu bagaimana Fafa tumbuh, kamu pasti akan ngerti kenapa Mama selalu nurutin semua permintaannya. Fafa sejak kecil sudah ditinggal ibunya. Ia dititipkan pada tantenya karena papanya harus kerja. Selama bertahun-tahun, begitu terus. Sampai suatu hari papanya memergoki Fafa disiksa oleh tantenya. Itu pukulan yang berat buat mereka, khususnya Fafa. Dia nggak berani ngadu karena terus diancam tantenya." Mama menghembuskan napas.

Aku memandang wajah Mama yang memandangi langit-langit. Wajahnya menunjukkan keprihatinan.

"Fafa sebenarnya anak yang ceria. Tapi gara-gara kejadian itu dia jadi pendiam dan pemurung. Setelah kejadian itu dia harus menjalani terapi yang nggak sebentar. Memulihkan perasaan dan rasa percaya dari dirinya kepada orang lain. Sekarang Mama adalah mamanya. Mama punya tanggung jawab menjaga dan membersamai Fafa dalam keadaan apa pun, Zam. Sama seperti Mama mengurus dan menyayangi kamu selama ini. Mama bersyukur kamu nggak pernah merasakan hal itu karena amat sangat menyakitkan, Zam."

Aku menelan ludah.

"Mama ingin Fafa percaya pada Mama bahwa di sini nggak akan ada yang menyakitinya. Mama harus membuktikan kalau Mama bisa jadi orang tua yang baik dan bisa dipercaya buat dia." Mama mengakhiri penjelasannya.

Pikiranku melayang. Entah bagaimana aku bisa menghadapi apa yang pernah dirasakan oleh Fafa.

***

Tanpa kami ketahui, di depan kamarku ternyata Fafa menguping pembicaraan itu. Air mata meleleh di ujung mata bulatnya. Haru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS